Bahas Tuntas RKUHP Dinilai Lebih Baik ketimbang Persilakan Gugat ke MK
Alih-alih menunggu di Mahkamah Konstitusi, DPR dan pemerintah diminta lebih banyak membuka ruang diskusi bersama masyarakat untuk mendiskusikan pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP hingga mencapai konsensus.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Para peserta aksi membentangkan spanduk di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (27/11/2022). Aliansi Masyarakat Tolak RKUHP menggelar aksi dengan membentangkan spanduk bertuliskan kalimat kritik pada hari bebas kendaraan bermotor.
JAKARTA, KOMPAS — DPR dan pemerintah diminta untuk membahas tuntas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP sebelum mengesahkannya. Tujuannya, agar produk legislasi yang dihasilkan dapat diterima semua pihak. Hal itu dinilai lebih baik ketimbang menunggu pihak yang tak sepakat dengan muatan RKUHP mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Pada Jumat (25/11/2022), Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, RKUHP akan disahkan sebelum DPR memasuki masa reses pada 16 Desember. Adapun DPR dan pemerintah mempersilakan pihak yang tak sepakat dengan muatan RKUHP untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, Minggu (27/11/2022), mengatakan, DPR dan pemerintah seharusnya tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP. Apalagi, DPR dan pemerintah masih memiliki cukup waktu hingga 2024 untuk membahas secara mendetail pasal-pasal yang masih didebatkan publik.
”RKUHP ini memuat aturan yang nantinya mengatur hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, RKUHP mestinya tidak dibahas atau disahkan terburu-buru dengan semata-mata pertimbangan bahwa masa sidangnya akan segera berakhir. Padahal, kan, secara substantif masih banyak persoalan yang mestinya bisa dibuka atau dibahas kembali,” kata Wahyudi saat dihubungi.
Wahyudi menambahkan, DPR dan pemerintah terkesan bisa membuat UU semaunya karena kemudian bisa diperbaiki melalui mekanisme gugatan ke MK. Padahal, kata Wahyudi, DPR dan pemerintah seharusnya menciptakan produk legislasi yang baik agar tak perlu diuji materi di MK. Menurut dia, bukan hal yang baik ketika segala sesuatu dalam konteks pembentukan UU dimuarakan ke MK untuk perbaikan.
”Langkah pertama menghasilkan satu produk legislasi yang baik tetap harus berada di DPR dan pemerintah, dalam artian seluruh pijakan konstitusional sebagaimana diatur UUD 1945 itu semuanya diinternalisasi dan dimanifestasikan sejak awal proses pembahasan suatu UU. Bukan malah menggunakan argumen silakan menempuh jalur konstitusional ke MK kalau tidak puas dengan hasil yang dilakukan DPR dan pemerintah,” tuturnya.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, sebenarnya tidak ada urgensi untuk segera mengesahkan RKUHP. Terlebih, KUHP saat ini masih bisa mengakomodasi kejadian-kejadian yang sifatnya pidana sehingga tidak akan ada kekosongan hukum. Bahkan, beberapa kejadian yang tidak diatur KUHP telah diatur dalam UU khusus, seperti UU Tindakan Pidana Korupsi.
Karena itu, kata Fickar, yang diperlukan sebenarnya adalah menyerap pendapat masyarakat, terutama terkait pasal-pasal yang mengancam kebebasan publik. Apalagi jika tujuan RKUHP adalah untuk mendekolonialisasi KUHP.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP berunjuk rasa di sekitar Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat, Selasa (21/6/2022).
Fickar mencontohkan, klausul tentang penghinaan terhadap presiden yang termuat dalam Pasal 240 RKUHP justru masih kental dengan nuansa kolonial. Sebab, pasal tersebut dahulu dibuat sebagai upaya melindungi ratu yang menjadi simbol negara. Dengan demikian, pasal tersebut tidak relevan dengan negara republik seperti Indonesia. Sebab, presiden bukan sebagai individu, melainkan lembaga atau institusi.
”KUHP sebenarnya seharusnya menampung aspirasi yang mutakhir. Apakah perbuatan pidana yang ada di KUHP masih relevan atau tidak? Itu yang harusnya diuji. Kalau pada akhirnya sifatnya kolonial lagi, ya, sama saja. Maka dari itu, mestinya pembahasan RKUHP dituntaskan dulu sebelum disahkan. Itu, kan, lebih enak dan bisa diterima semua pihak,” ujarnya.
Sejumlah penolakan terhadap rencana pengesahan RKUHP disuarakan masyarakat sejak pemerintah bersama Komisi III DPR menyetujui pengesahan di tingkat I dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (24/11/2022). Pada Minggu (27/11/2022), elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Tolak RKUHP menggelar aksi di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Adapun aliansi tersebut terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, LBH Masyarakat, Yifos Indonesia, serta Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI).
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Para peserta aksi membentangkan spanduk penolakan RKUHP di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (27/11/2022). Aliansi Masyarakat Tolak RKUHP menggelar aksi dengan membentangkan spanduk bertuliskan kalimat kritik pada hari bebas kendaraan bermotor (HBKB).
Mereka menyuarakan penolakan terhadap rencana pengesahan RKUHP sebelum DPR memasuki masa reses pada 16 Desember karena sejumlah pasal dinilai masih bermasalah. Beberapa pasal tersebut terkait aturan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), pidana mati, perampasan aset untuk denda individu, paham selain ajaran komunisme/marxisme-leninisme yang bertentangan dengan Pancasila, penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court), unjuk rasa tanpa pemberitahuan, kontrasepsi, dan tindak pidana terkait agama.
Selain masih memuat beragam pasal bermasalah, proses pembahasan dari RKUHP juga dinilai tidak partisipatif dan harus melalui proses diskusi lanjutan. ”Untuk itu, masyarakat menyerukan kepada DPR dan pemerintah untuk tidak mengesahkan RKUHP sebelum masa reses ini dan lebih banyak membuka ruang diskusi bersama masyarakat. Selain itu, DPR dan pemerintah juga harus mencabut pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP karena tidak jelas parameternya dan berpotensi menjadi pasal karet,” kata Aliansi Masyarakat Tolak RKUHP dalam keterangan persnya.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Omar Sharif Hiariej, Kamis lalu, mengatakan, pembahasan RKUHP berlangsung cepat karena apa yang diusulkan DPR disetujui oleh pemerintah. Adapun ketika ditanya alasan tak menuntaskan pembahasan RKUHP lebih dahulu agar tak diajukan ke MK nantinya, Eddy menegaskan bahwa pemerintah dan DPR sudah melakukannya.
”Kami sudah (merampungkan pembahasan). Saya, kan, katakan bahwa tidak mungkin 100 persen usulan dapat kami masukkan ke RKUHP. Itu tidak mungkin. Jadi, pasti ada yang kami akomodasi dan ada yang tidak. Namun, saya ingin menegaskan, pemerintah dan DPR punya argumentasi teoretis sangat kuat,” ucap Eddy seusai rapat kerja Komisi III DPR dengan pemerintah.