Indeks Negara Hukum RI Terancam Memburuk Pasca-KUHP Baru
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih memuat pasal yang dinilai mengancam kebebasan berekspresi yang menjadi salah satu indikator untuk mengukur indeks negara hukum.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, DIAN DEWI PURNAMASARI, LUKI AULIA
·5 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Teaterikal peserta aksi penolakan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di depan Kompleks Gedung MPR dan DPR, Jakarta, Senin (5/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah pada 6 Desember lalu berpotensi menghambat kebebasan berekspresi. Tak hanya bisa berdampak terhadap pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, kondisi itu juga dikhawatirkan akan membuat indeks supremasi hukum di Indonesia terancam semakin terpuruk.
Pada tahun 2022, skor indeks supremasi/negara hukum Indonesia menurut World Justice Project (WJP) berada di angka 0,53 dari skala 0-1. Dengan angka itu, Indonesia menempati posisi 64 dari 140 negara yang disurvei. Bahkan, jika dibandingkan dengan 15 negara di kawasan Asia Pasifik, Indonesia peringkat 9.
Direktur Eksekutif Kemitraan yang juga mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Laode M Syarif, Rabu (7/12/2022), mengungkapkan, skor indeks supremasi/negara hukum Indonesia memang tergolong buruk. Indeks negara hukum diperkirakan terancam kembali memburuk setelah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru diterapkan. Sebab, dalam KUHP baru itu ada sejumlah pasal yang mengancam kebebasan berekspresi warga negara. Padahal, salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur indeks negara hukum adalah kebebasan berekspresi.
Laode menyebut ketentuan yang mengancam kebebasan berekspresi itu, antara lain, pasal penghinaan presiden/wakil presiden (Pasal 218), penghinaan kekuasaan umum (pemerintah dan lembaga negara), dan pengaturan mengenai berita bohong yang berpotensi multitafsir (Pasal 231). ”Penghinaan ini sulit dibedakan dengan kritik. Misalnya, ada orang mengatakan anggota DPR pembohong. Misal dia (anggota DPR) sudah janji mau membangun jembatan, tetapi jembatan tak dibangun. Apakah itu bisa dikatakan kritik, atau penghinaan?” ujarnya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly (kiri) menyerahkan laporan berkas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad usai memberi pandangan terakhir pemerintah dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/12022).
Rancangan KUHP disepakati untuk disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa lalu. RKUHP yang disahkan itu memuat 624 pasal dan berlaku tiga tahun setelah diundangkan.
Selain sejumlah ketentuan yang mengancam kebebasan berekspresi, pasal lain yang juga menuai banyak kritik adalah pasal yang mengatur ancaman minimal bagi para pelaku korupsi. Dalam RKUHP yang baru disahkan itu, ancaman hukuman bagi terdakwa korupsi ditetapkan minimal dua tahun penjara. Ketentuan ini lebih rendah dibandingkan dengan ancaman hukuman bagi koruptor yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yakni minimal empat tahun penjara.
Padahal, korupsi merupakan kejahatan yang serius bahkan ada yang menyebut sebagai kejahatan luar biasa. Maraknya korupsi juga telah menghalangi tercapainya cita-cita mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif
Laode menilai, dengan menurunkan ancaman minimal hukuman korupsi, pemerintah dan parlemen seakan menganggap korupsi bukan kejahatan yang serius. Dengan sikap itu berarti DPR dan pemerintah telah membunyikan lonceng tanda bahaya bagi gerakan pemberantasan korupsi ke depan. Selain itu, juga merupakan ancaman bagi upaya untuk menumbuhkan sistem antikorupsi di Indonesia.
Pelaksanaan HAM
Pengesahan RKUHP tidak hanya menuai kritik dari dalam negeri, tetapi juga negara lain. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Sung Y Kim, misalnya, menyampaikan kekhawatiran KUHP baru bisa berdampak pada pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan fundamental di Indonesia. Lebih dari itu, KUHP baru, khususnya yang mengatur mengenai ranah privat, juga akan berdampak terhadap iklim investasi dan sektor bisnis di Indonesia. Pasalnya, investor akan mempertimbangkan hukum yang dapat melindungi kebebasan dan nilai-nilai penting lainnya.
”Saya kira itu akan membuat pertimbangan menjadi lebih rumit, terutama bagi kalangan bisnis AS. Ini akan menjadi faktor yang menentukan bisnis AS atau negara lain yang akan berinvestasi di Indonesia,” kata Kim dalam konferensi pers di Kedutaan Besar AS di Jakarta, Rabu (7/12).
Kim melanjutkan, AS masih mempelajari KUHP yang baru disahkan itu. AS juga terbuka untuk berdialog dengan Indonesia terkait isu ini karena Kim percaya ada potensi luar biasa bagi AS dan Indonesia untuk mengembangkan hubungan investasi dan perdagangan.
Saya kira itu akan membuat pertimbangan menjadi lebih rumit, terutama bagi kalangan bisnis AS. Ini akan menjadi faktor yang menentukan bisnis AS atau negara lain yang akan berinvestasi di Indonesia
Sebelumnya, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price, dalam jumpa pers di Washington, AS, mengatakan, AS sedang mempelajari isi dari KUHP. AS khawatir aturan perundang-undangan itu akan berdampak pada warga AS yang berkunjung dan tinggal di Indonesia. ”Indonesia adalah mitra demokrasi AS yang penting. Kami berupaya bekerja sama dengan Indonesia untuk melawan kebencian dan intoleransi,” ujar Price seperti dikutip kantor berita Reuters.
Terobosan
Kendati banyak catatan dan kritik, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, berpandangan, jika dipelajari secara keseluruhan, RKUHP sudah memuat sejumlah terobosan. Salah satunya penjelasan mengenai perbuatan pidana. Dalam pembauran KUHP warisan Belanda itu sudah dijelaskan perbuatan pidana harus menimbulkan kerugian yang nyata. Misalnya, aturan tentang penghinaan presiden dan lembaga negara, baru bisa memenuhi unsur pidana ketika berdampak pada kerusuhan atau keonaran. Ketika tidak terjadi, hal itu sulit untuk dibuktikan unsur materiilnya.
Selain itu, juga aturan pemberitahuan demonstrasi. Siapa pun yang menggelar aksi protes kebijakan diwajibkan memberitahukan kepada aparat penegak hukum. Ketika tidak ada pemberitahuan, pihak yang berdemonstrasi tidak bisa dipidana. Aparat penegak hukum hanya diperbolehkan menghentikan atau membubarkan demonstrasi tanpa pemberitahuan.
Dengan semakin jelasnya delik pidana, lanjutnya, beban pembuktian tindak pidana ada di hakim. Hakim bisa mencari kebenaran materiil melalui norma yang sudah jelas di KUHP. Jika memang tidak terbukti seluruhnya unsur-unsur yang dimaksud, warga negara tidak akan begitu mudahnya dipenjara.
Azmi mengingatkan, masa transisi selama tiga tahun sebelum KUHP baru diimplementasikan harus dimanfaatkan sepenuhnya untuk sosialisasi secara masif, baik sosialisasi kepada aparat penegak hukum maupun masyarakat.
“Mari kita pelajari, baca bersama-sama dan diskusikan secara masif. Sehingga semua paham betul apa yang ada di KUHP baru ini,” ungkapnya.
Azmi juga berpandangan, memang tidak mudah mencari titik keseimbangan untuk membuat aturan pidana di masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. Banyak kepentingan yang harus diakomodasi. Namun, dia menekankan bahwa KUHP juga berdampingan dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di KUHAP, ada alasan pemaaf yang dapat membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Kedua aturan itu saling melengkapi sehingga masing-masing pihak diminta tidak terlalu khawatir bahwa KUHP baru akan over kriminalisasi.
Sementara itu, sebelumnya Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan, pemerintah menghormati perbedaan pendapat terkait RKUHP dan mempersilakan jika ada yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, pemerintah juga akan menyosialisasikan KUHP baru secara intensif selama tiga tahun ke depan.