Kian Kuat, Permintaan agar RKUHP Tak Tergesa-gesa Disahkan
Aspirasi yang solutif dari para pemangku kepentingan disarankan untuk diakomodasi dalam RKUHP. Ini penting agar KUHP nantinya memiliki legitimasi yang kuat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP berunjuk rasa di sekitar Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat, Selasa (21/6/2022). Mereka mendesak RKUHP dibahas secara transparan dan menjunjung tinggi partisipasi publik.
JAKARTA,KOMPAS — Permintaan agar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tak tergesa-gesa untuk disahkan semakin menguat. Selain dari kalangan masyarakat sipil, kini bermunculan dari sejumlah anggota Komisi III DPR. Aspirasi solutif dari publik disarankan diakomodasi agar kelak KUHP memiliki legitimasi yang kuat.
Salah satu anggota Komisi III DPR yang meminta agar RKUHP tak tergesa-gesa disahkan adalah anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani. ”PPP tidak ingin memaksakan RKUHP disahkan di masa sidang (DPR) sekarang jika masih banyak rumusan pasal yang masih perlu disempurnakan,” katanya saat dihubungi, Minggu (20/11/2022).
Masa persidangan DPR saat ini berakhir pada 15 Desember mendatang. Selanjutnya, DPR akan memasuki masa reses, dan kembali bersidang awal tahun depan.
Tak hanya PPP, Arsul melihat sejumlah fraksi lainnya juga menyuarakan hal yang sama. Dengan ditunda pengesahannya sampai masa sidang berikutnya, ada waktu bagi pemerintah bersama DPR untuk mengkaji kembali masukan publik terhadap sejumlah pasal yang dinilai masih bermasalah.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Arsul Sani
Sejumlah pasal di RKUHP yang dinilai, baik oleh kalangan masyarakat sipil maupun sebagian anggota DPR, bermasalah dan perlu dikaji ulang, antara lain, pengaturan hukum yang hidup di masyarakat atau living law yang berpotensi melanggar asas legalitas dalam hukum pidana (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli); pasal-pasal terkait demokrasi dan kebebasan berpendapat yang harus dibatasi pengertiannya (makar, penyerangan kehormatan, harkat, dan martabat presiden/wakil presiden, penghinaan lembaga negara, penghinaan kekuasaan umum).
Selain ada pasal lain terkait penghinaan terhadap lembaga peradilan(contempt of court)khususnya berkenaan dengan publikasi persidangan; rekayasa kasus sebagai usulan baru yang belum ada di dalam draf; dan pidana terkait narkotika yang harus disesuaikan dengan rencana kebijakan narkotika baru dalam RUU Narkotika.
Kemudian terkait pidana lingkungan hidup yang harus menyesuaikan administrasi dalam hukum lingkungan, pemenuhan asas non-diskriminasi bagi penyandang disabilitas dan penyesuaian nomenklatur, dan kohabitasi yang menjadi overkriminalisasi karena bukan menjadi ranah negara untuk menjadikannya sebagai pidana.
Namun, Arsul juga mengingatkan bahwa pembentuk undang-undang tidak mungkin mengakomodasi seluruh aspirasi dari publik, termasuk masyarakat sipil dan akademisi. Terlebih karena aspirasi yang masuk beragam, terkadang bahkan bertentangan satu sama lain. Karena itu, semua pihak diminta untuk dewasa secara politik. Ia tak mengharapkan ada pihak yang kecewa atau marah karena aspirasi mereka tidak diakomodasi dalam RKUHP. ”Terkadang masih ada elemen masyarakat sipil yang mutung karena pembentuk UU dianggap tidak mendengarkan dan menerima aspirasi mereka secara utuh,” ujarnya.
Selain Arsul, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, juga meminta agar RKUHP tak terburu-buru disahkan mengingat masih banyak kritik dari publik terhadap sejumlah pasal di RKUHP. ”Sebaiknya bisa diselesaikan pada masa mendatang. Namun, itu tidak mudah, kecuali semua fraksi bersepakat untuk menunda,” ujarnya.
Ia menyarankan agar aspirasi yang solutif dari para pemangku kepentingan diakomodasi dalam RKUHP. Ini penting agar KUHP nantinya memiliki legitimasi yang kuat.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, juga meminta agar sebanyak mungkin masukan publik dapat diakomodasi dalam RKUHP. Untuk itu, ia berharap penundaan pembahasan RKUHP pada 21-22 November mendatang diharapkan bisa dimanfaatkan untuk mengkaji kembali masukan publik dan sekaligus menyempurnakan RKUHP supaya setelah disahkan nanti tak justru muncul masalah dari KUHP.
Semula, Komisi III DPR menjadwalkan penyelesaian pembahasan substansi RKUHP pada 21 dan 22 November mendatang. Ini merupakan kesimpulan dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward OS Hieraj beserta tim perumus RKUHP pada 9 November dengan agenda laporan dan penyerahan draf RKUHP setelah sosialisasi dan dialog publik yang dilakukan sejak 23 Agustus lalu. Namun, kemudian, pembahasan ditunda dan baru akan digelar pada 24 November mendatang.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (tengah) beserta jajarannya ketika rapat kerja membahas RKUHP dengan Komisi III di Ruang Rapat Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (9/11/2022).
Juru bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries, mengatakan, penundaan pembahasan bukan karena menunggu kesiapan pemerintah untuk membahas RKUHP. ”Melainkan karena hasil sosialisasi dan dialog publik RKUHP, serta penyempurnaannya seperti penghapusan, reformulasi, penambahan redaksional termasuk penjelasan, dan reposisi dari draf RKUHP perlu untuk dilaporkan dahulu ke Presiden Jokowi oleh Menkumham, Wamenkumham, dan perwakilan tim ahli RKUHP,” katanya.
Pemerintah tetap berharap pembahasan RKUHP dapat diselesaikan dalam masa persidangan DPR saat ini. Sebab, RKUHP sudah lama sekali dibahas, bahkan sudah selesai dibahas hingga diambil keputusan tingkat pertama pada tahun 2019 dan RKUHP merupakan RUU luncuran atau carry over dari pemerintah dan DPR periode 2014-2019.
Alasan lainnya adalah adanya urgensi/kebutuhan akan pembaruan hukum pidana dan pemidanaan modern untuk memperbaiki kualitas penegak hukum dan menyelesaikan kelebihan penghuni lembaga pemasyarakatan.
Pada 16 November lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan, target pemerintah RKUHP sudah disahkan akhir tahun ini. ”Diharapkan sebelum masa sidang DPR ini berakhir pada bulan Desember mendatang, kita sudah punya KHUP yang baru yang menjadi revisi dari KUHP yang sudah berumur 200 tahun lebih. Yang di negara asalnya sudah diganti dan sudah 59 tahun kami bahas,” katanya.