Perppu Pemilu Segera Disahkan, Pasal Masa Jabatan KPU Digugat
Ketika ujung pangkal pengaturan soal penyerentakan masa jabatan anggota KPU di rancangan Perppu Pemilu belum jelas, sejumlah warga menggugat pasal terkait masa jabatan KPU dalam UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pemilu atau Perppu Pemilu telah tuntas dan draf rancangan perppu akan segera dikirimkan ke Presiden Joko Widodo untuk disahkan.
Staf Khusus Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Kastorius Sinaga saat diwawancarai Kompas, Senin (28/11/2022), mengungkapkan, Mendagri Tito Karnavian telah memeriksa draf terbaru Rancangan Perppu Pemilu. Dari sudut pandang Kemendagri, sudah tak ada lagi persoalan dan perbedaan pandangan antara pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu dalam rancangan peraturan itu sehingga Mendagri telah menandatanganinya dan selanjutnya draf akan segera dikirim ke Presiden.
”Perppu segera dikirimkan Menteri (Menteri Dalam Negeri) ke Presiden. Kami sudah paraf dan periksa,” ujarnya.
Ia menyebutkan, materi dalam rancangan perppu prinsipnya hanya mengakomodasi terkait kebutuhan untuk Pemilu 2024 di daerah otonom baru (DOB), di Papua dan Papua Barat, seperti pembentukan daerah pemilihan (dapil) baru dan penyelenggara pemilu. ”Pada prinsipnya, hanya mengakomodasi DOB, pembentukan dapil baru, dan KPU di DOB,” katanya.
Akhir Juli lalu, tiga DOB dibentuk di Papua. Provinsi Papua dimekarkan menjadi Provinsi Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan. Kemudian menyusul pertengahan November lalu, pemerintah bersama DPR menyetujui pembentukan Papua Barat Daya yang merupakan pemekaran dari Papua Barat.
Implikasi dari pemekaran ini, sejumlah norma di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu harus direvisi. Pemerintah lalu memutuskan revisi dengan jalan penerbitan perppu agar lebih cepat mengingat tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan.
Dalam draf Rancangan Perppu Pemilu yang beredar di publik awal November lalu, sejumlah pasal menyebutkan terkait pembentukan KPU dan Bawaslu di empat provinsi baru di Papua dan Papua Barat. Selain itu, jumlah kursi anggota DPR diubah menjadi 580 kursi dari saat ini berjumlah 575 kursi. Daerah pemilihan juga ikut ditata ulang, termasuk di dalamnya jumlah kursi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Namun, tak sebatas yang terkait implikasi dari pemekaran di Papua, ada juga sejumlah norma yang tak terkait. Di antaranya, soal penyerentakan masa jabatan anggota KPU dan Bawaslu serta soal nomor urut partai politik (parpol).
Baca Juga: Nomor Urut Parpol, antara Penghematan dan Keadilan Pemilu
Saat ditanyakan terkait hal-hal di luar pemekaran di Papua dalam rancangan perppu, Kastorius enggan menerangkan apakah pasal-pasal tersebut jadi masuk dalam rancangan perppu atau tidak. Ia juga tak mau menyebutkan opsi yang diambil pemerintah mengingat di setiap isu ada usulan berbeda dari penyelenggara pemilu dan fraksi-fraksi di DPR.
Ambil contoh, soal penyerentakan masa jabatan KPU. KPU mengusulkan masa tugas keanggotaan seluruh KPU provinsi berakhir secara serentak pada Mei 2023, sedangkan masa tugas keanggotaan seluruh KPU kabupaten/kota berakhir serentak pada Juli 2023. Adapun pemerintah mengusulkan anggota KPU yang masa jabatannya berakhir pada 2024 diperpanjang masa jabatannya sampai Desember 2024.
Kastorius hanya menyebutkan sudah tak ada lagi perbedaan antara pemerintah dan penyelenggara pemilu terkait materi dalam rancangan perppu. Ia pun yakin rancangan peraturan itu akan segera disahkan Presiden sehingga, sesuai harapan KPU, perppu sudah tersedia sebelum tahapan pencalonan anggota DPD dimulai pada 6 Desember mendatang.
”Sudah tidak lagi ada perbedaan. Kalau draf perppu sudah mau dikirim ke presiden, artinya sudah tidak ada perbedaan antara Komisi II, KPU, dan pemerintah,” ujarnya.
Baca Juga: Kompensasi Rp 150 Miliar untuk Keserentakan Masa Jabatan KPU di Daerah
Gugatan UU Pemilu
Ketika ujung pangkal pengaturan soal penyerentakan masa jabatan anggota KPU dan Bawaslu di rancangan perppu belum jelas, sejumlah warga menguji konstitusionalitas Pasal 10 Ayat (9) UU Pemilu. Pasal itu mengatur tentang masa jabatan keanggotaan KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota adalah selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan pada tingkatan yang sama.
Para pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal tersebut inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”Anggota KPU Provinsi, Anggota KPU Kabupaten/Kota yang berakhir masa jabatannya pada Tahun 2023 dan Tahun 2024 diperpanjang masa jabatannya sampai setelah selesainya Tahapan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024”.
Pemohon uji materi di antaranya Dedi Subroto (wiraswasta), Bahrain (advokat), Ketua Yayasan Strategis dan Kebijakan Publik Indonesia atau dikenal dengan Centre for Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP) Moch Luqman dan Sekretaris Yayasan Khoirunnisa.
Kuasa hukum pemohon, Rusdiansyah, mengatakan, gugatan itu sudah didaftarkan ke MK pada Selasa (29/11/2022). Pemohon menilai Pasal 10 Ayat (9) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 22 E Ayat (1), Pasal 22 E Ayat (5), Pasal 1 Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Sebagai rakyat, pemohon menilai hak konstitusional mereka bisa terlanggar apabila KPU tidak bisa mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Sesuai amanat konstitusi, KPU juga berwenang menyelenggarakan pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Apa kaitan masa jabatan anggota KPU dengan pemilu yang jujur dan adil? Rusdiansyah menjelaskan, masa jabatan para komisioner di 24 KPU provinsi dengan jumlah sebanyak 136 orang akan berakhir pada 2023. Adapun sembilan KPU provinsi dengan 49 komisioner akan berakhir pada 2024. Untuk KPU kabupaten/kota, pada 2023 akan ada 317 KPU kabupaten/kota dengan 1.558 orang jumlah komisioner yang berakhir masa jabatannya pada 2024. Selain itu, ada 169 KPU kabupaten/kota yang berakhir masa jabatannya dengan 980 jumlah komisioner.
Dengan berakhirnya masa jabatan KPU yang berbeda-beda itu, KPU otomatis akan mengelola 10 gelombang pelaksanaan seleksi anggota KPU provinsi/kabupaten/kota yang waktunya bersamaan dengan mengelola tahapan krusial Pemilu 2024. KPU pun berpotensi akan mengelola gugatan dari calon anggota KPU provinsi/kabupaten/kota yang mengajukan gugatan karena keberatan dengan proses atau hasil seleksi. Selain itu, KPU masih harus melaksanakan orientasi tugas bagi anggota KPU provinsi/kabupaten/kota yang baru.
Yang juga penting, jika anggota KPU petahana tak lagi terpilih, bisa memengaruhi kinerja KPU daerah. Ada potensi terjadinya kesalahan administrasi, tidak tertib administrasi dalam tahapan pemilu karena proses transisi anggota KPU lama ke yang baru beririsan dengan tahapan krusial dalam Pemilu 2024.
”Penataan desain rekrutmen anggota KPU provinsi, dan anggota KPU kabupaten/kota harus seiring dengan keserentakan pemilu. Rekrutmen penyelenggara pemilu juga harus dibangun keserentakannya, di luar tahapan pemilu, sehingga tidak mengganggu jalannya tahapan pemilu,” katanya.
Namun, dia berpandangan, jika masa jabatan KPU provinsi, kabupaten, dan kota diperpendek, justru akan berdampak negatif karena melanggar asas legalitas. Sesuai UU Pemilu, masa jabatan KPU adalah lima tahun sejak pengucapan sumpah. Jika dipangkas sebelum masa jabatan itu, bisa melanggar asas legalitas. Selain itu, seleksi anggota KPU provinsi, kabupaten, dan kota bersamaan dengan pelaksanaan tahapan pemilu sehingga berpotensi mengganggu jalannya tahapan pemilu.
Dengan opsi memperpendek masa jabatan, siklus seleksi anggota KPU provinsi, kabupaten, kota untuk lima tahun mendatang, yaitu Pemilu 2029, akan kembali berada pada tahapan krusial pemilu. Opsi itu dinilai bertentangan dengan ide dan gagasan untuk mewujudkan rekrutmen serentak pada masa pre election atau sebelum masuk tahapan pemilu. Opsi itu juga gagal menata penyelenggaraan pemilu ke depannya. Negara juga akan menanggung kompensasi gaji para komisioner KPU provinsi, kabupaten, kota yang dipangkas masa jabatannya. Ini dinilai mengakibatkan pemborosan.
Namun, jika opsi yang diambil adalah memperpanjang masa jabatan anggota KPU provinsi, kabupaten, dan kota sampai selesainya tahapan pemilu, siklus akhir masa jabatan selama lima tahun ke depan, tidak akan bertepatan dengan tahapan Pemilu 2029 dan seterusnya. Opsi itu juga tidak melanggar asas legalitas terkait dengan masa jabatan anggota KPU provinsi, kabupaten, dan kota yang berakhir masa jabatannya selama lima tahun. Ini juga lebih efisien karena tidak perlu memberikan gaji dobel.
”Berdasarkan pertimbangan obyektif itu, cara yang paling bermanfaat untuk kepentingan penataan desain rekrutmen KPU provinsi, kabupaten, dan kota di masa depan adalah dengan mewujudkan keserentakan rekrutmen melalui pendekatan memperpanjang masa jabatan sampai dengan tahapan pemilu selesai,” tuturnya.