Bertumpu pada Netralitas Presiden
Tak sedikit analis politik yang memprediksi Pemilihan Presiden 2024 akan berlangsung ketat dan hangat seperti dua pemilihan sebelumnya. Penting bagi kepala negara untuk tetap berada di tengah.
Tak sedikit analis politik yang memprediksi Pemilihan Presiden 2024 akan berlangsung ketat dan hangat seperti dua pemilihan sebelumnya. Penting bagi kepala negara untuk tetap berada di tengah. Namun, yang tampak belakangan, Presiden Joko Widodo justru dinilai bersikap sebaliknya. Sinyal keberpihakan Jokowi pada figur tertentu muncul berulang dari kode-kode yang disampaikannya di sejumlah kesempatan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hal itu, misalnya, dalam Rapat Kerja Nasional V Pro Jokowi (Projo), di Magelang, Jawa Tengah, akhir Mei 2022. Saat berpidato di acara yang digelar kelompok sukarelawan pendukung Jokowi di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019 itu, Jokowi meminta agar para sukarelawan tidak tergesa-gesa memberikan dukungan politik terkait pilpres, meskipun sosok yang akan didukung ada di antara mereka. Ketika itu, Gubernur Jawa Tengah yang juga kader PDI-P dan elektabilitasnya sebagai calon presiden (capres) berbasis hasil survei sejumlah lembaga selalu di posisi puncak, Ganjar Pranowo, hadir dalam acara itu.
Lima bulan setelahnya, saat menghadiri peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-58 Partai Golkar, Jokowi menyebut Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebagai calon pemimpin yang mumpuni. Kemudian, pada awal November, giliran Menteri Pertahanan yang juga bakal capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, yang dijagokan oleh Jokowi.
Yang terbaru, akhir pekan lalu, dalam pertemuan dengan sukarelawan pendukungnya di Gelora Bung Karno, Jakarta, Jokowi melempar kode ”wajah keriput” dan ”rambut putih” terkait figur yang tepat memimpin negeri ke depan. Meski tak disebut gamblang siapa figur yang dimaksud, spekulasi beredar bahwa kode tersebut mengarah kembali pada Ganjar yang memang berambut putih.
Sinyal keberpihakan Jokowi ini bisa jadi mengindikasikan upayanya menjadi king maker untuk memastikan program-programnya berlanjut di tangan presiden berikutnya. Apalagi jika melihat hasil survei, tak sedikit pendukung Jokowi yang akan memilih capres yang didukung oleh Jokowi. Mengacu pada hasil survei Litbang Kompas, 24 September-7 Oktober 2022, misalnya, angka ketaatan warga memilih capres yang didukung oleh Presiden Jokowi sekitar 15,1 persen.
Namun, di sisi lain, sinyal-sinyal dari Jokowi itu memunculkan kekhawatiran. Tak sedikit yang khawatir, sinyal itu menjadi kenyataan, dan Presiden mendukung salah satu capres di Pilpres 2024. Padahal, di tengah kontestasi yang diprediksi banyak analis politik bakal lebih hangat dan ketat dibandingkan pilpres sebelumnya akibat ketiadaan figur potensial bakal capres yang memiliki elektabilitas dominan, kepala negara diharapkan tetap berada di tengah. Maka, jika kondisi memanas bahkan mengarah pada konflik, Presiden bisa menjadi penengah dan mendinginkan situasi.
Terlebih, menurut peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, keterbelahan di masyarakat sebagai imbas Pilpres 2014 dan 2019 belum pulih benar. Keberpihakan Presiden pada salah satu calon di Pilpres 2024, justru berpotensi memperparah polarisasi.
”Semestinya Presiden menyadari, dia harus terus berada di tengah karena Indonesia ini selalu darurat dan ringkih karena polarisasi,” ujarnya.
Baca juga: Kekuatan Politik ”Pasukan” Jokowi
Tak hanya itu, Firman melihat tak etis jika kepala negara berpihak. Kepala negara seharusnya menjadi negarawan yang hanya berpikir pengelolaan masalah bangsa dengan kebijaksanaan dan kewibawaan sekaligus masa depan bangsa, bukan justru terlibat dalam kontestasi politik.
”Semestinya Presiden tetap diam atau menyemangati semua kandidat, tidak diskriminatif,” katanya.
Sepanjang 2022, panggung politik sudah memanas saat parpol memulai perburuan mencari figur yang tepat menjadi capres ataupun calon wakil presiden serta parpol mitra koalisi. Saling sindir dan kritik antarparpol kerap mewarnai, bahkan tidak jarang menjurus pada saling menjatuhkan.
Pada 2023, utamanya menjelang tahapan pendaftaran capres-cawapres pada 19 Oktober, tensi politik itu diperkirakan bakal semakin meningkat, dan akan berlanjut hingga pemilu tuntas digelar pada 2024, apalagi jika betul Presiden terang-terangan mendukung salah satu kandidat. Kekhawatiran pada terus munculnya sinyal keberpihakan dari Presiden tersebut, setidaknya kini sudah tampak dari pernyataan sejumlah elite parpol.
Wasit yang netral
Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali, misalnya, khawatir sinyal keberpihakan Presiden terhadap calon-calon tertentu, nantinya akan diikuti oleh keberpihakan aparatur sipil negara (ASN). Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin akan ada mobilisasi birokrasi untuk kepentingan pemenangan salah satu kandidat presiden. Padahal, ASN semestinya tetap berada dalam posisi netral.
”Pak Jokowi pasti menyadari betul Pemilu 2024 itu akan lancar dan damai kalau ada wasit yang netral. Dengan wasit yang netral dalam mengawasi pertandingan, maka pasti akan terjadi stabilitas,” kata Ali.
Kekhawatiran serupa disampaikan Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Andi Arief. Menurut Andi, posisi tidak netral Presiden berpotensi menjurus pada terjadinya kecurangan pemilu. Karena itu, ia pun berharap agar Presiden tetap netral dan meninggalkan warisan yang baik di akhir periode kedua kepemimpinannya. ”Salah satu indikator kesuksesan Presiden adalah bisa menyelenggarakan pemilu yang jujur, adil,” tambahnya.
Selain itu, tanpa keberpihakan kepada salah satu calon, ia meyakini keterbelahan di masyarakat sebagai imbas pilihan politik bisa direduksi. Sebab, Jokowi akan dipandang berdiri mengayomi semua pihak.
Baca juga: Dukungan Jokowi dan Safari Prabowo Saat Elektabilitas Tergerus
Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani juga menekankan pentingnya tata kelola dukungan dari Jokowi. Hal ini penting agar tidak ada calon atau partai politik yang merasa dianak- emaskan atau terpinggirkan. ”Tetapi, saya yakin, itu dipikirkan Pak Jokowi,” ujarnya.
Bahkan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang merupakan parpol asal Jokowi juga mengingatkan kadernya tersebut. Menurut Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, Presiden Jokowi bertanggung jawab untuk menjaga Pemilu 2024 sehingga bisa berjalan demokratis.
Untuk itu, dukungan dari Presiden Jokowi seharusnya lebih mengutamakan pada peningkatan kualitas pemilu dan kualitas pemimpin yang dihasilkan bagi masa depan, bukan justru dukungan terhadap calon-calon tertentu.
”Endorsement (dukungan) yang dilakukan Presiden Jokowi seharusnya lebih pada kriteria dan kualifikasi pemimpin, desain kebijakan, serta harapan beliau terhadap masa depan daripada berbicara tentang calon orang per orang,” kata Hasto.
Poros koalisi
Selain soal potensi instabilitas dari dukungan Jokowi, Arsul melihat potensi tersebut bisa terjadi jika Pilpres 2024 kembali hanya menghadirkan dua pasangan capres-cawapres. Keterbelahan masyarakat akibat hanya dua pasangan calon seperti pada Pilpres 2014 dan 2019, bisa terulang kembali. Namun, berbeda dengan PPP, Hasto Kristiyanto menilai lebih tepat jika hanya dua poros koalisi. Alasannya, pilpres bisa berlangsung satu putaran, sehingga pemilu dapat berjalan lebih cepat dan lebih efisien.
Jika yang terjadi lebih dari dua poros koalisi dan pilpres berlangsung dua putaran, ia menilai risiko politik, sosial, dan ekonomi, yang ditanggung bisa lebih besar. Bahkan, pada putaran kedua, konsolidasi kekuatan politik berpotensi diwarnai dengan transaksi kekuasaan dan berbagai kelompok penekan. ”Hal-hal itulah yang harus dimitigasi,” kata Hasto.
Terlepas dari itu, lanjut Arsul, setidaknya ada dua hal yang mampu memengaruhi stabilitas politik ke depan. Pertama, kewajiban partai koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Wapres Ma’ruf Amin untuk menjaga pemerintahan Presiden Jokowi sampai akhir.
Kedua, kelompok-kelompok di lingkaran Jokowi juga harus ikut menjaga kondusivitas politik, termasuk barisan sukarelawan Jokowi.