Wamenkumham: Pasal KUHP Jangan Jadi Sarana Represi
”Di tengah berbagai macam isu terkait KUHP, yang paling penting adalah memberi pemahaman kepada aparat penegak hukum. Jangan sampai KUHP menjadi sarana represif dalam implementasinya,” kata Wamenkumham Eddy OS Hiariej.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masa transisi tiga tahun sebelum penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru akan dimanfaatkan pemerintah untuk sosialisasi masif kepada aparat penegak hukum. Pemerintah berupaya agar implementasi pasal di KUHP baru tidak menjadi sarana penindasan atau alat represi. Sementara masyarakat sipil berharap masih ada dialog untuk mengatasi pasal yang mengancam kebebasan berekspresi.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej dalam acara bincang-bincang ”Satu Meja The Forum: RKUHP Disahkan, Berkah atau Musibah?” di Kompas TV, Rabu (7/12/2022) malam, mengatakan, sosialisasi masif akan diberikan bagi aparat penegak hukum. Pemerintah berharap penerapan pasal-pasal baru di KUHP tidak menimbulkan banyak penafsiran. Oleh karena itu, pasal per pasal harus dijelaskan supaya ada kesamaan standar bagi penegak hukum.
”Di tengah berbagai macam isu terkait KUHP, yang paling penting adalah memberikan pemahaman kepada aparat penegak hukum. Jangan sampai KUHP menjadi sarana represif dalam implementasinya,” kata Eddy.
Selain Eddy, narasumber lain yang hadir dalam diskusi adalah anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari; Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid; dan pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti. Acara dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Usman Hamid mengatakan, masyarakat sipil kecewa dengan KUHP karena masih memegang paradigma kolonialisasi. Padahal, di negara asalnya Belanda, pasal-pasal kolonialisasi itu sudah ditinggalkan.
Contohnya, pasal tentang penghinaan presiden yang semangatnya sama dengan penghinaan Ratu Belanda. Demikian juga dengan pasal hukuman mati yang sudah ditinggalkan dari paradigma hukum pidana negara-negara di dunia.
Di Belanda sendiri, hukuman mati sudah dihapuskan dan diganti hukuman alternatif. Ada pula pasal makar yang dianggap akan mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin dalam konstitusi. ”Karena pasal-pasal era kolonial itu masih diadopsi, KUHP menjadi undang-undang separuh kolonial,” ujarnya.
Bivitri juga sepakat dengan pandangan Usman Hamid tersebut. Menurut dia, KUHP baru masih gagal untuk lepas dari warisan kolonialisme. Ada pula keberadaan pasal hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law) yang mengancam karena perbedaan budaya dan adat istiadat di masyarakat Indonesia yang majemuk.
Selain itu, juga ada pasal yang mengatur demonstrasi harus dengan pemberitahuan yang dianggap bertentangan dengan jaminan menyatakan pendapat di muka umum. Padahal, sejak reformasi 1998, pemberitahuan demonstrasi sudah tidak diberlakukan. Selain itu, juga masih tersisa pasal-pasal karet penodaan agama, penyebaran berita bohong yang bisa menyerang kebebasan pers.
”Melihat KUHP baru ini harus dengan helicopter view atau dari sudut pandang yang lebih luas. Mengapa pasal-pasal yang mengancam kebebasan sipil tetap dipertahankan? Mengapa tidak dicabut supaya lepas dari kolonialisme,” katanya.
Taufik Basari menjelaskan bahwa sebagai anggota DPR, ia sudah berusaha semaksimal mungkin menyampaikan aspirasi masyarakat sipil. Sejumlah masukan dari masyarakat sipil sudah disampaikan dalam rapat-rapat formal dan informal di DPR. Sejumlah masukan juga telah diakomodasi sehingga pasal-pasal di KUHP baru diperbaiki. Namun, untuk mencari jalan tengah kepentingan-kepentingan yang berbeda tidak mudah.
Pasal penyebaran berita bohong misalnya tidak akan mengancam kebebasan pers karena pers dilindungi oleh UU lex specialis. Sengketa pemberitaan akan diselesaikan dengan mekanisme yang diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Mekanisme itu sudah berjalan baik saat KUHP lama, maupun implementasi dari KUHP baru di masa depan.
”Walaupun pasal-pasal bermasalah dianggap masih ada, semoga kekhawatiran berbagai pihak (terkait implementasinya) tidak terjadi. Itulah yang saya harapkan,” katanya.
Taufik juga menyebut bahwa selama masa transisi tiga tahun ini dialog antara pembentuk UU dan masyarakat masih bisa dilakukan untuk mencapai pemahaman bersama.
Bivitri menyampaikan, semua cara yang mungkin dilakukan oleh masyarakat sipil akan dilakukan, baik itu unjuk rasa, dialog, maupun diskusi-diskusi kritis publik. Menurut dia, masukan dari Taufik tentang dialog lebih bijak dibandingkan usulan dari pemerintah dan sebagian anggota DPR yang meminta pihak yang tidak setuju dengan KUHP untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan melalui MK bukan pilihan dan bukan bagian dari proses legislasi.
”Seolah-olah ada arogansi yang begitu tinggi (dari pembentuk UU) yang mempersilakan untuk menggugat ke MK. Seolah yang bisa mereka lakukan hanya itu. Saya kira dialog, unjuk rasa (terhadap KUHP baru) harus terus diadakan,” katanya.