KUHP Baru Dinilai Perburuk Situasi Pemberantasan Korupsi
Dalam KUHP baru, ancaman hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi menjadi lebih ringan. Ini memperburuk situasi penegakan hukum terhadap koruptor setelah remisi koruptor yang tidak ketat lagi.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Orasi peserta aksi penolakan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru dinilai akan memperburuk situasi penegakan hukum di Indonesia, terutama terkait penindakan terhadap para pelaku korupsi. Pasalnya, ancaman hukuman korupsi dalam KUHP tersebut lebih rendah ketimbang yang tertera dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Masuknya delik tindak pidana korupsi ke dalam KUHP juga memunculkan kekhawatiran korupsi tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa.
Hal tersebut disampaikan mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, saat ditemui di Jakarta, Minggu (11/12/2022). Novel mempertanyakan apakah pemerintah dan DPR melihat fenomena korupsi saat ini ketika merancang RKUHP. Pasalnya, di tengah jumlah kasus korupsi yang semakin meningkat dan nilainya yang semakin besar, pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, malah memasukkan delik tindak pidana korupsi ke KUHP yang baru dengan ancaman hukuman lebih ringan.
”Setelah pencabutan pembatasan soal keringanan hukuman koruptor pada tahun lalu, sekarang korupsi dimasukkan ke RKUHP dengan ancaman hukuman yang lebih ringan. Ini berbahaya karena memberikan keleluasaan kepada koruptor,” ujar Novel.
Pada Selasa (6/12/2022), RKUHP telah disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Saat ini, RKUHP tinggal menunggu tuntasnya proses pengesahan oleh Presiden sekaligus pengundangan. KUHP baru akan berlaku tiga tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan.
Pembatasan keringanan hukuman bagi koruptor yang dimaksudkan oleh Novel adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam ketentuan tersebut, pemerintah sebetulnya memberlakukan syarat remisi khusus kepada narapidana tindak pidana khusus, termasuk korupsi. Salah satu syaratnya, narapidana harus berstatus sebagai justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
Namun, pada 29 Oktober 2021, Mahkamah Agung mencabut dan membatalkan PP tersebut. Dengan demikian, aturan pemberian remisi narapidana korupsi mengacu pada PP Nomor 32 Tahun 1999 yang tak membedakan koruptor dengan narapidana tindak pidana lainnya.
Sementara dalam KUHP yang baru, tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 603-606. Namun, ancaman pidananya justru lebih ringan ketimbang aturan dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pada Pasal 603, misalnya, pelaku tindak pidana korupsi dipidana penjara paling singkat dua tahun dan maksimal 20 tahun dengan denda minimal 10 juta. Padahal, dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor, pelaku kejahatan yang sama dihukum pidana minimal empat tahun penjara dan maksimal 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp 200 juta.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana saat ekspose tersangka Hakim Agung Gazalba Saleh di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Selain itu, pada Pasal 606 Ayat (2) disebutkan, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji yang dianggap melekat pada jabatan atau kedudukannya dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Sementara dalam Pasal 11 UU Tipikor, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang melakukan kejahatan sama dipidana penjara paling lama lima tahun.
Dalam ketentuan penutup Pasal 622 Ayat (4) disebutkan, ketentuan pasal UU Tipikor pengacuannya diganti dengan pasal dalam KUHP baru. Ketentuannya meliputi Pasal 2 Ayat (1) pengacuannya diganti dengan Pasal 603; Pasal 3 pengacuannya diganti dengan Pasal 604; Pasal 5 pengacuannya diganti dengan Pasal 605; Pasal 11 pengacuannya diganti dengan Pasal 606 Ayat (2); dan Pasal 13 pengacuannya diganti dengan Pasal 606 Ayat (1).
Selain penurunan hukuman, Novel juga menyoroti masuknya delik tindak pidana korupsi ke KUHP. Sebab, menurut dia, itu menjadikan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana umum, bukan tindak pidana khusus.
Ini menimbulkan kekhawatiran, korupsi tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa ( extraordinary crime).
”Ini menimbulkan kekhawatiran, korupsi tidak lagi menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Lantas, pertanyaannya, KPK apakah masih punya kewenangan? Apakah Kejaksaan Agung punya kewenangan? Sebab, korupsi bukan lagi tindak pidana khusus,” ucap Novel.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Barang Bukti OTT Bupati Subang yang ditangkap KPK. Dua petugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (14/2/2018), menunjukkan barang bukti yang disita berupa sejumlah uang hasil operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Subang Imas Aryumningsih.
Penegakan hukum buruk
Kekhawatiran serupa disampaikan Senior Partner Integrity Law Firm yang juga Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2011-2014 Denny Indrayana. Kehadiran KUHP baru tidak sepenuhnya buruk karena akhirnya Indonesia memiliki KUHP sendiri. Namun, KUHP itu juga dinilainya tidak menjadi kabar baik di tengah penegakan hukum yang trennya sedang memburuk.
Indikator memburuknya penegakan hukum di Indonesia yaitu adanya pelemahan wewenang KPK setelah revisi UU KPK pada 2019. Selain itu, adanya intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi setelah penggantian hakim konstitusi Aswanto dan rencana revisi UU MK. Begitu pula tindakan represif dari aparat penegak hukum.
”RKUHP seharusnya datang sesuai kebutuhan sosial masyarakat yang mengarah pada penegakan hukum yang lebih adil dan lebih antikorupsi. Namun, RKUHP tidak datang dengan formula itu sehingga tidak menyembuhkan situasi penegakan hukum yang ’sakit parah’,” ujar Denny.
REBIYYAH SALASAH
Senior Partner Integrity Law Firm yang juga Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2011-2014 Denny Indrayana, saat ditemui pada Minggu (11/12/2022).
Lantas, apakah aturan turunan dapat membatasi ketentuan dalam KUHP baru sehingga mengurangi kriminalisasi? Denny menyangsikan hal itu. Sebab, kata Denny, perlu ada perbaikan menyeluruh dari seluruh unsur penegakan hukum di Indonesia.
Terdapat tiga unsur penegakan hukum, yaitu struktur hukum berupa aparat penegak hukum, budaya hukum berupa hukum yang berlaku dalam masyarakat, dan substansi hukum berupa perangkat perundang-undangan.
Substansi hukum tidak cukup baik. Struktur dan budaya hukum juga sudah rusak.
”Substansinya saja tidak cukup baik, ini struktur dan budayanya juga sudah rusak. Maka dari itu, kita perlu lihat dan perbaiki semua,” ucap Denny.
Denny pun khawatir pengesahan RKUHP merupakan satu rangkaian dengan pelemahan KPK dan intervensi MK. ”Ditambah lagi, ini dekat dengan Pemilu 2024. RKUHP tampak jadi strategi pemenangan pemilu, hukum jadi instrumen politik praktis yang pragmatis,” tuturnya.