Penundaan pembahasan atas permintaan pemerintah yang akan terlebih dulu melaporkan RKUHP hasil dialog publik dan sosialisasi kepada Presiden. Meski ditunda, pemerintah ingin RKUHP tetap disahkan tahun ini.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat menunda rapat pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP yang semula dijadwalkan pada Senin dan Selasa, 21-22 November 2022. Penundaan pembahasan tersebut atas permintaan pemerintah yang akan terlebih dulu melaporkan RKUHP hasil dialog publik dan sosialisasi kepada Presiden Joko Widodo.
”Saya harap penundaan ini dalam rangka untuk mengkaji kembali masukan-masukan, baik yang disampaikan DPR maupun masyarakat, untuk menyempurnakan draf RKUHP dan memastikan tidak ada pasal yang berpotensi bermasalah ke depannya,” ujar Taufik Basari, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Minggu (20/11/2022).
Semula, Komisi III DPR menjadwalkan pembahasan substansi RKUHP pada 21 dan 22 November mendatang. Ini merupakan kesimpulan dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward OS Hieraj beserta tim perumus RKUHP pada 9 November dengan agenda laporan dan penyerahan draf RKUHP setelah sosialiasi dan dialog publik yang dilakukan sejak 23 Agustus lalu.
Namun, masih ada sejumlah pasal di RKUHP yang dinilai, baik oleh kalangan masyarakat sipil maupun sebagian anggota DPR, bermasalah dan perlu dikaji ulang. Sejumlah substansi yang perlu diperbaiki, antara lain, pengaturan hukum yang hidup di masyarakat atau living law yang berpotensi melanggar asas legalitas dalam hukum pidana (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli); pasal-pasal terkait demokrasi dan kebebasan berpendapat yang harus dibatasi pengertiannya (makar, penyerangan kehormatan, harkat, dan martabat presiden/wakil presiden, penghinaan lembaga negara, penghinaan kekuasaan umum).
Selain ada pasal-pasal lain terkait contempt of court khususnya berkenaan dengan publikasi pesidangan; rekayasa kasus sebagai usulan baru yang belum ada di dalam draf; dan pidana terkait narkotika yang harus disesuaikan dengan rencana kebijakan narkotika baru dalam RUU Narkotika.
Kemudian terkait pidana lingkungan hidup yang harus menyesuaikan administrasi dalam hukum lingkungan, pemenuhan asas non-diskriminasi bagi penyandang disabilitas dan penyesuaian nomenklatur, dan kohabitasi yang menjadi overkriminalisasi karena bukan menjadi ranah negara untuk menjadikannya sebagai pidana.
”Fraksi Nasdem tetap berharap sebanyak mungkin masukan, baik dari Fraksi Nasdem maupun dari kalangan masyarakat sipil, yang dapat diakomodasi dalam draf RKUHP dan disetujui oleh mayoritas fraksi di DPR dan oleh pemerintah. Karena itu, Fraksi Nasdem terus melakukan lobi dan meyakinkan fraksi lainnya dan tim pemerintah agar dapat menyempurnakan RKUHP,” kata Taufik Basari.
Juru bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries, saat dikonfirmasi mengenai penundaan rapat pembahasan RKUHP dengan DPR membenarkan bahwa rapat pembahasan RKUHP dengan DPR dijadwal ulang. Namun, penundaan pembahasan tersebut bukan karena menunggu kesiapan pemerintah untuk membahas RKUHP.
”Melainkan karena hasil sosialisasi dan dialog publik RKUHP, serta penyempurnaannya seperti penghapusan, reformulasi, penambahan redaksional termasuk penjelasan, dan reposisi dari draf RKUHP perlu untuk dilaporkan dahulu ke Presiden Jokowi oleh Menkumham, Wamenkumham, dan perwakilan tim ahli RKUHP,” katanya.
Menurut Albert, penyelesaian pembahasan akan segera dilakukan setelah rapat terbatas kabinet. ”Kemungkinan akan dilaksanakan pada 24 November 2022,” katanya.
Albert mengungkapkan, pemerintah tetap berharap pembahasan RKUHP dapat diselesaikan dalam masa sidang ini yang akan berakhir pada 15 Desember mendatang. Sebab, RKUHP sudah lama sekali dibahas, bahkan sudah selesai dibahas hingga diambil keputusan tingkat pertama pada tahun 2019 dan RKUHP merupakan RUU luncuran atau carry over dari pemerintah dan DPR periode 2014-2019.
Alasan lainnya adalah adanya urgensi/kebutuhan akan pembaruan hukum pidana dan pemidanaan modern untuk memperbaiki kualitas penegak hukum dan menyelesaikan kelebihan penghuni lembaga pemasyarakatan.
Sementara itu, Taufik Basari mengungkapkan, disahkan atau tidaknya RKUHP pada masa sidang kali ini sangat bergantung pada pimpinan Komisi III DPR dalam mengarahkan agenda sidang, yakni apakah akan ada pembahasan mendalam terhadap satu per satu isu yang masih dipersoalkan atau hanya secara umum.
Selain itu, hal tersebut juga sangat bergantung pada apakah pemerintah akan mengakomodasi masukan masyarakat dalam draf sebelum pembahasan dengan DPR dan mengajak DPR untuk kembali membahas isu-isu krusial atau merasa sudah cukup dengan draf yang ada.
Menurut dia, proses legislasi merupakan proses politik di mana ada pertarungan gagasan dan penghormatan terhadap keputusan yang diambil baik melalui musyawarah mufakat ataupun suara terbanyak.
”Bagaimana hasil pembahasan dan perbaikan RKUHP hingga sampai pada keputusan, tentu masih dinamis. Fraksi Nasdem tentu akan menghormati proses yang berjalan sebagai suatu proses politik dan memberikan persetujuannya namun tetap akan memberikan catatan apabila isu-isu perubahan yang fundamental dalam RKUHP belum dapat terakomodasi,” katanya.
Pasal hukum adat
Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro mengkritisi masuknya pasal hukum adat di RKUHP.
Ia meminta usulan untuk memasukkan pengakuan terhadap hukum yang hidup di masyarakat atau living law tersebut untuk direnungkan ulang. Andi Samsan secara pribadi sependapat dengan pandangan yang mempertanyakan urgensi kebutuhan living law dimasukkan sebagai norma dalam RKUHP.
”Saat ini tak ada kebutuhan konkret yang mendesak dan relevan untuk memasukkan hukum yang hidup di masyarakat ke dalam RKUHP.
Apalagi ditinjau dari segi teknis hukum, keberadaan pasal hukum adat dalam KUHP memang tidak tepat. Sebab, selain tidak sejalan dengan asas legalitas yang merupakan asas fundamental dalam KUHP, juga dalam praktiknya bisa menimbulkan kesulitan bagi aparat penegak hukum, khususnya penyidik terkait dengan keperluan pendapat ahli dan penafsiran hukum tentang suatu perbuatan yang dinilai bertentangan dengan hukum adat.
Ia memandang, pasal tentang hukum adat tak perlu dimasukkan sebagai norma dalam RKUHP.
”Biarlah hakim dalam praktik yang menemukan hukum yang hidup itu (hukum adat) dalam masyarakat. Temuan hukum adat (tidak tertulis) itu oleh hakim dapat dipertimbangkan sebagai alasan pembenar yang tidak tertulis atau sebagai keadaan yang meringankan terdakwa,” tambahnya.
Andi Samsan sependapat dengan pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, yang mengungkapkan tidak tepat memasukkan hukum adat di dalam RKUHP. Sebab, ada asas legalitas atau aturan bahwa seseorang dapat dipidana jika telah ada aturan yang terlebih dahulu melarang dan memberikan ancaman pidana terhadap perbuatan tertentu. Ia menilai tak urgensi untuk memasukkan pasal hukum adat, (Kompas, 16/11/2022).
Pada proses penegakan hukum, menurut Andi, penyidik harus diberikan dasar hukum yang tertulis dan pasti sebagaimana hakikat dan tujuan asas legalitas. “Jangan berpijak pada hukum yang tidak tertulis yang membuka peluang menyalahgunakan kewenangannya sebagai penyidik. Sebab, dia melakukan penafsiran, dia bisa diskriminatif. Bisa dia stop perkara dan bisa membuat (perkara) karena dasar penyidikannya hukum adat,” tambahnya.