
- Pemilih usia muda cenderung rasional dalam memilih pemimpin.
- Isu-isu seperti korupsi dan perubahan iklim menjadi hal-hal yang ingin mereka dengarkan dari para kandidat presiden.
- Pilihan kini ada di tangan parpol dalam memilih kandidat yang akan disodorkan kepada pemilih.
Preferensi pemilih muda dalam menentukan pilihan pada calon presiden akan bergantung pada kapasitas serta isu yang dibawa kandidat, ketimbang preferensi suku dan agama. Partai politik perlu mengakomodasi hal ini saat akan mengusung pasangan capres-cawapres.
Pengajar politik di Universitas Padjadjaran Bandung, Firman Manan, Senin (21/11/2022) menuturkan, pemilih usia muda cenderung rasional dalam memilih pemimpin karena berfokus pada kapasitas dan kedekatan isu yang akan dibawa calon presiden nantinya. Pemilih usia muda dinilai mampu mengakhiri perdebatan politik yang mendikotomikan pemimpin dalam kutub mayoritas dan minoritas.
“Anak-anak muda ini relatif bebas, ga terkungkung soal etnis lagi, faktor utama bagi mereka itu soal kerja kandidat, kedekatan isu, leadership quality. Teman-teman ini fokus pada isu yang memang jadi problem, bukan isu simbolik. Pemilih muda berpotensi mengakhiri perdebatan pemilihan pemimpin soal isu etnis dan agama,” katanya dalam diskusi ”Membaca Kecenderungan Preferensi Pemilih: Kesukuan, Kapasitas atau Kesholehan”.
Baca juga: Lebih Baik Susun Program Konkret ketimbang Gunakan Politik Identitas
Firman menyebut, keputusan kini ada di tangan partai politik, apakah akan menawarkan calon yang berbasis pada kesukuan atau kapasitas. Meskipun begitu, Ia berpendapat, partai politik masih akan menggunakan pendekatan kesukuan, dalam hal ini Jawa, karena lebih mudah dan efektif dalam mendulang suara.
Selain itu, Ia juga mengkritisi aturan ambang pencalonan presiden yang mewajibkan partai memiliki minimal 20 persen kursi di DPR. Ia menilai hal tersebut membuat partai-partai mengusung calon presiden dari suku Jawa, karena dengan memenangkan suara di Jawa, partai lebih mudah memenuhi aturan ini.
Meskipun begitu, faktor kesukuan bukan merupakan variabel tunggal dalam memilih calon presiden karena ada beberapa faktor lain yang juga jadi pertimbangan, seperti atribut personal dan tampilan fisik.
“Kalau saja aturan 20 persen kursi ini bisa dihilangkan atau minimal dikurangi ya, mungkin ada muncul kandidat-kandidat lain. Dan perbincangan identitas pemimpin itu Jawa dan non-Jawa ini bisa selesai,” ujarnya.

Hal yang sama diutarakan pendiri Intrans Institute Andi Saiful Haq. Dia memprediksi, hingga 2-3 pemilu mendatang, partai politik masih akan mengusung pemimpin dari suku mayoritas karena merupakan kantong suara. Hal ini juga membuat perdebatan mengenai gagasan serta kapasitas pemimpin akan tenggelam dibawa perdebatan identitas.
“Partai politik akan mengkonsolidasikan diri dahulu di Pulau Jawa, baru akan ke luar Pulau Jawa. Jadi siapa yang akan dicalonkan nanti tergantung konstelasi di Pulau Jawa, bukan hanya soal kesukuan ya tapi karena 60 persen pemilih ada di pulau itu. Hasilnya juga calon pemimpin yang ditawarkan hanya terbatas,” ucap Andi.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini berpendapat, di tahap ini, partai memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat agar cerdas dalam berpolitik. Titi menambahkan pemilih muda memiliki ketertarikan isu yang berbeda dengan pemilih tua yang berusia 40 tahun ke atas. Isu-isu seperti korupsi dan perubahan iklim menjadi hal-hal yang ingin mereka dengarkan dari para kandidat presiden.

Preferensi baru ini terjadi karena arus sosial media membuat pemilih muda mendapatkan paparan isu yang luas dan baru.
“Sekarang semuanya ada di tangan partai politik, berani tidak mencalonkan seseorang yang rekam jejaknya bebas korupsi dan berintegritas? Partai politik diminta untuk mengedukasi masyarakat dengan mengusung calon yang memiliki kapasitas yang baik. Jangan hanya deklarasi tidak pakai politik identitas tapi kenyataanya berbeda,” tutur Titi.
Berdasarkan survey Litbang Kompas periode Juni 2022, alasan utama pemilih muda memilih seorang presiden adalah tegas berwibawa, pengalaman serta prestasi, dan pribadi sederhana merakyat.
Baca juga: Mengejar Pemilih di Luar Basis Tradisional Parpol