Komnas HAM merekomendasikan agar Jaksa Agung dapat melakukan upaya hukum dengan diputus bebasnya terdakwa pelanggaran HAM berat kasus Paniai. Hak korban juga perlu dipenuhi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, RENY SRI AYU ARMAN
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diketuai Sutisna Sawati di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (12/8/2022), menjatuhkan vonis bebas terhadap Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu, terdakwa tunggal kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai 2014. Adanya putusan bebas ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merekomendasikan Jaksa Agung untuk melakukan upaya hukum lanjutan sesuai hasil penyelidikan Komnas HAM.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Abdul Haris Semendawai menyampaikan, Komnas HAM menghormati putusan Pengadilan HAM yang menjatuhkan vonis bebas terhadap Isak Sattu, terdakwa pelanggaran HAM kasus Paniai di Papua. Namun, Komnas HAM memberikan sejumlah catatan terkait dengan proses peradilan terdakwa. Hal itu di antaranya proses pembuktian perkara yang dinilai tidak berjalan dengan maksimal karena mayoritas saksi yang dihadirkan dalam persidangan berasal dari aparat atau anggota TNI dan Polri.
Atas dasar pertimbangan itu, menurut Haris, Komnas HAM merekomendasikan agar Jaksa Agung mengambil upaya hukum terkait dengan putusan majelis hakim Pengadilan HAM. Selain itu, Jaksa Agung juga diminta memproses hukum pelaku yang memiliki tanggung jawab komando dan pelaku lapangan dalam peristiwa Paniai, sesuai hasil penyelidikan Komnas HAM.
”Komnas HAM juga merekomendasikan agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban proaktif memberikan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan korban dalam peristiwa Paniai 2014,” kata Haris, Kamis (12/8/2022).
Dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan HAM menyatakan bahwa terdakwa Isak tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana didakwakan. ”Membebaskan terdakwa dari semua dakwaan kesatu dan kedua sebagaimana didakwaan oleh penuntut umum. Mengembalikan harkat dan kehormatan terdakwa,” kata Ketua Majelis Hakim Sutisna dalam persidangan yang berjalan hampir tiga jam.
Putusan itu disambut tangisan Isak. Sejak awal persidangan, Isak mengaku dalam peristiwa pelanggaran HAM berat Paniai itu ia hanya kebetulan berada di Markas Koramil Enarotali, Papua, tempat berlangsungnya demo warga yang berujung ricuh. Dalam peristiwa ini, pasukan TNI disebutkan menembak warga dan menyebabkan 4 orang tewas dan 10 orang lainnya luka-luka.
Saat itu warga berunjuk rasa di Koramil 1705-02 Enarotali untuk memprotes pemukulan oleh sejumlah oknum TNI terhadap warga. Pemukulan itu dampak cekcok mulut akibat anggota TNI yang nyaris menabrak sekelompok pemuda yang sedang meminta sumbangan di jalan untuk acara Natal.
Sebelumnya, jaksa menuntut Isak dengan hukuman 10 tahun penjara. Isak didakwa melakukan tidak pidana pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan, melanggar dakwaan ke I Pasal 42 Ayat (1) Huruf a dan Huruf b, juncto Pasal 7 Huruf b, Pasal 9 Huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengatakan, berdasarkan pemeriksaan sejumlah saksi, termasuk saksi ahli, bukti-bukti dan fakta-fakta persidangan, Isak tidak terbukti melanggar pasal-pasal yang dikenakan. Sebagai perwira penghubung, secara struktural Isak tidak bertanggung jawab pada pasukan di Markas Koramil. Walau saat itu dia yang memiliki pangkat tertinggi, dia tak diberi mandat atau wewenang untuk menggantikan atau mengambil alih tugas Danramil yang saat peristiwa sedang tidak berada di tempat.
Fakta lain adalah hasil uji senjata api yang menunjukkan tidak ada kesesuaian. Sementara pemeriksaan atau otopsi terhadap korban meninggal juga tidak dilakukan, termasuk uji balistik pada peluru yang mengenai korban tewas.
Isak, yang mengaku saat kejadian kebetulan berada di Markas Koramil Paniai, akhirnya didudukkan menjadi terdakwa tunggal. Alasannya berdasarkan dakwaan jaksa, saat peristiwa tersebut, Isak adalah satu-satunya perwira dan senior di Koramil. Saat peristiwa tersebut, Danramil sedang tidak berada di tempat.
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, Komisi III akan melakukan evaluasi terhadap jalannya pengadilan HAM yang terjadi selama ini. Sebab, tidak ada satu pun pengadilan HAM berat yang berhasil memberikan rasa keadilan bagi korban. Oleh karena itu, Komisi III akan melihat apa yang menjadi permasalahan dalam sidang-sidang tersebut, termasuk sidang kasus Paniai. Komisi III juga akan melihat kemauan dan kemampuan Kejaksaan Agung memproses pelanggaran HAM di pengadilan HAM.
”Kami juga tidak mau negara menuju pada negara yang mempraktikkan impunitas atau kejahatan tanpa keadilan,” katanya.