Hasil Evaluasi Penjabat Kepala Daerah Kurang Memuaskan
Kemendagri telah melakukan evaluasi terhadap 58 penjabat kepala daerah. Dari jumlah tersebut, satu penjabat kepala daerah diganti karena tidak memenuhi parameter dalam evaluasi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengucapkan selamat kepada lima penjabat gubernur seusai pelantikan di Kantor Kementrian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (12/5/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri sudah mengganti satu penjabat kepala daerah setelah melakukan evaluasi tiga bulanan. Sebanyak sepuluh penjabat kepala daerah mendapatkan perhatian khusus untuk dievaluasi triwulan kedua. Cukup banyaknya jumlah penjabat kepala daerah dengan kinerja kurang memuaskan menjadi alarm dalam pengangkatan penjabat kepala daerah selanjutnya.
Inspektur Khusus, Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri Teguh Narutomo mengatakan, Kemendagri melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan tugas penjabat kepala daerah sesuai dengan amanah dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Dalam evaluasi tersebut, ada tiga aspek yang digunakan sebagai parameter dalam evaluasi penjabat kepala daerah yakni pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Dari 58 penjabat kepala daerah yang dievaluasi, ada satu yang sudah diganti dan 10 penjabat kepala daerah dengan nilai rendah.
“Dari 58 yang sudah kami evaluasi, ada satu yang sudah kami justifikasi langsung penggantian. Jadi, penjabat kepala daerah bupati Tapanuli Tengah hari Senin yang lalu sudah kita ganti. Masalahnya dari tiga aspek itu dan kemudian pimpinan sepakat dilakukan penggantian. Langsung sudah ada penggantian,” kata Teguh dalam diskusi yang diselenggarakan oleh klaster riset Policy, Governance, and Administrave Reforms Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Kamis (17/11/2022).
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Rapat koordinasi penjabat kepala daerah di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (16/6/2022). Kementerian Dalam Negeri tengah menyiapkan aturan teknis pemilihan penjabat kepala daerah untuk gelombang selanjutnya yang dimulai pada Juli 2022.
Hadir juga sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut Wali Kota Bogor Bima Arya; Penjabat Bupati Banggai Kepulauan Ihsan Basir; anggota Ombudsman RI, Robert Endi Jaweng; dan peneliti politik senior Badan Riset dan Inovasi Nasional Siti Zuhro.
Teguh mengatakan, 10 penjabat kepala daerah (kada) dengan nilai rendah tersebut akan mendapatkan perhatian ekstra untuk dievaluasi pada triwulan kedua. Beberapa data lainnya, antara lain sebanyak 8 penjabat kada yang dianggap belum melakukan upaya konkret dalam mengatasi persoalan kesehatan, 7 penjabat belum memenuhi program dan anggaran untuk penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, 10 penjabat belum memperbaiki pelayanan publik, serta 8 penjabat belum melakukan upaya dan menjaga persatuan dan kesatuan.
Sebanyak 7 penjabat kepala daerah belum menjalin koordinasi dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, 13 penjabat yang belum mengalokasikan anggaran dan realisasi dana hibah untuk Pemilu 2024, 9 penjabat yang terlambat dalam penyampaian rancangan perda tentang APBD, 17 penjabat belum mengambil langkah konkret dalam melaksanakan reformasi birokrasi, dan 29 penjabat yang nilai Monitoring Center for Prevention yang dikembangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi rendah.
Teguh mengatakan, evaluasi yang dilakukan Kemendagri bukan hanya untuk mengawasi pelaksanaan tugas penjabat kada, tetapi juga pembinaan. Para penjabat kepala daerah didampingi dan dievaluasi setiap tiga bulan untuk didiskusikan permasalahan yang dihadapi. Mereka didampingi kalau ada masalah di daerah masing-masing.
KOMPAS/DHANANG DAVID ARITONANG
Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng
Robert Endi Jaweng mengatakan, proses pengangkatan penjabat kepala daerah tidak terlepas dari rekrutmennya. “Kalaupun hasil kinerja kompetensi mereka saat menjabat bagus, bukan berarti proses pengangkatannya kami anggap selesai,” kata Robert.
Sebagai negara hukum, kata Robert, ketaatan kepada tata pemerintahan harus jelas. Salah satunya, seperti standar regulasi turunan yang diinginkan Mahkamah Konstitusi dan Ombudsman dalam pengangkatan penjabat kepala daerah sampai sekarang belum ada. Evaluasi tak bisa menggunakan aturan lama. Apalagi para penjabat kepala daerah saat ini bekerja tidak hanya dalam waktu beberapa bulan saja.
Ia menegaskan, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tidak bisa dipakai untuk mengevaluasi kinerja penjabat. Seharusnya ada aturan baru yang mencakup syarat kualifikasi yang dibutuhkan hingga aspirasi lokal.
Siti Zuhro sudah mengingatkan, saat pengangkatan penjabat kepala daerah pentingnya legitimasi, kompetensi, dan akuntabilitas terkait dengan pemerintahan yang baik.
“Muncul kewaswasan. Jangankan penunjukan top down, dari bottom up saja dari perkembangannya ternyata kepala daerah yang absah memenangkan Pilkada tidak mendapat kepercayaan masyarakat. Ini tidak dipertimbangkan secara teliti,” kata Siti.
Menurut Siti, evaluasi yang dilakukan Kemendagri memperlihatkan sebagian besar kinerja penjabat kepala darah kurang memuaskan. Ini menjadi alarm bagi mekanisme pengangkatan penjabat kepala daerah. Risiko dalam pengangkatan penjabat kepala daerah adalah bagaimana mengatur secara detail dalam merekrut seorang penjabat yang dipercaya rakyat, memiliki hubungan baik dengan DPRD, memahami konsep tata kelola pemerintahan, dan penguasaan wilayah.
Bima Arya mengungkapkan, sekretaris daerah (sekda) paling ideal menjadi penjabat kepala daerah. Sebab, mereka sudah paham dengan wilayahnya. “Kalau bukan sekda, itu kembali lagi dari nol. Beberapa daerah sangat mengejutkan karena (penjabat kepala daerah) tidak mempunyai ikatan yang emosional,” ujarnya.
Menurut Bima, seharusnya suara DPRD didengar. Sebab, kepala daerah harus menjalin komunikasi dengan mereka.