Perubahan Mendasar di Polri Bisa Tingkatkan Kualitas Demokrasi
Perubahan mendasar yang dibutuhkan, antara lain, revisi UU Polri yang salah satunya memperkuat pengawasan internal dan eksternal. Selain itu, pentingnya penguatan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Reformasi dinilai dibutuhkan pada lembaga kepolisian untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Kepolisian merupakan alat negara, bukan alat pemerintahan. Karena itu, kepolisian harus melindungi hak rakyat, bukan semata-mata menjadi alat perintah atasannya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, pascareformasi telah terjadi beberapa perubahan di tubuh Polri, seperti pemisahan TNI dan Polri serta adanya Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Namun, budaya dan birokrasi militer masih dipertahankan. Hal tersebut terlihat dari adanya anggota Polri yang menjadi penjabat kepala daerah.
”Dwifungsi yang lama dihilangkan sekarang ada lagi. Kalau dulu tentara, sekarang kepolisian. Itu tidak lepas dari peran kekuasaan dari presiden dan pemerintah. Jadi, bukan semata-mata karena kehendak institusi, tetapi karena memang dorongan juga dari lembaga sipil yang memimpin,” kata Isnur dalam diskusi bertajuk ”Demokrasi di Indonesia. Kebebasan Sipil dan Reformasi Kepolisian” yang diselenggarakan Public Virtue di Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Selain Isnur, hadir juga sebagai pembicara anggota Dewan Pengawas Public Virtue Research Institute, John Muhammad, serta perwakilan dari Komite Pengacara untuk Hak Asasi Manusia dan Penguatan Demokrasi, Ori Rahman.
Isnur menegaskan, pada Undang-Undang Polri dan amendemennya dijelaskan bahwa kepolisian adalah alat negara, bukan alat pemerintahan. Di dalam negara ada rakyat, wilayah, dan pemerintahan. Karena itu, kepolisian melindungi hak rakyat dan manusia, bukan semata-mata menjadi alat perintah atasannya. Ia mencontohkan, ketika terjadi bentrokan, anggota kepolisian bisa menolak perintah atasannya yang melanggar hak asasi manusia.
Ia mengungkapkan, laporan YLBHI menunjukkan bahwa situasi negara hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia di Indonesia selama tujuh tahun terakhir dalam keadaan yang sangat mundur.
”Operasi militer ilegal, pembunuhan di luar proses hukum tanpa pemulihan, jalannya pemerintahan yang koruptif, hingga pembangunan skala besar tanpa bertanya dan mendengarkan keinginan rakyat serta berdampak pada perampasan ruang hidup rakyat,” kata Isnur.
Berdasarkan laporan YLBHI tahun 2019, sebagian besar pelanggaran kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum dilakukan oleh kepolisian, yaitu 69 persen. Tindakan pelanggaran tersebut, antara lain, kriminalisasi, tindakan kekerasan, pembubaran tidak sah, penghalangan dan/atau pembatasan aksi, perburuan dan penculikan, tindakan berkaitan alat/data pribadi, serta penghalangan pendampingan hukum.
Menurut Isnur, perlu ada perubahan mendasar di kepolisian untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia, di antaranya UU Polri perlu direvisi dengan penguatan pengawasan, baik internal maupun eksternal; diskresi harus dibatasi dan dapat diuji di pengadilan; serta memperkuat prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam UU.
Ori Rahman mengatakan, terjadi banyak pelanggaran dalam demokrasi saat ini yang mengancam kebebasan sipil. Salah satunya kasus peretasan yang seharusnya menjadi tugas Polri untuk menyelesaikannya. Dari beberapa kasus terakhir, peretasan tersebut terjadi karena berkaitan dengan kritik terhadap Polri atau permasalahan di Polri, misalnya peretasan terhadap Narasi TV karena mengkritisi Polri.
Ia mengingatkan, prinsip dasar dari demokrasi adalah menjamin kebebasan untuk menyatakan pendapat dan melakukan kritik. Ukuran negara menjalankan demokrasi adalah bagaimana keterlibatan sipil dilindungi dan dijamin oleh negara. ”Polri harus melindungi warganya agar ada jaminan bahwa memang negara kita demokrasi,” kata Ori.
John Muhammad mendorong agar ada perbaikan Polri dari sisi lembaganya, bukan perorangan. Para pengambil kebijakan, khususnya politisi, diharapkan melakukan reformasi terhadap Polri. Jika terus ditunda-tunda, situasi akan semakin berat karena Polri berkembang menjadi lembaga yang hyperbody atau tak terkontrol.