Lebih Baik Susun Program Konkret ketimbang Gunakan Politik Identitas
Penggunaan politik identitas menjadi cara mudah memenangi suara, tetapi dampaknya amat berbahaya karena menciptakan segregasi di masyarakat. Parpol harus menjaga komitmen menghindari penggunaan politik identitas.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Strategi politik identitas menjadi cara termudah memenangkan suara rakyat, tetapi cara ini merusak proses berdemokrasi masyarakat Indonesia. Partai dengan basis identitas keagamaan perlu menyusun program kerja konkret, alih-alih menggunakan agama sebagai strategi utama.
Peneliti politik Indonesia di Universitas Wisconsin-Madison, Eunsook Jung, mengingatkan, menguatnya politik identitas terjadi karena para politisi menilai strategi ini merupakan cara yang paling efektif dan mudah untuk memenangi suara masyarakat. Sayangnya, cara ini malah menimbulkan perpecahan dan polarisasi di akar rumput.
”Politik identitas adalah bagian democracy backsliding (kemunduran berdemokrasi) karena harusnya demokrasi berbasiskan kebijakan publik dan penghormatan hak semua warga negara, tetapi dengan politik identitas jadinya yang memegang kendali berdasarkan identitas, seperti saya Jawa atau saya Muslim,” ujar Eunsook dalam diskusi ”Is Islam Compatible with Democracy? Case in Indonesia” yang digelar Minggu (20/11/2022).
Demokrasi harusnya didasarkan pada penghormatan hak semua warga negara, bukan segelintir warga negara berdasarkan identitas.
Kemunduran demokrasi yang berujung pada kebangkitan politik identitas juga terjadi karena tidak ada pengawasan masyarakat sipil kepada kekuasaan para politisi. Absennya pengawasan membuat orang yang memiliki kekuasaan bebas mengatur strategi dan arah politik.
Eunsook menekankan, kehadiran politik identitas sangat berbahaya karena dapat menimbulkan segregasi antarkelompok masyarakat. Akibat ulah politisi ini, bisa timbul kebencian antar-golongan di Indonesia.
”Ini berbahaya karena kamu membuat orang lain menjadi musuh, ini tidak aman. Ya, bagi para politisi menjadi mudah mendapatkan suara, tetapi proses demokrasi di masyarakat menjadi tidak berjalan, contohnya di Amerika Serikat yang pernah dilakukan (Presiden) Donald Trump,” ujarnya.
Menghadapi Pemilu 2024, Eunsook berpesan agar dalam meraih suara, para politisi dan partai-partai berbasis keagamaan perlu menyusun program konkret ketimbang menjual ideologi keagamaan. Sebagai salah satu poros politik utama di Indonesia, partai Islam dan juga intelektual Islam memiliki potensi besar untuk menghalau dampak berbahaya politik identitas di Indonesia.
”Partai-partai Islam harus menawarkan program yang konkret, seperti pengentasan rakyat miskin, peningkatan kualitas pendidikan, daripada menjual identitas agamanya. Partai-partai ini juga jangan hanya menyempitkan program kerjanya di orang komunitasnya saja, tetapi juga untuk kalangan masyarakat yang berbeda pula,” tuturnya.
Komitmen bersama
Direktur Paramadina Public Policy Institute Khoirul Umam menerangkan, komitmen serta perjuangan seluruh pihak dibutuhkan agar praktik-praktik politik identitas tidak terjadi. Politik identitas berpotensi melemahkan pilar-pilar demokrasi.
Ia menambahkan, di Indonesia, Islam dan demokrasi mampu berjalan beriringan secara harmonis. Namun, masyarakat dan pemerintah diminta tidak terlalu percaya diri dengan berpikir bahwa proses berdemokrasi sudah berjalan benar, tanpa gangguan.
Harus ada rasionalisasi saat kita membawa nilai-nilai yang kita anut ke masyarakat yang heterogen. Jangan memaksakan nilai kita jadi hukum publik.
”Tidak mudah untuk membangun demokrasi ini karena ada upaya-upaya melemahkan pilar demokrasi ini. Kita, dari media, komunitas Islam, intelektual Islam, kita harus saling mengingatkan. Jangan pikir kita yang terbaik,” ujar Khoirul.
Pengajar Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Sunaryo, menyebut penggunaan identitas privat keagamaan seperti Islam memerlukan rasionalisasi yang berbeda saat dipraktikkan di publik. Hal ini karena kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen terdiri dari agama, suku, dan ras yang berbeda-beda.
Upaya rasionalisasi juga diperlukan karena ada perkembangan nilai-nilai lain di masyarakat, seperti hak asasi manusia dan demokrasi. Rasionalisasi nilai-nilai ini diharapkan bisa mencegah segregasi atau perpecahan di masyarakat.
”Saya contohkan Cak Nur (Nurcholis Madjid), dia dari komunitas Muslim, tetapi saat dia terjun ke kehidupan publik, ada upaya rasionalisasi, upaya menerjemahkan kembali nilai-nilai Islam yang dibawa agar bisa diterima orang yang berbeda. Kita tidak bisa memaksakan nilai yang kita bawa harus menjadi hukum publik,” katanya.