Dua Kali Mangkir, KPK Bisa Jemput Paksa dan Pidana Kuasa Hukum Lukas Enembe
Setelah Lukas Enembe tak bisa diperiksa KPK, kini KPK membidik pengacara Lukas untuk diperiksa. Jika pengacara Lukas masih juga mangkir, KPK bisa lakukan jemput paksa dan pidana kedua kuasa hukum Lukas Enembe tersebut.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi kembali memanggil dua kuasa hukum Lukas Enembe, Aloysius Renwarin dan Stefanus Roy Rening, sebagai saksi dalam kasus korupsi yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe, pada Kamis (24/11/2022). Namun, keduanya kembali mangkir. Pemidanaan dan upaya paksa penjemputan bisa dilakukan apabila kuasa hukum masih mangkir di pemanggilan selanjutnya.
Pengacara Lukas Enembe, Stefanus Roy Rening, menjelaskan, dirinya kembali tidak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena harus menghadiri pelatihan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia menyebut harus menghadiri acara ini karena sudah dijadwalkan jauh hari sebelumnya.
”Saya masih ada acara lain, memberi materi untuk pendidikan advokat, kerja sama Peradi RBA dan UGM,” ujar Roy dalam pesan singkatnya,
Kamis (24/11/2022).
Saya akan datang langsung ke Kantor KPK pada Senin (28/11/2022).
Ia menyebut, dirinya sudah meminta Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu untuk menjadwalkan ulang pemanggilan dirinya sebagai saksi pada pekan depan. Roy menjelaskan, kali ini ia akan datang langsung ke kantor KPK di Jakarta.
”Sebagai warga negara yang baik dan advokat yang memiliki komitmen tinggi pada supremasi hukum, saya akan memenuhi panggilan penyidik KPK dengan datang ke kantor KPK di Kuningan, Jakarta Selatan, pada hari Senin, 28 November 2022, pukul 10.00,” tulis Roy.
Sementara itu, kuasa hukum Lukas Enembe lainnya, Aloysius Renwarin, yang di pemanggilan pertama mangkir karena menginginkan pemeriksaan dilakukan di Papua, belum membalas pesan singkat Kompas saat ditanya mengapa dirinya tetap tidak hadir di pemanggilan kedua.
Berdasarkan keterangan tertulis dari Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, keduanya dipanggil sebagai saksi dalam pengusutan kasus suap dan gratifikasi terkait dengan proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua, yang menjerat Lukas Enembe sebagai tersangka. Meski ada permintaan pemeriksaan di Papua, KPK tetap menjadwalkan pemeriksaan saksi di Jakarta
”Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi di Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan,” ucap Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya.
Saat ditanya mengenai alasan dua kuasa hukum tersebut masih mangkir, Ali belum memberikan keterangan lebih lanjut. Selain dua kuasa hukum tersebut, KPK juga memanggil delapan orang lainnya sebagai saksi, antara lain dua karyawan PT Tabi Bangun Papua, Fredrick Bane dan Komang; dua mantan karyawan PT Tabi Bangun Papua, Yani Ardiningrum dan Andres Horman; Direktur PT Papua Maju Perkasa Mustafa; serta dua karyawan swasta, Dommy Yamamoto dan Yonater Karomba.
Jemput paksa
Peneliti di Pusat Studi Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menerangkan, KPK perlu tegas dalam memanggil kedua kuasa hukum, salah satunya dengan upaya paksa. Bahkan, ia menyebut, keduanya bisa dipidana bila masih tidak mengindahkan pemanggilan yang dilakukan oleh penegak hukum.
”KPK perlu memanggil keduanya sekali lagi. Jika kuasa hukum Lukas Enembe tidak mau datang, bisa dilakukan penjemputan paksa oleh petugas. Bila masih tidak mau datang, keduanya bisa diancam pidana 9 bulan seperti yang tercantum dalam Pasal 224 KUHP,” ucap Zaenur.
KPK perlu memanggil keduanya sekali lagi. Jika kuasa hukum Lukas Enembe tidak mau datang, bisa dilakukan penjemputan paksa oleh petugas. Bila masih tidak mau datang, keduanya bisa diancam pidana 9 bulan seperti yang tercantum dalam Pasal 224 KUHP.
Untuk diketahui, di Pasal 224 KUHP disebutkan, barang siapa yang dipanggil menurut undang-undang sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, dan dengan sengaja tidak memenuhi panggilan tersebut bisa dihukum penjara selama sembilan bulan untuk perkara pidana, dan penjara enam bulan untuk perkara lain.
Zaenur menegaskan, tidak memenuhi panggilan penyidik untuk kedua kali merupakan sikap tidak menghargai proses penegakan hukum. Saat ditanya mengenai alasan yang dikemukakan Roy mengenai ketidakhadirannya, ia menyebut setiap orang memiliki kesibukan masing-masing. Namun, saat ada panggilan, maka menjadi kewajiban hukum untuk menaatinya.
Ia juga meminta KPK untuk menolak bila ada permintaan pemeriksaan saksi dilakukan di Papua. Alasan tersebut dinilai tidak etis karena dapat memberikan preseden buruk untuk pemeriksaan saksi dan tersangka ke depannya.
”Kalau ada yang minta seperti itu, nanti saksi dan tersangka lain bisa minta hal yang serupa. Kalau saksi punya alasan kuat tidak hadir, baru diperkenankan penyidik, kalau alasannya tidak wajar, KPK tidak diperbolehkan oleh KUHAP untuk memeriksa saksi di tempat saksi berada,” ucapnya.
Hal yang sama diutarakan oleh peneliti di Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, yang menyebut penjemputan paksa bisa dilakukan kepada kuasa hukum apabila tetap mangkir di pemanggilan selanjutnya. Pemeriksaan saksi di Papua pun tidak bisa menjadi alasan yang kuat.
Kurnia menilai, mandeknya pemanggilan saksi ini akan membuat pengusutan kasus korupsi di Papua berlarut-larut. Ia menyebut, bila kedua kuasa hukum masih tidak memenuhi panggilan KPK, bisa saja perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindakan menghalang-halangi proses hukum atau obstruction of justice.
”Permintaan untuk diperiksa di Papua tidak ada urgensinya, malah melanggar prinsip penanganan perkara, yaitu cepat, sederhana, dan biaya murah,” ujar Kurnia.