Mendagri: Optimalkan Serapan Anggaran untuk Kendalikan Inflasi Daerah
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah mengusulkan insentif dan disinsentif dalam konteks penyerapan anggaran. Insentif bagi pemda yang optimal menyerap anggarannya. Sebaliknya, disinsentif bagi yang tak optimal.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mendorong kepala daerah menggenjot realisasi belanja daerah untuk mengendalikan inflasi. Daerah yang serapan anggarannya masih minim akan disurati sebagai bentuk peringatan. Namun, tak hanya teguran atau sanksi, perlu ada insentif bagi pemda yang bisa optimal menyerap anggaran daerahnya.
Imbauan itu disampaikan Tito saat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi dan Percepatan Realisasi Belanja Daerah di Kementerian Dalam Negeri, Senin (5/12/2022). Rapat dihadiri Ketua Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi, dan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kasan. Acara juga dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Perdagangan, Panglima TNI, Jaksa Agung, Kapolri, kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia, secara daring.
Tito mengatakan, pengendalian inflasi harus menjadi perhatian bersama seluruh kepala daerah. Serapan APBD juga berdampak pada perputaran uang di daerah yang bisa dimanfaatkan sebagai instrumen pengendali inflasi. Setiap minggu, Kemendagri melakukan rapat untuk memantau laju inflasi di daerah. Berdasarkan data dari BPS, inflasi nasional pada November 2022 telah melampaui batas target inflasi pemerintah, yaitu 4,8 persen. Meskipun demikian, inflasi nasional sampai dengan akhir 2022 kemungkinan besar akan tetap di atas target inflasi pemerintah.
Namun jika dilihat dari bulan ke bulan, inflasi pada Oktober turun 0,29 persen dari 5,71 persen menjadi 5,42 persen. Menurut Tito, jika dibandingkan dengan negara G20, angka inflasi Indonesia berada di nomor dua terendah setelah Jepang. ”Dari rapat ini, kami ingin Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) mengetahui permasalahannya di mana. Mengapa ada daerah yang bisa mengendalikan inflasi dan mengapa ada daerah yang tidak bisa mengendalikan. Di forum ini diketahui masalahnya di mana, supaya ada iklim kompetitif antardaerah,” katanya.
Berdasarkan data dari Kemendagri, provinsi yang mengalami inflasi tertinggi pada November 2022 ini adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Timur, Bali, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun, provinsi yang paling rendah inflasinya adalah Gorontalo, Sulawesi Barat, Banten, Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, Sumatera Utara, Papua Barat, Sulawesi Utara, DKI Jakarta, dan Maluku Utara.
Namun, ada pula 24 pemda yang tidak menyampaikan laporan harian sepanjang minggu I Desember 2022 ini. Mayoritas adalah kabupaten/kota di Papua. Di antaranya adalah Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Keerom, Kabupaten Kepulauan Yapen, dan Kabupaten Lanny Jaya.
Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi menuturkan, Sumatera Utara mengalami deflasi atau penurunan inflasi sekitar 0,13 persen karena harga kebutuhan pokok terus dipantau yang kemudian diinformasikan kepada TPID Sumut. Hasil pemantauan lapangan kemudian dibahas bersama agar kenaikan harga kebutuhan pokok bisa dikendalikan. Di Sumut, kenaikan harga komoditas dipengaruhi oleh permintaan masyarakat yang tinggi. Misalnya, untuk komoditas cabai rawit, bawang merah, bawang butih, dan gula pasir. Jika kebutuhan itu bisa dipenuhi dari daerah lain, pemprov akan melakukan kerja sama untuk memenuhi kebutuhan itu. Namun, jika stok dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan itu, seperti bawang putih dan gula pasir, kebijakan yang diambil adalah impor.
”Kalau kebutuhan itu bisa dipenuhi dari kabupaten/kota lain, kami akan cari. Dari data kebutuhan itu, kami jadikan prioritas untuk menjaga stok pangan dan menjaga laju inflasi di Sumut,” katanya.
Kepala Badan Pusat Statistik Margo Yuwono menyebut, inflasi pada November dipengaruhi oleh gangguan rantai pasok global akibat perang Rusia-Ukraina yang mengakibatkan kenaikan harga komoditas energi dan pangan yang diimpor. Selain itu, dari dalam negeri juga ada penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) pada awal September yang menambah tekanan inflasi. Suplai komoditas pangan juga ikut bergejolak akibat cuaca buruk.
”Perlu diwaspadai peningkatan permintaan pada Natal dan Tahun Baru serta bencana alam di sentra produksi yang dapat mengganggu pasukan komoditas sehingga menekan inflasi di akhir tahun,” katanya.
Serapan anggaran
Selain menyoroti soal laju inflasi di daerah, Tito juga berpesan kepada kepala daerah maupun pejabat kepala daerah untuk menggenjot serapan anggaran di akhir tahun. Dari data Kemendagri, realisasi belanja di tingkat provinsi mencapai 71,86 persen. Adapun, realisasi anggaran di tingkat kabupaten rata-rata 65,75 persen, serta di tingkat kota sebesar 65,91 persen.
Masih ada banyak uang pemda yang tersedia, terutama di pos anggaran belanja tidak terduga (BTT) dan dana bantuan sosial (bansos). Tito mendorong pemda untuk segera mencairkan dan membelanjakan anggaran tersebut. Dengan adanya perputaran di daerah, diharapkan dapat pula menggenjot perekonomian masyarakat.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman berpandangan, pusat seharusnya dapat memberikan reward and punishment pada daerah yang serapan anggarannya rendah. Sebab, itu adalah masalah klasik yang selalu dihadapi oleh pemda. Masalah serapan anggaran rendah ini dipengaruhi oleh problem teknis dan struktural. Pada aspek teknis, dana sebenarnya bukan tidak terserap, tetapi masih tertahan di bank-bank karena proses pencairannya menunggu selesainya proyek-proyek pemda. Dalam 10 tahun terakhir, serapan anggaran grafiknya mulai naik pada November-Desember. Harapan publik, serapan anggaran bisa mencapai 90 persen hingga akhir Desember.
”Selain itu, juga belum ada instrumen monitoring dan evaluasi (monev) yang bisa dipakai referensi bersama, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk melihat realisasi anggaran dari bulan ke bulan. Kapasitas sumber daya manusia untuk mengelola anggaran itu juga tak kalah penting,” terangnya.
Di sisi struktural, lanjutnya, kebijakan penahapan penganggaran setiap tahun seharusnya dimulai pada Desember. Namun, hampir setiap tahun, banyak daerah melewati tenggat itu. Bahkan, pada tahun ini, ada daerah yang Rancangan Perda APBD belum selesai dan belum disahkan sampai Januari. Ini akan berdampak pada proses selanjutnya, yaitu penerbitan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis yang bisa molor sampai Maret-Mei. Ini tentu akan berdampak pada proses selanjutnya.
Terkait dengan serapan anggaran dalam konteks untuk pengendalian inflasi daerah, menurut Herman, pemda bisa lebih digenjot dengan aturan reward and punishment. Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan tentang alokasi dana transfer umum sebesar 2 persen untuk pengendalian inflasi. Ini juga sudah diperkuat oleh Surat Edaran dari Menteri Dalam Negeri bahwa penggunaan alokasi dana APBD itu untuk kegiatan subsidi transportasi, penyediaan lapangan kerja, dan sebagainya.
Realitasnya, tingkat inflasi di setiap daerah berbeda-beda. Ini menyebabkan prioritas daerah juga berbeda-beda. Pemda kerap tak memiliki data pendukung terkait kebijakan yang akan diambil. Misalnya, ketika ingin memberikan subsidi transportasi, mereka tidak punya data pendukung sektor mana saja yang akan disasar dan apa alasannya. Selain itu, KPPOD juga menduga koordinasi antara TPID dan organisasi perangkat daerah (OPD) belum sepenuhnya optimal.
”KPPOD mendorong adanya mekanisme insentif dan disinsentif dalam konteks serapan anggaran maupun pengendalian inflasi ini. Daerah yang berhasil mengendalikan inflasi seharusnya diberi tambahan dana insentif daerah. Sanksinya seharusnya kebalikan dari itu, yaitu dikurangi insentif daerahnya,” katanya.