Di tahun politik, kerawanan dan godaan politik dalam penegakan hukum berpotensi meningkat. Ada sejumlah faktor yang menimbulkan kekhawatiran, tetapi juga ada peluang mengatasinya.
Warga melintas di depan Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kuningan, Jakarta, Senin (6/7/2020).
Jelang Pemilu 2024, aparat penegak hukum tidak akan lepas dari tarikan politik. Pada 2022, pengaruh kepentingan politik dalam penegakan hukum santer dibicarakan ketika mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dimintai keterangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyelidikan terkait penyelenggaraan Formula E Jakarta E-Prix pada 7 September lalu. Lebih kurang sebulan kemudian, Anies diumumkan oleh Partai Nasdem sebagai bakal calon presiden.
KPK juga gencar mengusut kasus-kasus yang melibatkan politisi. Sebagian dari mereka merupakan politisi dari partai bukan pendukung pemerintah, seperti Gubernur Papua Lukas Enembe dan Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak. Keduanya merupakan kader Partai Demokrat.
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono pada September lalu mengatakan, Demokrat tak akan mengintervensi proses hukum Lukas. Namun, mereka tetap menelaah apakah kasus Lukas murni soal hukum atau ada muatan politiknya. Demokrat menempuh langkah itu karena terkait sejumlah kejadian dengan Lukas. Salah satunya menjelang Pilkada Papua 2018. (Kompas, 30/9/2022).
Saat ditanya soal pengaruh politik dalam penegakan hukum, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan, politik dan hukum tidak bisa digabung. Apabila politikus yang terindikasi melakukan pidana dan KPK memiliki alat bukti yang cukup, siapa pun politisi tersebut akan diproses hukum.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak memberikan keterangan kepada wartawan seusai pelantikan dirinya di Istana Negara, Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Johanis membantah penegak hukum bisa dipengaruhi kepentingan politik dan uang dalam bekerja. Sudah banyak politikus yang diusut kasusnya ketika melakukan tindak pidana seperti korupsi.
”Masa iya kalau orang melakukan korupsi yang memenuhi unsur dan cukup alat bukti kemudian karena dia politikus, tidak boleh diproses. Kalau demikian, bagaimana menurut UUD, setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di bidang hukum? Ada diskriminasi dong,” katanya.
Ia menepis tudingan KPK tak berani menangani kasus yang melibatkan politikus dari partai penguasa. Pandangan semacam itu dinilai tak tepat hanya karena KPK belum menangkap Harun Masiku, bekas calon anggota legislatif Pemilu 2019 dari PDI-P.
Johanis Tanak menyodorkan sederet bukti KPK tak pandang bulu dalam menangani kasus korupsi, termasuk politisi dari partai penguasa yang sudah diseret ke meja hijau. Sebut saja Azis Syamsuddin yang dijerat KPK saat masih menjabat Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar. Bahkan, Setya Novanto dijebloskan ke penjara saat menjabat ketua umum Golkar. KPK juga mengusut perkara bansos yang melibatkan Juliari P Batubara, politisi PDI-P saat ia masih menteri sosial. Demikian pula Edhy Prabowo, politisi Gerindra yang diproses hukum saat menjadi menteri kelautan dan perikanan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo seusai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (3/12/2020). Edhy Prabowo diperiksa penyidik KPK dalam perkara dugaan penerimaan suap perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
Tarikan hukum dan politik
Tarik-menarik antara hukum dan politik sebenarnya bukan isu baru. Hal tersebut sudah dibahas sejak lama, termasuk oleh Talcott Parson, sosiolog, dengan teori sibernetikanya. Disebutkan, selalu terjadi pertukaran informasi dan energi secara fungsional antara kuasa hukum dan kuasa politik, serta berbagai subsistem sosial lainnya dalam masyarakat.
W Riawan Tjandra dalam artikelnya, ”Penegakan Hukum Tahun Politik Tahun 2014”, menyebutkan, hukum sering ditundukkan dan disubordinasi oleh subsistem politik ataupun ekonomi yang memiliki derajat energi yang lebih tinggi. Pada titik tersebut, proses penegakan hukum terkontaminasi.
Kekhawatiran akan adanya campur tangan dari tangan-tangan tak terlihat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia boleh jadi ada dasarnya. Setidaknya hal ini ditunjukkan hasil survei indeks negara hukum oleh World Justice Project tahun 2022. Secara umum, skor indeks negara hukum RI ada di angka 0,53 (dari skala 0-1, angka makin besar makin bagus).
Dari delapan indikator yang disurvei, sistem peradilan pidana memberi kontribusi terendah (0,39). Angka itu jauh di bawah rata-rata global (0,47) dan regional (0,53). Jika dilihat lebih dalam, sistem peradilan pidana yang imparsial menyumbang skor terendah atau paling bermasalah (0,28). Demikian pula pada indikator ketiadaan korupsi dengan skor 0,40. Dalam subsektor pejabat pemerintah di cabang yudisial yang tidak menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi memiliki skor terendah kedua (0,34) setelah pejabat legislatif (0,30).
SUSANA RITA KUMALASANTI
Indeks negara hukum Indonesia tahun 2022 seperti diluncurkan World Justice Project, Rabu (26/10/2022) malam.
Risiko di 2023
Peneliti Pusat Studi AntiKorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengingatkan, tahun 2023 menjadi tahun yang sangat rawan dan penuh risiko besar bagi aparat penegak hukum. Ancaman intervensi dalam segala bentuk bisa meningkat pada tahun ini.
”Yang kita kuatirkan adalah institusi penegak hukum digunakan dalam pertarungan politik oleh pihak mana pun, khususnya mereka yang sedang memiliki kekuasaan baik di eksekutif maupun legislatif. Misalnya, untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka,” ungkapnya.
Namun, bisa juga hal yang jauh lebih tricky dilakukan. Proses proyustisia tidak dilakukan, tetapi pimpinan lembaga penegak hukum membuat pernyataan yang bisa berdampak pada citra seorang di mata publik.
”Karena itu, aparat penegak hukum harus memahami posisi dirinya sebagai penegak hukum yang bebas dari segala bentuk kepentingan politik, tidak boleh memihak. Menghindarkan diri sejauh mungkin dari kompetisi politik, hanya fokus menjalankan tugasnya,” katanya.
Hal lain yang menambah waswas adalah putusan pengadilan bisa dibeli dengan sejumlah uang. Hal ini setidaknya terungkap dalam kasus dugaan suap yang menyeret dua hakim agung pada Mahkamah Agung, Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, serta dua hakim yustisial yang sehari-hari bertugas sebagai panitera pengganti dan empat staf MA. Seperti diketahui, KPK telah menetapkan Sudrajad dan Gazalba dalam kasus dugaan suap terkait penanganan perkara pailit Koperasi Simpan Pinjam Intidana.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Zaenur Rohman, memberikan keterangan kepada wartawan mengenai penolakan terhadap revisi UU KPK, di Tugu Yogyakarta, Selasa (17/9/2019). Aksi itu dilakukan bersama Jaringan Anti Korupsi (JAK) Yogyakarta.
Berdasarkan data yang dihimpun, hampir setiap tahun ada hakim yang terseret kasus hukum sejak tahun 2010 hingga 2022. Pada 2010 dan 2016, seorang hakim ditangkap. Pada 2011 dan 2012 serta 2014, masing-masing dua hakim terkena kasus korupsi. Pada 2013, 2015, dan 2017, tiga hakim terkena kasus. Pada 2018, lima hakim terkena kasus korupsi. Pada 2019-2021 tidak ada hakim yang terseret kasus korupsi. Baru kemudian pada 2022, ada kasus Dimyati dan Gazalba.
Pengawasan maksimal
Zaenur menekankan pentingnya pengawasan terhadap aparat penegak hukum. Institusi pengawasan yang ada, seperti Dewan Pengawas KPK, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisial, perlu meningkatkan kinerjanya di tahun 2023 dan bekerja lebih keras lagi. Lembaga tersebut juga perlu mengasah sensivitas di dalam aspek politik.
Pengawasan yang makin ketat juga diperlukan karena potensi terjadinya suap guna memengaruhi proses hukum berpotensi naik tahun depan. Naiknya tensi politik tentu akan berimbas pada kasus-kasus hukum yang kian marak. Dengan begitu, kemungkinan bermain uang untuk membayar aparat penegak hukum demi tujuan politik juga diyakini meningkat. Apalagi, tahun 2023 ada sebagian tahapan pemilu yang sudah berjalan, yang nantinya berpuncak pada tahun 2024.
Selain banyaknya ancaman yang menghambat aparat penegak hukum kian profesional, tahun 2023 juga menawarkan kesempatan. Memori publik terhadap peristiwa-peristiwa besar di tubuh institusi penegak hukum sepanjang 2022 masih segar. Ada kasus bekas Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo dan bekas Kapolda Sumatera Barat Teddy Minahasa di Polri, sementara ada pula kasus dua hakim agung terjerat kasus suap di KPK, dan sisa-sisa ingatan publik akan kasus Pinangki Sirna Malasari di Kejaksaan.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Petugas mengawal Jaksa Pinangki Sirna Malasari keluar ruang sidang seusai menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020).
Memori publik tersebut menjadi modal besar untuk mendesakkan sebuah perbaikan internal di tubuh instansi penegak hukum. Reformasi struktural dan reformasi kultural dapat dijalankan oleh kepolisian, kejaksaan, dan MA untuk memperbaiki internal institusinya. Hanya saja, untuk itu dibutuhkan pengakuan akan adanya masalah internal yang mendasar untuk bisa memanfaatkan momentum tersebut demi perbaikan ke depan.