Celah Pada Tata Kelola Penganggaran Memudahkan Penyimpangan
Suap terhadap Wakil Ketua DPRD Jatim untuk pengurusan penyaluran dana hibah cermin belum transparannya pengelolaan anggaran. Partisipasi publik menjadi sangat dibutuhkan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Berulangnya tindak pidana korupsi yang menjerat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur menunjukkan masih adanya persoalan tata kelola dalam penganggaran di daerah. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik mendesak diterapkan agar setiap uang negara yang dipergunakan dapat dipastikan untuk kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak 2004 sampai November 2022 terdapat 319 anggota DPR dan DPRD yang menjadi tersangka di KPK. Tertangkapnya Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simandjuntak pada Rabu (14/12/2022) malam menambah panjang daftar tersebut.
Pada 2017, praktik suap juga pernah terjadi di DPRD Jatim. Saat itu, Ketua Komisi B DPRD Jatim Mochamad Basuki ditangkap KPK dengan dugaan meminta upeti dari tiap dinas yang bermitra dengan Komisi B DPRD. Sebelumnya, pada 2002, saat menjabat sebagai Ketua DPRD Surabaya, Basuki terjerat kasus korupsi penyalahgunaan uang asuransi kesehatan anggota DPRD Kota Surabaya.
Adapun dugaan suap yang diterima Sahat terkait dengan pendistribusian dana hibah yang dialokasikan APBD Jawa Timur kepada kelompok-kelompok masyarakat. Menurut aturannya, distribusi dana itu harus melalui usulan yang diajukan oleh anggota DPRD Jatim, salah satunya Sahat. Adanya kewenangan itu membuat Sahat menawarkan diri untuk memperlancar pendistribusian dana hibah kepada sejumlah pihak dengan meminta uang muka layaknya praktik ijon. Penawaran itu pun disambut oleh Kepala Desa Jelgung (Kabupaten Sampang) Abdul Hamid.
Dalam operasi tangkap tangan, KPK menangkap Sahat saat ia tengah menerima uang imbalan sebesar Rp 1 miliar dari imbalan yang dijanjikan Hamid sebesar Rp 2 miliar. Uang imbalan itu untuk pengurusan penyaluran dana hibah tahun 2023.
Sebelumnya, praktik itu juga telah dilakukan Sahat dan Hamid untuk penyaluran dana hibah tahun 2021 dan 2022 dengan sumber dana hibah yang dialokasikan APBD Jatim tahun 2020 dan 2021 sebesar Rp 7,8 triliun. Saat itu Sahat memperoleh imbalan 20 persen dan Hamid 10 persen dari dana hibah yang diberikan. Saat itu, dana hibah yang diajukan Hamid untuk realisasi 2021 dan 2022 dikabulkan masing-masing Rp 40 miliar.
“Modus korupsi ijon dana hibah di daerah telah mencederai semangat pembangunan desa yang jadi prioritas pembangunan nasional dalam memajukan dan menyejahterakan perekonomian masyarakat,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Jumat (17/12/2022).
Dari kasus ini, selain Sahat, KPK juga menangkap Hamid beserta Ilham Wahyudi alias Eeng (koordinator kelompok masyarkat), dan Rusdi (anggota staf ahli Sahat).
Oleh karena itu, kata Johanis, KPK akan terus melakukan pendampingan kepada pemerintah daerah dan desa melalui Monitoring for Prevention (MCP), Jaga.id, dan program Desa Antikorupsi dalam pengelolaan APBD, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun dana desa. Pendampingan itu bertujuan agar pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif, sehingga setiap rupiah uang negara bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat.
Usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sahat mengaku bersalah. Ia pun meminta maaf kepada publik, khususnya masyarakat Jawa Timur dan keluarga. "Saya harap pemeriksaan kasus ini bisa berjalan lancar," ucapnya.
Terdapat celah
Menurut Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, berulangnya kasus suap yang melibatkan anggota DPRD mengikuti ritme pembahasan anggaran yang dilaksanakan setiap tahun. Proses pembahasan Rancangan APBD (RAPBD) yang melibatkan DPRD menjadi celah bagi munculnya potensi penyimpangan yang melibatkan anggota DPRD. Sebab, pembahasan itu biasanya berlangsung secara tertutup.
“Celah itu berangkat dari tertutupnya proses pembahasan anggaran antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Ini membuat informasi alokasi anggaran jadi monopoli mereka,” kata Lucius.
Ia mengungkapkan, ketertutupan proses pembahasan itu membuka ruang bagi DPRD untuk mentransaksikan anggaran tertentu ke pihak eksternal. Informasi itu yang menjadi bahan transaksi.
Misalnya, informasi tentang dana hibah diberikan anggota DPRD ke pihak yang berkepentingan mengambil keuntungan dari dana hibah itu. Mereka yang berkepentingan tersebut berusaha memastikan sejak awal anggaran hibah diperolehnya dengan menyuap anggota DPRD. Hal itu bertujuan agar jatah tersebut tak berpindah ke tangan lain.
Lucius mengungkapkan, pola suap seperti itu selalu terjadi karena ketertutupan proses pembahasan RAPBD. Informasi proyek atau jatah anggaran yang ada di dalam RAPBD banyak ditunggu oleh pihak luar yang menggantungkan hidupnya dari proyek ataupun jatah anggaran pemerintah. Mereka berkepentingan mengamankan jatah setelah diinformasikan oleh anggota DPRD. Alhasil, suap-menyuap terjadi.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Suparman, mengatakan, terjadinya korupsi yang diduga dilakukan Sahat menggambarkan tata kelola dana hibah yang buruk, mulai dari perencanaan sampai pengelolaan keuangan yang belum partisipatif, akuntabel, dan transparan.
Adanya persoalan tersebut dimanfaatkan oleh DPRD yang memiliki pengaruh pada proses perencanaan, penganggaran, atau mempengaruhi eksektutif dalam proses pemberian hibah. “Ini masalah jual pengaruh DPRD,” kata Herman.
Menurut Herman, situasi semakin buruk karena saat ini tidak ada sistem yang handal untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja DPRD. Padahal, DPRD mempunyai pengaruh besar dalam penganggaran di daerah, terutama dalam penyusunan APBD. Pembahasan anggaran antara kepala daerah dan DPRD sering alot. Partipasi publik hanya sampai di Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) atau perencanaan. Pembahasan anggaran dilakukan hanya antara DPRD dan kepala daerah atau organisasi perangkat daerah (OPD).
Agar persoalan tersebut tidak terjadi berulang, kata Herman, proses pengajuan dana hibah harus transparan. Pemda perlu membuat sistem, dimana publik bisa memantau atau mengetahui berapa masyrakat/kelompok masyarakat yang mengajukan, serta berapa yang dikabulkan pemda secara jelas dengan alasan penerimaan atau penolakan.
Ia mengingatkan, dana hibah sering dimanfaatkan pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaaan. Karena itu, butuh kelembagaan kolaboratif yang mengurus dana hibah.