Penanganan Militansi untuk Antisipasi Perubahan Corak Gerakan Terorisme
Ledakan bom di Bandung menunjukkan teror individu yang lebih tak terduga. Aksi itu juga menunjukkan perubahan gerakan terorisme di Indonesia. Perubahan corak membutuhkan pula penanganan yang lebih militan dan cepat.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
REBIYYAH SALASAH
Peneliti The Habibie Center Imron Rasyid; Direktur Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk; Senior Program Officer Sasakawa Peace Foundation Akiko Horiba; dan Direktur Eksekutif SeRVE Indonesia Dete Aliah (dari kanan ke kiri) dalam acara seminar nasional bertajuk ”Ancaman dan Upaya Penanggulangan Terorisme di Indonesia” yang digelar The Habibie Center, Rabu (7/12/2022) di Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan terorisme di Indonesia mengalami perubahan corak dari aksi kelompok besar yang memunculkan teror yang juga berskala besar menjadi aksi individu berskala teror lebih kecil tetapi masif. Akibatnya, pencegahan serangan teroris semakin sulit dilakukan. Kolaborasi berbagai pihak pun perlu dilakukan lebih militansi lagi untuk mengantisipasi terorisme.
Direktur Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk, Rabu (7/12/2022), di Jakarta, mengatakan, terdapat perbedaan gerakan terorisme dengan beberapa tahun lalu. Dalam konteks global, misalnya, dulu teror dilakukan dengan aksi-aksi yang berskala besar seperti serangan World Trade Center pada 2001. Adapun di Indonesia teror bom Bali pada Oktober 2002. Saat ini teror dilakukan individu yang terpapar paham ekstrem tanpa terlibat langsung jaringan terorisme tertentu.
”Gejala terorisme di Indonesia saat ini tidak lagi gerakan besar dengan aksi spektakular, tetapi gerakan kecil dari orang biasa yang tidak terduga, yang ada di mana-mana dan sulit terdeteksi. Orang ini biasanya sudah terpapar paham ekstrem karena membaca narasi jaringan terorisme tertentu,” ujar Hamdi Muluk dalam seminar nasional bertajuk ”Ancaman dan Upaya Penanggulangan Terorisme di Indonesia” yang digelar The Habibie Center, di Jakarta.
Gejala terorisme di Indonesia saat ini tidak lagi gerakan besar dengan aksi spektakular, tetapi gerakan kecil dari orang biasa yang tidak terduga, yang ada di mana-mana dan sulit terdeteksi. Orang ini biasanya sudah terpapar paham ekstrem karena membaca narasi jaringan terorisme tertentu.
Terkait teror tak terduga dari individu, Hamdi Muluk mencontohkan ledakan bom yang baru saja terjadi di Kantor Kepolisian Sektor Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat. Menurut dia, apabila teror dilakukan kelompok atau jaringan terorisme yang besar, maka akan mudah diendus. Beda halnya dengan aksi individu yang profilnya tidak terpetakan sebelumnya.
Di samping itu, kata Hamdi, tidak mudah mengetahui alasan seseorang terpapar paham ekstrem. Sebab, itu merupakan proses psikologis yang sulit dipahami. Meskipun demikian, Hamdi mengacu pada teori Arie W Kruglanski, Profesor Psikologi Unversitas Maryland yang kerap meneliti ekstremisme kekerasan. Berdasarkan teori itu, setidaknya ada tiga pemicu seseorang terpapar paham radikal hingga berkembang menjadi ekstremis kekerasan.
”Faktor pertama adalah kebutuhan untuk menjadi radikal karena merasa hampa, kurang puas akan keadaan, termarjinalisasi, dan sebagainya. Bahkan, bisa jadi ada kebutuhan akan kepastian sehingga mencarinya ke ideologi-ideologi ekstrem. Nah, kebutuhan ini kemudian disuplai oleh narasi ekstremisme dan jejaring kelompok,” ucapnya.
Faktor pertama adalah kebutuhan untuk menjadi radikal karena merasa hampa, kurang puas akan keadaan, termarjinalisasi, dan sebagainya. Bahkan, bisa jadi ada kebutuhan akan kepastian sehingga mencarinya ke ideologi-ideologi ekstrem. Nah, kebutuhan ini kemudian disuplai oleh narasi ekstremisme dan jejaring kelompok.
Adapun untuk mengatasinya, Hamdi menekankan pentingnya menawarkan narasi tandingan serta memperkecil ruang gerak jaringan terorisme. ”Akan selalu ada orang yang teradikalisasi sehingga mendambakan nol kasus terorisme adalah utopis. Namun, kita perlu terus berupaya untuk mengatasi dan mewaspadainya,” ucap Hamdi.
Dalam acara serupa, Direktur Eksekutif SeRVE Indonesia Dete Aliah menuturkan, gerakan terorisme di Indonesia mengalami perkembangan, terutama sejak kemunculan NIIS di Tanah Air pada 2014. Ia menuturkan, aktor kekerasan kini tidak hanya pria dewasa, tetapi juga perempuan. Jumlah perempuan yang terlibat aksi terorisme pun semakin banyak, mencapai 50 orang jika merujuk pada data dinas sosial.
Selain laki-laki dan perempuan dewasa, aksi terorisme juga melibatkan remaja dan anak-anak. Hal itu terjadi karena jaringan terorisme menyebarkan pahamnya kepada masyarakat sejak dini. Bahkan, menurut Dete, pencucian otak dilakukan mulai dari anak-anak tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD).
Kolaborasi
Mengantisipasi hal itu, Dete menegaskan pentingnya kerja sama antar-berbagai pihak mulai dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, hingga masyarakat sipil. Kolaborasi itu juga perlu diiringi dengan kerja cepat untuk mengimbangi perkembangan gerakan terorisme.
Kelompok teroris ini militan, sayangnya kita tidak semilitan mereka. Maka dari itu, kita harus militan juga dalam penanganan maupun pencegahan biar lajunya lebih cepat dari mereka.
”Kelompok teroris ini militan, sayangnya kita tidak semilitan mereka. Maka dari itu, kita harus militan juga dalam penanganan maupun pencegahan biar lajunya lebih cepat dari mereka,” tutur Dete.
Peneliti The Habibie Center, Imron Rasyid, mengatakan, setiap pihak dapat berkontribusi dalam upaya penanggulangan terorisme dengan perannya masing-masing. The Habibie Center, misalnya, bergerak dalam proses pencegahan, penerimaan nilai-nilai keberagaman, maupun reintegrasi mantan narapidana terorisme dengan masyarakat.
Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar menyampaikan, akademisi ataupun lembaga pendidikan juga dapat terlibat dalam pencegahan terorisme. Itu dapat dilakukan dengan penguatan wawasan kebangsaan dan akar budaya bangsa serta penyebaran semangat toleransi.
Menurut Boy, terorisme merupakan masalah bersama sehingga tidak bisa dikerjakan oleh satu instansi saja. Di samping itu, BNPT kesulitan mengantisipasi kemunculan aksi teror lantaran ideologi radikal berada dalam alam pikiran seseorang.
”Apakah kita bisa serta-merta mengetahui alam pikiran seseorang? Apakah itu kemudahan atau kesulitan? Silakan nilai sendiri. Oleh karena itu, kita bangkitkan semangat kesadaran masyarakat kita tentang pengaruh buruk dari ideologi berbasis kekerasan,” tuturnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar seusai menghadiri seminar nasional bertajuk ”Ancaman dan Upaya Penanggulangan Terorisme di Indonesia” yang digelar The Habibie Center, Rabu (7/12/2022) di Jakarta.
Adapun terkait regulasi, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Regulasi itu diklaimnya komplet karena mencakup semua aspek mulai penindakan, pelindungan terhadap korban, hingga pencegahan.