Di hari terakhir Kongres Ulama Perempuan Indonesia 2, Sabtu (26/11), kalangan remaja laki-laki dan perempuan mendiskusikan aneka persoalan kemanusiaan yang terjadi akibat tafsir tunggal terhadap ayat pada kitab suci.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JEPARA, KOMPAS — Kongres Ulama Perempuan Indonesia 2 adalah ruang perjumpaan inklusif yang menyatukan ulama perempuan di seluruh Indonesia. Anak-anak muda turut berkontribusi mengidentifikasi masalah keadilan jender di sekitarnya serta merumuskan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk berkontribusi menyelesaikan persoalan tersebut.
Di hari terakhir Kongres Ulama Perempuan Indonesia 2 (KUPI-2) yang berlangsung di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (26/11/2022), sekitar 30 anak muda, baik laki-laki maupun perempuan, berkumpul di mushala ponpes. Mereka duduk melingkar mendiskusikan aneka persoalan kemanusiaan dan jender yang terjadi akibat budaya ataupun tafsir tunggal terhadap ayat suci Al Quran.
Hidayah (18), remaja kelas 12 sekolah menengah atas (SMA), dengan percaya diri dan lantang mengaku beruntung bisa mendapatkan kesempatan mengikuti KUPI-2 di Jepara. Sebagai anak muda, dia ingin suara dan aspirasinya terkait permasalahan sosial didengar secara lebih bermakna.
Walaupun masih belia, Hidayah juga ikut gelisah melihat masih banyak praktik budaya sunat perempuan di lingkungannya. Walaupun sudah dilarang karena membahayakan, praktik tersebut masih dijalankan masyarakat sebagai tradisi. Tradisi itu sudah mengakar dan kerap dijalankan pada saat bayi berusia selapan atau 35 hari setelah lahir.
”Praktik seperti itu masih ada karena desa tempat saya tinggal masih berada di pelosok (di) Pati (Jawa Tengah). Masyarakat masih memegang teguh budaya dan sulit sekali mengubah mindset mereka,” katanya.
Persoalan itu pun dia bawa dalam diskusi kelompok muda bertajuk ”Halaqah Refleksi Kerja-kerja Jaringan Anak Muda untuk Membangun Peradaban yang Berkeadilan” yang merupakan rangkaian dari kegiatan KUPI-2. Bersama kelompoknya, Hidayah mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan kemanusiaan, keadilan, dan lingkungan. Persoalan masih maraknya sunat perempuan yang berbahaya itu pun dia bawa ke dalam diskusi kelompok.
Dari hasil diskusi bersama teman-temannya, Hidayah membuat program perubahan pola pikir masyarakat melalui forum terkecil keluarga, majelis taklim, hingga pondok pesantren. Dia ingin membuat gerakan penyadaran masyarakat yang berbasis dari akar rumput. Tujuan program itu adalah mendiseminasikan gagasan-gagasan utama yang diusung di KUPI, yakni mengenai pengelolaan sampah bagi lingkungan berkelanjutan, kepemimpinan perempuan menghadapi ideologi intoleran dan penganjur kekerasan, perlindungan jiwa perempuan dari kehamilan akibat pemerkosaan, pemaksaan perkawinan pada perempuan dan anak, serta pemotongan dan pelukaan genitalia.
”Kebetulan, saya sendiri baru saja membuat gerakan penyebarluasan perlindungan perempuan dan anak melalui website lamat.id. Itu akan kami manfaatkan untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan baru yang kami dapatkan melalui KUPI-2 ini,” lanjut Hidayah.
Masalah lain yang disoroti adalah kekerasan seksual berbasis online yang semakin marak di era digital ini.
Dewi Avivah (22) dari Semarang, Jateng, juga menaruh perhatian pada masalah sampah plastik yang menjadi persoalan di semua lingkungan saat ini. Walaupun bukan terbilang baru, dia ingin terus mengajak orang-orang untuk menghindari memakai botol plastik atau air minum dalam kemasan. Dia mengajak orang-orang menggunakan botol minuman yang bisa dipakai kembali seperti tumbler. Jika bisa terus disosialisasikan, hal itu tentu dapat membawa perubahan yang signifikan bagi lingkungan.
”Kita juga bisa membuat bank sampah, memilah sampah sesuai dengan jenisnya, serta menggerakkan program menanam pohon. Jika perlu advokasi undang-undang, kita juga bisa mendorongnya dengan menyuarakan aspirasi bersama,” katanya.
Masalah lain yang disoroti adalah kekerasan seksual berbasis online yang semakin marak di era digital ini. Dewi ingin mengedukasi agar anak-anak muda lebih peka terhadap isu tersebut.
Fasilitator dalam acara tersebut, Hijroatul Maghfiroh, mengungkapkan, nilai-nilai individu yang didapatkan melalui KUPI-2 diharapkan dapat dibawa oleh peserta kongres di lingkungan masing-masing. Peserta kongres juga diminta untuk menyebarluaskan gagasan tersebut. Pada hari terakhir KUPI-2, juga akan ada hasil musyawarah keagamaan yang akan melahirkan fatwa atau ikrar KUPI-2. Ikrar itu butuh disebarluaskan agar bisa menjadi gerakan yang berkelanjutan dan berdampak bagi masyarakat luas.
”Inilah mengapa KUPI membutuhkan partisipasi dari orang alim, ulama, akademisi, anak-anak muda, agar tidak hanya berhenti menjadi fatwa atau dalil, tetapi nilainya diketahui dan diimplementasikan di masyarakat,” ucapnya.
Melalui kongres di Jepara, KUPI menghadirkan ruang perjumpaan bagi seluruh pemangku kepentingan. Metodologi KUPI yang lahir saat KUPI-1 di Ponpes Kebon Jambu, Cirebon, yaitu mubadalah (ketersalingan), ma’ruf (mengajak berbuat kebaikan), dan keadilan hakiki, harus terus disosialisasikan dan didiseminasikan kepada masyarakat.
”Ruang perjumpaan KUPI ini harus dimanfaatkan semuanya, termasuk kita anak-anak muda agar terus bersuara. Kolaborasi antarpemangku kepentingan juga diharapkan tercipta melalui KUPI-2 ini,” katanya.