Sekali Lagi, MK Jadi ”Keranjang Sampah”
Sebagian masyarakat sipil merasa skeptis untuk menguji konstitusionalitas sejumlah pasal di KUHP yang baru ke MK. Mereka memperkirakan, MK akan cenderung melegitimasi peraturan yang bermasalah.

Suasana rapat paripurna DPR dengan agenda pengambilan keputusan tentang Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/12022). DPR mengesahkan RKUHP menjadi Undang-undang KUHP secara aklamasi. RKUHP diputuskan dibawa ke rapat paripurna setelah pada 24 November lalu Komisi III DPR menyetujui pengesahan RKUHP di tingkat I.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sudah menyetujui Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjadi undang-undang baru, menggantikan KUHP lama warisan Belanda. Setelah 77 tahun merdeka, akhirnya Republik ini memiliki hukum pidana nasional buatan anak negeri. Sebuah prestasi tetapi sebagian kalangan yang keberatan dengan pengesahan kitab hukum pidana baru ini menilai KUHP baru lebih kolonial dibandingkan warisan Belanda.
Atas keberatan sebagian pihak tersebut, pemerintah dan DPR bergeming. Usulan agar pengesahan tidak dilakukan terburu-buru tidak diikuti. Pemerintah menyatakan telah membuat pagar-pagar terhadap aturan yang dikhawatirkan sebagian kalangan akan memberangus kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.
”Malu kita sebagai bangsa kalau masih pakai hukum Belanda. Tidak ada kebanggaannya sebagai anak bangsa. Jadi, sebagai anak bangsa, mari menyadari bahwa perbedaan pendapat sah-sah saja. Kalau pada akhirnya tidak setuju, mohon gugat saja di Mahkamah Konstitusi,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Senin (5/12/2022).
Pernyataan serupa diulang kembali paskapengesahan RKUHP di rapat paripurna DPR, Selasa (6/12/2022). Yasonna menanggapi berbagai keberatan yang disampaikan masyarakat sipil yang menengarai masih adanya pasal-pasal bermasalah di RKUHP yang disahkan.
Lihat juga: Wamenkumham Jawab Kegaduhan Pengesahan RKUHP | Back To BDM Bersama Edward Omar Sharif Hiariej

Yasonna H Laoly
”Dalam RKUHP ini, banyak yang sudah reformatif dan bagus Kalau ada perbedaan sedikit, nanti kalau sudah disahkan, gugat saja di MK (Mahkamah Konstitusi). Itu mekanisme konstitusional,” ujar Yasonna.
Begitu pula dengan anggota DPR. Para pembentuk undang-undang akhirnya menggeser permasalahan yang tidak berhasil dikompromikan dalam satu rumusan aturan tersebut ke MK.
Lontaran-lontaran pernyataan seperti itu dicatat kalangan masyarakat sipil sudah dilakukan sejak tahun 2019 ketika pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal itu pun diikuti dengan sejumlah produk legislasi, seperti UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU Mahkamah Konstitusi, dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Para pembentuk undang-undang akhirnya menggeser permasalahan yang tidak berhasil dikompromikan dalam satu rumusan aturan tersebut ke MK.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengungkapkan, pembuat undang-undang selalu saja melontarkan ”kalau tidak setuju, bawa saja ke MK” jika terdapat keberatan dari kalangan masyarakat terhadap produk yang mereka hasilkan. Ungkapan semacam itu seakan-akan memosisikan MK sebagai keranjang sampah.
“Jadi, mereka boleh saja membuat (undang-undang) asal-asalan, terus nanti MK yang menjadi keranjang sampahnya. Saya kira cara pandang seperti ini sangat keliru di dalam negara hukum. Karena dalam negara hukum, pergi ke MK bukan sebuah upaya hukum normal. Jangan diandaikan itu normal. (Pergi ke MK) Ibaratnya upaya hukum yang luar biasa,” kata Bivitri.
Baca juga: Buka Ruang Partisipasi untuk Mengubah Pasal Ancaman Kemerdekaan Pers

Bivitri Susanti, pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, saat menyampaikan pendapatnya tentang hasil pilihan panitia seleksi calon pimpinan KPK di kantor Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Yogyakarta, Rabu (28/8/2019).
Padahal, proses legislasi di DPR seharusnya dilakukan secara maksimal. Lontaran pernyataan ”kalau tidak setuju, bawa saja ke MK” yang terus berulang-ulang disampaikan hanya menunjukkan arogansi pembentuk undang-undang. ”Dengan demikian, seakan-akan seberapa buruk kinerja mereka, pokoknya kalau sudah diketok, maka Anda harus terima. Kalau tidak, silakan bawa ke ’keranjang sampah’,” kata Bivitri mengkritik.
Berdasarkan catatan Kompas, sejak 2019 ada kecenderungan produk legislasi DPR dan pemerintah selalu dibawa ke MK begitu disahkan. Misalnya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No 3/2020 tentang Minerba yang diuji langsung di uji formil dan materiil begitu diundangkan (4 perkara), UU No 7/2020 tentang MK yang dibahas dalam waktu lima hari yang juga diuji formil/materiil (6 perkara), UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang hingga kini sudah diuji hingga 16 kali, UU No 3/2022 tentang Ibu Kota Negara yang sudah dimintakan uji formil dan materiil (10 perkara). Selain undang-undang tersebut, ada pula pengujian UU No 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua, UU No 14/2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, UU No 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jika dilihat dari sisi jumlah perkara, ada peningkatan jumlah permohonan pengujian undang-undang pada tahun ini. Hingga awal Desember, ada 142 perkara pengujian undang-undang yang diregistrasi Kepaniteraan MK. Pada tahun 2021 terdapat 121 perkara.
Masalah
Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Usman Hamid mengkritik sejumlah substansi di RKUHP yang justru membuat produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan semangat dekolonialisasi dan demokratisasi hukum pidana di Indonesia. Pasal penghinaan presiden, penghinaan terhadap kekuasaan umum, pasal makar, dan pasal penodaan agama, dinilai Usman, sangat berbahaya.
”Yang terjadi justru rekolonialisasi dan de-demokratisasi. Jadi semacam kemunduran, melepaskan prinsip-prinsip demokrasi dan antikolonialisme serta antiotoritarianisme di dalam UU ini,” kata Usman.
Baca juga: Pasal Penghinaan, Hukum, dan Demokrasi

Aktifvs yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi menggelar unjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (15/9/2019). Mereka mengajak masyarakat untuk menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang bisa meningkatkan potensi masyarakat tersandung kasus pidana.
Penghinaan presiden dan kekuasaan umum, menurut Usman, merupakan entitas yang abstrak. Di masa Orde Baru atau otoritarianisme, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum digunakan untuk membungkam suara kritis dengan dalih menghina kekuasaan.
Selain itu, ada pasal makar yang selama ini bermasalah dan telah menimbulkan jatuhnya korban. Ia menilai, pasal ini akan menimbulkan gejolak perlawanan yang besar di Papua dan Maluku. Pasal makar pernah diberlakukan terhadap orang-orang yang membawa bendera bintang kejora yang merupakan simbol kultural Papua. Namun, di era pemerintahan sebelumnya, hal tersebut dikriminalisasi dengan tuduhan makar.
”Kesalahannya hanya bawa bintang kejora. Dituduhnya makar. Alat bukti makar di pengadilan adalah toa, poster, dan spanduk. Bayangkan, padahal yang namanya makar itu kalau kita pakai konsep utamanya adalah serangan, di mana harus ada penggunaan kekuatan koersif atau senjata. Ini tidak ada,” katanya.
Ia juga menyoroti pasal penodaan agama yang berpotensi ditafsirkan secara karet dan keliru untuk memenjarakan orang-orang yang tidak bersalah.
Sebagai satu-satunya jalur konstitusional untuk mempersoalkan sebuah undang-undang yang dinilai melanggar hak konstitusional warga negara, apakah masyarakat sipil masih punya harapan terhadap MK.
Apakah masih bisa diharapkan?
Sebagai satu-satunya jalur konstitusional untuk mempersoalkan sebuah undang-undang yang dinilai melanggar hak konstitusional warga negara, apakah masyarakat sipil masih punya harapan terhadap MK. Sebagian masyarakat sipil merasa skeptis untuk menguji konstitusionalitas sejumlah pasal yang ada di KUHP baru ke Mahkamah Konstitusi. Mereka memperkirakan, MK akan cenderung melegitimasi peraturan yang bermasalah.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Padjadjaran Virdian Aurellio mengaku, skeptis hal itu bisa berhasil. Ia menilai MK sekarang sangat kacau dan cenderung untuk menjaga kekuasaan. MK dinilainya sudah kehilangan marwahnya sebagai the guardian of constitution. ”Pun akhirnya dimasukkan ke judicial review, kami sih skeptis. Barang kali layak dicoba, tetapi sangat sangat skeptis,” ungkapnya.

Aktivis Indonesia Corruption Watch dan beberapa perwakilan elemen masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Madani menggelar aksi seruan penyelamatan Mahkamah Konstitusi di halaman Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Bivitri sependapat dengan ungkapan Virdian. Sulit berharap pada institusi MK saat ini untuk dijadikan tempat mengadu pihak-pihak yang merasa ada undang-undang yang dirasakan melanggar hak-hak warga negara. Ada beberapa alasan, di antaranya status Ketua MK yang menjadi bagian dari keluarga pihak berkuasa dalam hal ini keluarga besar Presiden Joko Widodo. Anwar Usman yang saat ini menjabat Ketua MK merupakan adik ipar Jokowi. Saat ini Anwar menjadi juru bicara keluarga terkait pernikahan anak bungsu Presiden, Kaesang Pangarep dengan Erina Gudono.
”Ini saja sudah sangat melanggar etik. Ada teman saya bilang, tetapi kan wajar dong, keluarga. Nah itu, kesalahan utamanya justru kenapa tidak mundur ketika dia menjadi bagian dari keluarga penguasa,” kata Bivitri.
Di sisi lain, ada fakta tentang berhasilnya pemberhentian Aswanto dari jabatannya sebagai hakim konstitusi di tengah masa jabatannya dan digantikan oleh Guntur Hamzah, yang semula merupakan Sekretaris Jenderal MK. Ketua Komisi III Bambang Wuryanto kepada wartawan mengatakan bahwa Aswanto diberhentikan karena tidak memiliki komitmen terhadap DPR. Sebagai hakim yang diusulkan oleh DPR, Aswanto malah membatalkan produk DPR.
Evaluasi kinerja hakim MK tersebut sebenarnya menjadi gagasan di dalam revisi keempat Undang-Undang MK yang akan dibahas oleh DPR dalam beberapa waktu ke depan. Draf revisi yang sudah dikirimkan ke pemerintah agar bisa dibahas bersama tersebut antara lain mengatur bahwa hakim konstitusi setiap lima tahun sekali ataupun sewaktu-waktu jika ada pengaduan masyarakat kepada lembaga pengusul bisa dievalusi.
”Jadi akan semakin banyak hakim yang akan ’diaswantokan’ oleh DPR dan mungkin juga oleh pemerintah. Karena sudah dibuatkan mekanisme. Ini sebenarnya ancaman bagi kemandirian kekuasaan kehakiman. Di seluruh dunia, hakim itu tidak boleh dipecat karena putusannya,” kata Bivitri.

Mural yang ditambahi tulisan "dilarang melarang" tergambar di tembok jalan layang di Grogol, Jakarta, Jumat (15/11/2019). Mural ini menjadi sindiran terhadap RUU KUHP yang dianggap terlalu dalam mengatur urusan pribadi warga negara. RUU KUHP ini batal disahkan oleh DPR periode 2014-2019 karena mendapat penolakan yang luas dari masyarakat.
Mendidik masyarakat
Dalam kondisi yang demikian, Bivitri khawatir MK ke depan tidak akan mengeluarkan putusan yang menyatakan sebuah produk undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional.
Kegelisahan Bivitri dan Virdian itu juga dirasakan oleh Wakil Koordinator Strategi dan Mobilisasi Kontras Rivanlee Anandar dan pengacara publik dari LBH Jakarta Citra Referendum. Citra mengungkapkan, Mahkamah Konstitusi bukan lagi ”ruang tarung” yang bisa ditempuh untuk situasi saat ini. Sebab, MK dalam pandangannya pada akhirnya menjadi lembaga yang justru melegitimasi peraturan atau regulasi yang cacat prosedural dan secara substansial merugikan rakyat serta bertentangan dengan konstitusi.
”Yang bisa dilakukan sekarang adalah bersama-sama memperkuat dan mendidik masyarakat tentang bahayanya RKUHP ini. Kami optimistis, penolakan masyarakat yang sangat besar untuk mendelegitimasi pengesahan ini masih bisa dilakukan,” kata Citra.
Ia juga sangat heran bagaimana para pejabat yang ada sekarang ini masih berpikir optimis atas kinerja MK yang di dalam internalnya sendiri ada masalah etik dan substansial.
Juru bicara MK, Enny Nurbaningsih, saat dikonfirmasi mengenai sikap masyarakat sipil terhadap MK mengungkapkan, MK secara kelembagaan tetap solid menunaikan kewenangan yang telah diamanatkan oleh UUD 1945. Tidak ada keraguan sedikit pun dari setiap hakim dalam menentukan putusan sesuai dengan nuraninya. Apabila ada yang merasa pendapatnya tidak sependapat dengan pendapat hakim, mayoritas dipersilakan untuk dissenting atau concurring opinion.
”Hal ini sejalan dengan kodrat lembaga peradilan di mana pun bahwa yang berbicara adalah putusan pengadilan. Oleh karena itu, secara etik yang berlaku universal hakim tidak boleh mengomentari/beropini tentang kewenangan lembaga negara lainnya, termasuk apa yang saat ini sedang dilakukan oleh DPR,” ujar Enny.
Lantas jalan alternatif apa yang dapat dilakukan? Sebagai jalan satu-satunya mempersoalkan regulasi setingkat undang-undang, uji konstitusionalitas pasal-pasal yang dianggap mengancam kebebasan berekspresi dan overkriminalisasi perlu dilakukan ke MK. Dengan harapan, para hakim MK tetap menjaga amanahnya sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara.