Perkuat Gerakan Swadaya untuk Dorong Kontestasi Gagasan di Pemilu
Mendorong penyelenggaraan pemilu ataupun diskursus yang berorientasi gagasan bisa dilakukan masyarakat secara mandiri. Tanpa inisiatif-inisiatif mandiri, para elite politik akan cenderung memilih jalan pintas.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mendorong adu gagasan dalam Pemilu 2024 sesungguhnya bisa dilakukan masyarakat sipil, termasuk pengelola platform media sosial. Untuk itu, inisiatif-inisiatif masyarakat dan kolaborasi perlu dikedepankan.
Demokrasi yang terjadi di Indonesia dinilai semakin prosedural. Ruang-ruang untuk membangun gagasan dan membagikannya pun relatif sempit. Para aktor politik cenderung memanfaatkan emosi para pemilih ketimbang mendorong pendidikan politik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Di tengah perkembangan teknologi dan komunikasi yang gencar melalui media sosial, diskursus gagasan maupun program para peserta Pemilu 2024 perlu didorong. Untuk itu, masyarakat pemilih masih bisa melakukan banyak hal.
Hal ini menjadi benang merah dalam diskusi AE Priyono Democracy Forum bertajuk ”Membangun Ketangguhan Demokrasi Digital Menuju Pemilu 2024”, Rabu (14/12/2022). Diskusi yang diselenggarakan secara luring dan daring oleh Public Virtue Institute ini menghadirkan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Program Manager Kebijakan Meta Indonesia Desy Sukendar, dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti.
Keprihatinan bahwa para elite politik cenderung memilih jalan pintas berupa populisme disampaikan Usman. Akibatnya, medium-medium antara seperti keberadaan partai politik, media massa, dan organisasi masyarakat sipil seakan dihilangkan dalam membangun diskursus politik. Seorang pemimpin yang populis pun merasa dia menjadi jawaban atas segala hal dan cenderung menyalahkan semua kecuali dirinya sendiri.
Kenyataannya, dalam pemilu maupun dalam jalannya penyelenggaraan pemerintahan, partisipasi masyarakat sangat diperlukan. Ruang-ruang dialog warga dengan calon yang maju dalam pemilu, termasuk di media sosial, memungkinkan kontrak politik terjadi. Masyarakat pun bisa menagih janji calon tersebut.
Titi juga sepakat bahwa para aktor politik lebih mengutamakan pendekatan-pendekatan yang sangat emosional dan mengedepankan populisme, hegemoni identitas, bahkan mengeksklusi kelompok lawan. Media digital pun kenyataannya digunakan untuk hal serupa.
Sementara itu, penyelenggara pemilu hanya mengatur pemanfaatan media sosial secara formalistik, seperti membatasi kepemilikan sepuluh akun maksimal bagi setiap peserta pemilu. Hal ini dinilai Titi tak efektif.
Selain itu, menurut Bivitri, peraturan yang ada malah berpotensi menghantam kebebasan berekspresi masyarakat sipil. Dia mencontohkan pasal-pasal pencemaran nama baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) masih berlaku sampai 2025 karena menanti pemberlakuan KUHP yang baru. Dalam KUHP baru, pasal-pasal pencemaran nama baik yang diatur dalam UU ITE memang sudah dinyatakan tidak berlaku.
Selain itu, beberapa pasal yang biasa digunakan dalam kontestasi pemilu antara lain pengaturan pidana mengenai penyebaran berita bohong dan penodaan agama. Kedua pasal tersebut masih ada dalam KUHP lama. Aturan-aturan tersebut dinilai berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan penegak hukum yang sangat dekat dengan penguasa.
Untuk mengatasi kebuntuan regulasi maupun inisiatif negara, Bivitri menilai ketangguhan yang dibangun secara mandiri dari masyarakat perlu dibangun. Bukan hanya dibangun, gerakan swadaya ini perlu dikuatkan.
Upaya bersama yang diinisiasi sekelompok anak muda dan memobilisasi banyak warga mengawal hasil Pemilu 2014 dan 2019 bisa menjadi contoh.
”Saya kira ini titik di mana kita memang harus melepaskan ketergantungan pada negara. Sebab, situasi politik sekarang, banyak kebijakan dikeluarkan bukan untuk kepentingan publik, melainkan untuk kepentingan aktor-aktor politik, apalagi ini soal pemilu,” tuturnya.
Membangun forum-forum warga, menurut Usman, juga perlu diperkuat untuk mendengarkan gagasan para peserta pemilu. Forum-forum ini bisa disiapkan di kelompok-kelompok masyarakat. Harapannya, diskursus lebih didominasi ide, gagasan, dan program para peserta pemilu, bukan sekadar gimik politik.
Ruang-ruang alternatif untuk memungkinkan gagasan dibahas bersama peserta pemilu, menurut Titi, sangat diperlukan semua pemilih. Sebab, informasi ini penting untuk menentukan pilihan. Karena itu, para pemilih bisa aktif mempertanyakan gagasan dan program yang dibawa para peserta pemilu, termasuk dengan memanfaatkan media digital. Apalagi, partai politik, setelah mendapatkan penetapan sebagai peserta Pemilu 2024, termasuk nomor urutnya, dipastikan akan segera memanfaatkan media digital untuk mengoptimalkan sosialisasi. Masa kampanye sendiri baru akan dimulai 28 November 2023 dan berakhir 10 Februari 2024.
Sementara itu, platform digital seperti Meta, menurut Dessy, sesungguhnya sudah mengupayakan supaya para pengguna bisa tetap berekspresi dengan baik, mengakses informasi akurat, serta tetap aman akunnya.
Platform juga menyiapkan program edukasi, terutama untuk berpikir kritis dan empati. Sebab, dua hal ini dinilai sebagai modal utama untuk mendorong demokrasi.
Di sisi lain, transparansi iklan juga dinilai penting. ”Kadang informasi di iklan isinya disinformasi. Jadi kami pastikan iklan bisa dilihat di library dan lainnya,” ujar Dessy.
Selain itu, menurut Titi, perlu juga dibangun forum multipihak yang melibatkan banyak gerakan masyarakat sipil, termasuk bersama platform digital. Dengan demikian, narasi pembanding bisa disiapkan. Disinformasi juga bisa dilawan. ”Platform harus ambil bagian,” kata Titi.
Hal ini sekaligus menunjukkan platform digital melawan pelemahan demokrasi. Platform digital bisa bersama-sama masyarakat sipil mendorong pendidikan politik, membangun narasi bersama yang lebih berorientasi pada gagasan, dan komitmen perlindungan data pribadi.