Wapres Amin: Metode Deradikalisasi Perlu Pembaruan
Berulangnya aksi napi terorisme setelah bebas menunjukkan virus radikal tak mudah dilawan. Untuk itu Wapres Amin menyampaikan agar metode deradikalisasi dilakukan pembaruan dan pengawasan perlu dilakukan.
Oleh
NINA SUSILO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kembalinya Agus Sujarno melancarkan aksi teror dalam peristiwa serangan bom bunuh diri di Markas Polsek Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat, menunjukkan proses deradikalisasi perlu dievaluasi. Metode deradikalisasi juga perlu pembaruan dengan memperhatikan akar masalah.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Kamis (8/12/2022), di Jakarta mengingatkan proses deradikalisasi bukan masalah mudah. Namun, insiden di Markas Polsek Astanaanyar, Rabu (7/12/2022) pagi, menunjukkan virus radikal terorisme tak mudah dilawan. Ketika sudah terkena virus radikal teroris, ada yang berhasil lepas darinya, ada pula yang tidak.
”Metode deradikalisasi perlu pembaruan dan pengawasan perlu terus dilakukan,” ujar Wapres Amin kepada wartawan seusai meresmikan pembukaan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta.
Pembaruan metode itu, menurut Wapres, perlu memperhatikan sumber akar masalah seseorang menjadi radikal. Dengan demikian, ketika proses deradikalisasi dilakukan, hal tersebut harus diselesaikan. ”Cuci pemikiran melalui landasan-landasan. Kalau perlu dalil-dalil, sehingga bisa mengubah pandangan itu,” katanya.
Selain deradikalisasi, langkah lainnya adalah kontraradikalisasi. Hal ini sudah mulai diterapkan di sekolah-sekolah, termasuk sekolah dasar, serta melibatkan semua lembaga dan instansi.
Insiden bom bunuh diri di Markas Polsek Astanaanyar dilakukan Agus Sujarno. Agus pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan sepanjang 2017-2021. Setelah bebas Oktober 2021, Agus teridentifikasi sebagai pelaku bom bunuh diri tersebut.
Dalam sambutannya di mukernas, Wapres Amin juga menyampaikan bahwa MUI sudah membentuk Tim Penanggulangan Terorisme sejak awal. ”Tak hanya itu, MUI juga sudah mengeluarkan fatwa bahwa teroris bukan jihad, terorisme itu haram karena merusak, tidak membawa kemaslahatan,” tambahnya.
Bukan hanya itu, pelurusan paham juga diperlukan. MUI, misalnya, membuat buku-buku untuk meluruskan makna jihad. ”Itu yang sudah dilakukan. Saya kira lembaganya masih ada dan perlu diefektifkan lagi supaya kembali ke Islam wasatiyah,” tambahnya.
Secara terpisah, Ketua Centra Initiative Al Araf mengingatkan fungsi koordinasi dan fungsi intelijen yang kurang maksimal yang mengakibatkan serangan bom bunuh diri terus berulang. Koordinasi semestinya dikerjakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selain itu, deradikalisasi semestinya dilakukan secara menyeluruh dan pencegahan dilakukan secara komprehensif, termasuk membangun ruang pendidikan yang toleran.
”Penguatan kontrol senjata api, senjata kimia, dan bahan peledak juga diperlukan. Imigrasi dan bea cukai juga perlu memantau keluar masuk bahan peledak dan orang yang diduga akan melakukan aksi terorisme. Pemerintah perlu memastikan keadilan sosial terwujud,” ucapnya.