RKUHP, antara Legasi dan Ancaman Kemunduran Demokrasi
Paradigma yang ingin dibangun dalam KUHP baru adalah dekolonialisasi. Namun, masyarakat sipil menilai, sejumlah ketentuan dalam KUHP masih setengah kolonial.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Kelegaan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat setelah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana disahkan pada Selasa (6/12/2022) berbanding terbalik dengan keresahan yang dirasakan masyarakat. Tidak sedikit masyarakat khawatir KUHP karya anak negeri itu justru akan menggerus kualitas demokrasi.
KUHP yang selama ini digunakan adalah warisan pemerintah kolonial Belanda. Keinginan untuk mengubah KUHP muncul sejak 1963, tetapi baru mulai dibahas pada 2015. Ada keinginan yang kuat agar Indonesia memiliki KUHP sendiri yang selaras dengan Pancasila dan konstitusi. Para begawan hukum, bahkan sebagian sudah meninggal, menjadi tim ahli dalam penyusunan Rancangan KUHP (RKUHP).
RKUHP dibahas pemerintah dan DPR pada 2019, tetapi gagal disahkan karena kerasnya penolakan masyarakat. Setelah melalui serangkaian perbaikan dan sosialisasi, RKUHP berhasil disahkan. Indonesia akhirnya memiliki KUHP baru setelah 59 tahun berproses.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej dalam acara bincang-bincang Satu Meja the Forum bertajuk ”RKUHP Disahkan, Berkah atau Musibah?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (7/12/2022) malam, mengungkapkan, keresahan publik setelah RKUHP disahkan hanya soal ketidakpahaman. KUHP baru justru dirumuskan dengan misi demokratisasi. KUHP menjunjung tinggi kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi. Namun, Eddy mengingatkan bahwa konstitusi tak menjamin kebebasan penghinaan.
Pemerintah mengklaim telah mendengarkan dan mengakomodasi masukan dari masyarakat. Pasal penghinaan, misalnya, sebelumnya diusulkan empat jenis penghinaan diatur, yakni penyerangan harkat dan martabat presiden serta penghinaan kepada pemerintah, kekuasaan umum, dan pejabat negara. Namun, saat disahkan, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan pejabat negara dihapuskan. Kini, hanya penghinaan terhadap harkat dan martabat presiden serta penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara yang diatur dalam KUHP baru.
”Filosofi hukum pidana itu melindungi kepentingan negara, masyarakat, dan rakyat. Yang dilindungi adalah keamanan negara dan martabat. Itu kemudian dituangkan pada pasal-pasal untuk menjaga marwah itu,” kata Eddy.
Selain Eddy, narasumber lain yang hadir dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu adalah anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari; Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid; dan pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti.
Kemunduran
Usman dan Bivitri tak sepakat dengan pandangan Eddy. Menurut mereka, masih ada nuansa kolonialisme yang dipertahankan dalam KUHP baru. Bahkan, pasal mengenai aturan demonstrasi justru mundur dari KUHP lama.
Bivitri mencontohkan, sejak tahun 1999, Indonesia sudah tidak lagi menerapkan aturan pemberitahuan atau izin berdemonstrasi. Sebab, kebebasan mengeluarkan pendapat di muka umum dijamin konstitusi. ”Pasal 510 dan 511 KUHP lama tentang izin atau pemberitahuan demonstrasi itu sudah tidak berlaku lagi, tetapi malah diberlakukan lagi di KUHP baru,” ujarnya.
Usman menambahkan, yang menjadi pangkal persoalan dalam aturan pemberitahuan demonstrasi adalah karena demonstrasi dihadapkan dengan kerusuhan atau keonaran. Demonstrasi atau menyatakan pendapat di muka umum jelas dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945. Sementara kerusuhan atau keonaran bisa terjadi kapan pun, termasuk pada kegiatan di luar demonstrasi. Dengan menghubungkan antara demonstrasi dan kerusuhan, seolah pembentuk UU ingin menunjukkan bahwa berdemonstrasi itu adalah inkonstitusional.
Paradigma yang ingin dibangun dalam KUHP baru, kata Usman, adalah dekolonialisasi. Namun, realitasnya, pasal-pasalnya masih setengah kolonial. Pasal penghinaan terhadap presiden, misalnya, sama dengan pasal penghinaan terhadap Ratu Belanda. Padahal, di Belanda sendiri ketentuan itu sudah ditinggalkan.
”Hukuman mati juga sudah tidak ada di Belanda, bahkan di negara-negara dunia yang lain. Bahkan, di sana menjadi syarat hubungan timbal balik hukum (mutual legal assistance). Namun, di KUHP baru masih ada,” ujarnya.
Paradigma yang ingin dibangun dalam KUHP baru adalah dekolonialisasi. Namun, realitasnya, pasal-pasalnya masih setengah kolonial.
Selain pasal pemberitahuan demonstrasi, juga ada pasal makar yang bisa digunakan untuk memenjarakan orang yang berbeda pandangan politik. Sebab, pasal itu juga mengatur tindak pidana persiapan makar. Tindak pidana makar di KUHP baru tak sebatas mengatur tentang serangan fisik yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintah.
Eddy menegaskan bahwa KUHP baru dibuat dengan paradigma hukum pidana modern yang mengatur keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Dalam KUHP baru, hukum pidana tidak lagi diletakkan sebagai keadilan retributif atau sarana balas dendam seperti era Romawi kuno.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada itu menyebut RKUHP telah melalui perjalanan panjang selama 59 tahun. Selama itu, ada 30 draf RKUHP yang terus berubah karena mengakomodasi aspirasi masyarakat. Tantangan terberat dalam perumusan RKUHP adalah mencari titik temu aturan yang bisa diterima masyarakat yang multietnis, multiagama, dan multikultural. Menurut dia, 624 pasal di KUHP baru adalah titik kompromi maksimal yang bisa diterima pembentuk undang-undang dan masyarakat.
”Pemerintah tidak buta dan tidak tuli karena tetap mendengar masukan dari masyarakat. Kalau kemudian masih ada pro dan kontra, itu biasa karena tidak mungkin memuaskan semua pihak. Pemerintah dan DPR bisa menjelaskan kenapa memilih itu,” ujarnya.
Taufik Basari menyampaikan, DPR sudah berupaya mengakomodasi tuntutan masyarakat. Namun, dalam pembahasan di DPR, masukan datang dari berbagai sisi. Ada yang ingin menghapus pasal yang bermasalah, ada pula yang mengusulkan untuk mempertahankannya. ”Kami mencari jalan tengah dari kedua aspirasi itu. Akhirnya, kami memberikan batasan-batasan yang ketat agar kekhawatiran bahwa pasal itu akan mengkriminalisasi masyarakat tidak terjadi,” katanya.
Lebih jauh, Taufik mengingatkan, masih ada jeda waktu tiga tahun sampai KUHP baru benar-benar diterapkan. Di masa transisi itu, pembentuk undang-undang dan masyarakat bisa berdialog dan membahas pro dan kontra.
Kini, tugas pembentuk undang-undang, baik pemerintah maupun DPR, adalah menjelaskan dan menyosialisasikan kepada aparat penegak hukum sebelum KUHP baru benar-benar diterapkan pada tahun 2025. Pemerintah juga sudah menyiapkan sosialisasi masif untuk memberi pemahaman kepada aparat penegak hukum. Implementasi pasal per pasal harus jelas agar ada kesamaan standar, parameter, dan frekuensinya.
Bivitri mengatakan, usulan untuk berdialog lebih bijak daripada pendapat bahwa mereka yang tidak setuju dengan KUHP baru dipersilakan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Dia menilai perintah menggugat ke MK itu adalah bentuk arogansi tinggi dari pembentuk undang-undang. Sebab, MK bukanlah bagian dari proses legislasi. Oleh karena itu, unjuk rasa, diskusi, dan dialog harus terus dilakukan. Di sisi lain, jika ada yang ingin menggugat ke MK, jalur konstitusional itu juga tersedia.