RUU kerja sama pertahanan RI-Singapura disetujui untuk disahkan. Sejumlah pihak melihat perjanjian itu memberi peluang Singapura lakukan latihan militer di teritorial Indonesia yang bisa mengancam kedaulatan negara.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA, REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui agar Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Kerja Sama Pertahanan disahkan menjadi undang-undang. Lewat undang-undang itu, diharapkan bisa meminimalisasi ancaman pertahanan dan memperkuat hubungan bilateral kedua negara. Namun, pemerintah juga diingatkan agar cermat dalam menerbitkan peraturan turunannya agar tidak mengganggu kedaulatan negara.
RUU itu merupakan tindak lanjut kerja sama Indonesia-Singapura yang ditandatangani dalam acara Leader’s Reatreat di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, pada 25 Januari lalu. Saat itu, Indonesia-Singapura menandatangani 10 kerja sama, di antaranya kerja sama pertahanan, ekstradisi buron, dan kesepakatan pengelolaan ruang udara (flight information region/FIR).
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, Selasa (6/12/2022), mengingatkan, perjanjian pertahanan yang serupa pernah ditandatangani Indonesia dan Singapura pada 2007. Namun, perjanjian itu batal diratifikasi lantaran alami penolakan karena Singapura bisa latihan militer di wilayah teritorial Indonesia yang berbatasan dengan Singapura.
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani ini pun menyarankan agar pemerintah mencermati aturan turunan dari undang-undang perjanjian pertahanan Indonesia-Singapura tersebut, seperti wilayah latihan militer (military training area/MTA). Tujuannya, agar ada batasan wilayah yang digunakan Singapura untuk latihan sehingga tidak mengganggu kedaulatan negara.
”Indonesia dapat mengatur hal-hal detailnya di MTA sehingga tidak ada anggapan wilayah latihan tempur Singapura di Indonesia tidak terbatas,” ucap Hikmahanto.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Laksamana Muda (Purn) Soleman B Ponto juga memandang, perjanjian itu membuat Singapura bisa latihan militer di wilayah teritorial Indonesia. Padahal, menurut dia, penggunaan wilayah suatu negara oleh negara lain hanya dilakukan dengan dua macam perjanjian, sewa-menyewa dan servitude atau kehambaan.
Prof Atip Latipulhayat, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, pun menyampaikan, seharusnya DPR menolak RUU kerja sama pertahanan itu. Salah satunya, perjanjian itu terlalu menguntungkan Singapura dan merugikan Indonesia. ”Memberikan wilayah kedaulatan kita kepada negara lain untuk dijadikan tempat latihan militer sangat rentan terhadap integritas kedaulatan negara. Apalagi diberikan untuk 25 tahun ke depan,” kata Atip.
Dengan menolak RUU tersebut, lanjutnya, akan menggagalkan perjanjian tentang kesepakatan pengelolaan ruang udara (FIR) yang ditandatangani Indonesia-Singapura awal tahun 2022. Menurut Atip, perjanjian FIR yang substansinya adalah pendelegasian kembali wilayah udara Indonesia kepada Singapura selama 25 tahun bertentangan dengan UU No 1/2009 tentang Penerbangan. Dalam UU itu jelas memberikan amanat bahwa ruang udara Indonesia harus diambilalih, bukan didelegasikan kembali.
”Menolak DCA (perjanjian pertahanan Indonesia-Singapura) membuat perjanjian FIR bisa dinegosiasikan kembali agar sesuai dengan UU milik kita,” kata Atip.
Melalui pembahasan
RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Kerja Sama Pertahanan itu disetujui disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (6/12). Pengesahan disetujui setelah mendengarkan laporan pembahasan RUU yang disampaikan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Sugiono. Hadir mewakili pemerintah, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Sugiono dalam laporannya menjelaskan, RUU tersebut telah dibahas secara kritis dan terbuka dalam rapat kerja Komisi I dan pemerintah pada pembahasan tingkat I pada 28 November. Semua fraksi sepakat membawa perjanjian ke paripurna untuk dimintakan persetujuan pengesahan.
Perjanjian dengan Singapura itu disebutnya sebagai bentuk diplomasi pertahanan. Hal itu penting guna menentukan posisi tawar negara dalam tatanan hubungan antarnegara dan politik internasional. Penting juga untuk mendorong transfer pengalaman dan pengetahuan antarnegara terkait dengan pertahanan.
Perjanjian itu pun diklaim mampu meminimalisasi ancaman pertahanan terhadap negara. Selain itu, meningkatkan kemampuan industri pertahanan negara.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan, persetujuan pengesahan RUU perjanjian pertahanan antara Indonesia dan Singapura dapat meningkatkan dan memperkuat hubungan bilateral kedua negara. ”Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi dalam Leader’s Retreat di Bintan, Kepulauan Riau, 25 Januari 2022,” ujarnya.
RUU ekstradisi
Sebelumnya, RUU kerja sama Indonesia-Singapura untuk ekstradisi buron juga telah disetujui disahkan sebagai undang-undang di tingkat I oleh Komisi III DPR pada Senin (5/12). Dengan persetujuan tersebut, RUU itu tinggal dibawa ke pembahasan tingkat II atau dimintakan persetujuan untuk disahkan dalam Rapat Paripurna DPR.
Namun, menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (6/12), semua perjanjian kerja sama tersebut akan berlaku apabila kedua negara telah meratifikasinya. Sementara Indonesia selangkah lagi meratifikasi perjanjian tersebut, Singapura disebut sudah lebih dulu meratifikasinya.
”Setahu saya, mereka (Singapura) telah meratifikasinya, jalankan mekanisme hukumnya,” ujarnya.