Pemerintah berencana segera mengirim daftar inventarisasi masalah dan surat presiden terkait revisi UU MK. Revisi UU ini dianggap tidak mendesak serta dinilai memasukkan aturan untuk mengontrol hakim.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
SUHARTONO/KOMPAS
Presiden Joko Widodo memberikan ucapan selamat seusai menyaksikan pengucapan sumpah calon hakim konstitusi M Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu, 23 November 2022.
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah akan mengirimkan surat presiden dan daftar inventarisasi masalah terkait Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sebelum 2 Desember 2022. Salah satu poin revisi dalam undang-undang itu adalah hakim konstitusi dapat dievaluasi oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Poin revisi ini dinilai sebagai ”cara halus” DPR melegalkan pencopotan Aswanto sebagai hakim konstitusi.
Pada 22 September 2022, Badan Legislasi DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat UU MK menjadi inisiatif DPR. Adapun UU 7/2020 tentang MK baru diundangkan pada 29 September 2020.
Pada 29 September 2022, DPR secara mendadak memutuskan tak memperpanjang masa jabatan Aswanto dan menunjuk Guntur Hamzah yang saat itu menjabat Sekretaris Jenderal MK sebagai penggantinya. DPR memanfaatkan surat Ketua MK tanggal 21 Juli 2022 sebagai dasar penggantian Aswanto. Surat itu ialah surat konfirmasi berupa pemberitahuan dari Ketua MK terkait perubahan masa jabatan tiga hakim konstitusi usulan DPR sehubungan dengan adanya aturan baru di UU 7/2020. Hal ini dikritik para mantan hakim konstitusi dan pakar hukum tata negara.
Pada Rabu (23/11), Guntur Hamzah diambil sumpahnya di hadapan Presiden Joko Widodo. Dia menggantikan Aswanto. Berselang beberapa jam kemudian, MK memutus uji materi pasal di UU MK. Dalam pertimbangan putusan, MK menegaskan penggantian hakim konstitusi di luar ketentuan di Pasal 23 UU MK tidak sejalan dengan UUD 1945. Salah satu norma di Pasal 23 adalah pemberhentian hakim konstitusi di tengah masa jabatannya hanya dapat dilakukan jika ada permintaan dari Ketua MK.
Polisi menjaga pintu Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta saat para aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan beberapa perwakilan elemen masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Madani menggelar aksi seruan penyelamatan Mahkamah Konstitusi di halamannya, Selasa (4/10/2022).
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Dhahana Putra, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (24/11/2022), mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) atas RUU MK. Ia juga menegaskan, DIM beserta surat presiden terkait pembahasan RUU tersebut akan dikirimkan sesegera mungkin sebelum 2 Desember 2022.
”Yang jelas, pemerintah merespons. Karena secara ketentuan, kan, 60 hari paling lambat harus diberikan jawaban. Jadi, (DIM) sudah selesai. Tinggal disampaikan. Harapannya sesegera mungkin (DIM dan surpres diserahkan ke DPR),” ujar Dhahana.
Dhahana mengungkapkan, pemerintah salah satunya menyoroti Pasal 23 UU MK tentang Mekanisme Pemberhentian Hakim MK. Ia enggan membeberkan catatan pemerintah atas pasal tersebut. Namun, ia menggarisbawahi bahwa kekuasaan kehakiman harus independen tanpa intervensi apa pun. ”Kami membangun ke sana,” katanya.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Benny Kabur Harman
Sementara itu, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman, menilai, upaya menambahkan materi mengenai evaluasi hakim konstitusi dalam RUU MK merupakan cara halus untuk membenarkan tindakan DPR yang secara mendadak mencopot Aswanto dan kemudian diikuti adanya pengambilan sumpah Guntur sebagai hakim konstitusi oleh Presiden.
”Cara kasarnya sudah dilakukan (dengan langsung mengganti Aswanto). Cara halus itu, dia ubah dulu undang-undangnya. Ini dia bertindak dulu, lalu membuat UU untuk membenarkan tindakannya. Tidak bisa pakai cara-cara begitu,” ucap Benny.
Apalagi, lanjut Benny, pada Rabu (23/11), MK telah menegaskan, pemberhentian hakim konstitusi yang dilakukan di luar ketentuan Pasal 23 UU MK inkonstitusional.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, putusan MK soal mekanisme pemberhentian hakim konstitusi akan dipelajari lagi oleh DPR. Nantinya, DPR juga akan berkonsultasi dengan MK terkait adanya putusan tersebut.
”Kami tentu harus atau perlu memperhatikan bahkan tidak hanya amar putusan MK, tetapi juga pertimbangan-pertimbangan itu, ya. Nah, nanti kami harus lihat. Tetapi, DPR juga tentu harus lakukan kajian kritis terhadap putusan-putusan MK meskipun dalam sistem ketatanegaraan kita putusan MK itu bersifat final dan mengikat,” katanya.
RIAN SEPTIANDI
Arsul Sani
Upaya mengontrol hakim
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti mengungkapkan, revisi UU MK yang mengatur adanya mekanisme evaluasi bagi hakim MK tidaklah urgen dilakukan. Apalagi, evaluasi merupakan salah satu cara untuk mengontrol para hakim oleh lembaga-lembaga pengusul.
”Presiden itu punya kewajiban konstitusional untuk melindungi dan mempertahankan independensi kekuasaan kehakiman. Kalau mekanisme evaluasi dibiarkan, pemerintah setuju, Presiden setuju dengan mekanisme evaluasi, artinya Presiden setuju bahwa terhadap hakim itu akan dilakukan kontrol. Evaluasi itu kan sebagai bentuk kontrol menurut saya. Padahal, tujuan mendirikan MK itu adalah untuk checks and balances. Bagaimana MK bisa melakukan checks and balances dengan baik jika hakim-hakimnya dikontrol oleh lembaga-lembaga yang mengusulkan. Mustahil,” ujar Susi.
DOKUMENTASI UNIVERSITAS PADJAJARAN
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti
Revisi keempat UU MK mengatur dua hal pokok, yaitu menurunkan batas usia minimal menjadi hakim MK menjadi 50 tahun dan mekanisme evaluasi hakim oleh masing-masing lembaga pengusul. Untuk poin pertama soal batas usia minimum hakim MK, Susi mempertanyakan motivasi di balik menaikkan dan kemudian menurunkan syarat usia tersebut. Menurut dia, tidak ada urgensi untuk merevisi UU yang baru tahun 2020 lalu dilakukan revisi.
Khusus mengenai evaluasi hakim, Susi memberi penekanan bahwa tidak ada dasar teori apa pun yang menjustifikasi lembaga pengusul baik DPR, pemerintah, dan MA mengevaluasi hakim MK. Pembentuk undang-undang diminta untuk memahami bahwa pengusulan hakim MK berbeda dengan usulan dalam pengisian jabatan lain yang bisa me-recall jika tak puas dengan kinerja yang bersangkutan.
Apalagi, MK memiliki tugas mengadili perkara-perkara yang memiliki nature politik sehingga dikatakan sebagai judicialization of politic. ”Menyelesaikan persoalan politik melalui hukum,” kata dia.
KOMPAS/SUSANA RITA KUMALASANTI
DPR menyetujui Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah untuk menjadi hakim konstitusi dari DPR menggantikan Wakil Ketua MK saat ini, Aswanto, dalam rapat paripurna DPR, Kamis (29/9/2022)
Berkaitan dengan status hakim MK yang berasal dari pemerintah setelah putusan MK nomor 96/PUU-XVIII/2020, Susi juga mengatakan, Presiden harus mengikuti ketentuan undang-undang, yakni hakim MK baru dapat berhenti atau pensiun pada usia 70 tahun. Presiden harus menyatakan tidak akan melakukan penggantian seperti halnya yang sudah dilakukan oleh MA. Ini dilakukan untuk meningkatkan independensi kekuasaan kehakiman.
Independensi kekuasaan kehakiman dapat ditingkatkan beberapa cara, antara lain, masa jabatan yang memadai. ”Satu lagi, hakim tidak boleh menerima akibat dari putusan yang diambilnya. Itu cara untuk meningkatkan independensi,” kata dia.
Tidak ingin mencampuri urusan DPR
Dari tiga lembaga pengusul yang dikirimi surat Ketua MK, dua di antaranya, yaitu DPR dan MA, sudah merespons. DPR memutuskan untuk mengganti Aswanto. Sementara MA menilai surat Ketua MK sebatas klarifikasi.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ade Irfan Pulungan mengatakan, setiap lembaga pengusul memiliki kewenangan masing-masing. Pemerintah tidak bisa mencampuri keputusan lembaga pengusul terkait respons atas surat Ketua MK.
”Pemerintah tidak mencampuri akan adanya perubahan (hakim) yang diusulkan oleh DPR,” ujar Ade Irfan.
Namun, pemerintah sejauh ini memiliki pandangan untuk tidak mengevaluasi hakim-hakim MK usulan mereka. Menurut dia, tujuan Ketua MK mengirimkan surat itu adalah untuk memastikan kelanjutan dari sembilan hakim di MK.
”DPR menyatakan melakukan perubahan. Yang lainnya, kan, tidak ada. Jadi jangan dianggap susah,” ucap Ade Irfan.