2.103 Perkara Dihentikan, Jaksa Agung Awasi Langsung Keadilan Restoratif
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan belum sepenuhnya memercayai personel kejaksaan di daerah untuk menghentikan perkara dengan mekanisme keadilan restoratif. Maka itu, persetujuan dilakukan oleh Jampidum Kejagung.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak digulirkan pada 2020, Kejaksaan Agung telah menghentikan 2.103 perkara di tahap penuntutan dengan mekanisme keadilan restoratif. Kendati begitu, persetujuan terhadap keadilan restoratif tersebut masih diputuskan di pusat oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum.
”Karena keadilan restoratif di kami adalah sudah ada perjanjian perdamaian antara korban dan tersangka. Kedua, (ancaman hukuman) tidak lebih dari 5 tahun dan kerugian tidak lebih dari Rp 2,5 juta. Untuk pengembangan (kriteria keadilan restoratif), kami memang perlu hati-hati,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu (23/11/2022), di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Pada Juli 2020, Jaksa Agung menerbitkan Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan tersebut fokus pada tindak pidana dengan ancaman hukuman di bawah 5 tahun dan nilai kerugian di bawah Rp 2,5 juta. Adapun penghentian penuntutan berdasarkan mekanisme keadilan restoratif telah dilakukan terhadap 2.103 perkara sejak 2020.
Pada awal pemberlakuan keadilan restoratif, Burhanuddin mengatakan masih ragu-ragu. Sebab, penghentian perkara tersebut dilakukan tanpa melewati proses pengadilan. Tidak tertutup kemungkinan, lanjutnya, hal itu dimanfaatkan atau diselewengkan para jaksa nakal untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Untuk meminimalkan hal itu, ujar Burhanuddin, ia membentuk Satuan Tugas 53 yang salah satu tugasnya mengawasi pelaksanaan penghentian penuntutan dengan mekanisme keadilan restoratif. Tugas Satgas 53 tersebut memperkuat fungsi pengawasan internal yang dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas).
Menurut Burhanuddin, karena dirinya masih belum mempercayai para jaksa di daerah untuk memutus penghentian perkara dengan mekanisme keadilan restoratif, sampai saat ini proses pemberian persetujuan tetap dilakukan langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung.
”Setiap hari, dari pukul setengah tujuh sampai pukul sembilan itu fokus pada perkara RJ (restorative justice). Itu yang kami fokuskan. Kenapa? Karena kami jujur belum percaya pada daerah. Tapi, suatu saat kami limpahkan kewenangan ini ke daerah apabila sudah seleksi betul,” ujarnya.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, pada kesempatan itu mengatakan, penerapan keadilan restoratif oleh kejaksaan tersebut dapat mengubah paradigma dari yang semula hanya penegakan hukum kini juga menjadi penegakan keadilan dengan rasa kemanusiaan. Namun, lanjutnya, terdapat pemahaman yang dinilai kurang tepat yang berkembang di masyarakat ataupun kejaksaan di tingkat bawah.
”Dengan keadilan restoratif, yang paling penting adalah bagaimana memulihkan kembali korban. Posisi korban menjadi sangat penting. Jangan sampai keadilan restoratif hanya dipahami sebagai upaya penghentian perkara saja, tapi bagaimana jaksa menggunakan kewenangan agar ketika korban berhadapan dengan hukum, dia bisa mendapatkan manfaat dari proses penegakan hukum ini,” tutur Taufik.
Selain itu, lanjut Taufik, meski perkara sudah dihentikan, pelaku juga harus didampingi dan tetap diberi pemahaman bahwa yang dilakukan itu salah. Dengan demikian, perbuatannya tetap tidak dibenarkan melalui mekanisme penghentian perkara tersebut. Proses pengarahan atau bimbingan bisa dilakukan jaksa dengan melibatkan masyarakat setempat. Dengan demikian, masyarakat terlibat untuk menjaga warganya.
Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, menyoroti mekanisme keadilan restoratif untuk kasus narkotika. Menurut Hinca, jika mekanisme keadilan restoratif dapat dimaksimalkan untuk kasus narkotika, hal itu akan mengurangi beban anggaran pemerintah yang harus dikeluarkan bagi narapidana narkotika.
Dalam menerapkan keadilan restoratif untuk kasus narkotika, kata Burhanuddin, pihaknya sependapat bahwa pengguna narkotika adalah korban yang sudah seharusnya ditempatkan di tempat rehabilitasi, bukan di lembaga pemasyarakatan (lapas). Sebab, terapi yang diberikan di tempat rehabilitasi dan di lapas juga berbeda.
”Jadi, saya fokuskan pengguna adalah korban, maka tidak masuk lapas,” ujar Burhanuddin.