Penghormatan di Perhelatan G20
Di sela KTT G20 di Bali, Presiden Joko Widodo memberi penghormatan kepada mantan presiden-wapres. Mereka tak hanya bertemu, tetapi juga berbincang. Pesan adem dari hajatan besar menjelang Pemilu 2024.
Dari sekian banyak agenda dalam rangkaian perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, sejak 15 November 2022, ada satu momen yang menyita perhatian publik. Peristiwa dimaksud adalah ketika beberapa mantan presiden dan wakil presiden di negeri ini duduk mengelilingi sebuah meja bundar dan berbaur dengan 17 kepala negara peserta G20 lainnya jelang jamuan makan malam di Garuda Wisnu Kencana, Selasa (15/11/2022).
Dari foto yang beredar, tampak Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri duduk berhadapan, semeja dengan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Demikian pula Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno, Wapres ke-9 Hamzah Haz, dan Wapres ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK), duduk berdampingan. Putri Megawati, Ketua DPR Puan Maharani, pun tampak diapit Hamzah Haz dan Try Sutrisno di meja tersebut.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Suasana cair
Hamzah Haz bersama istrinya tercatat datang pertama ke acara itu dan duduk di meja bundar. Lalu, Try Sustrino dan istrinya menyusul. JK dan istrinya datang yang ketiga. Setelah itu baru SBY dan Megawati. Dari foto lainnya yang beredar, terlihat Mega dan SBY tidak bersalaman. Keduanya hanya memberi salam membungkuk dan memberi hormat (menjura/namaste).
"Setelah kami duduk, Pak Jokowi datang menyapa dan bersalaman dengan kami semua. Pak Jokowi berterima kasih atas dukungan kami. Kami semua ngobrol yang ringan-ringan saja”
”Setelah kami duduk, Pak Jokowi datang menyapa dan bersalaman dengan kami semua. Pak Jokowi berterima kasih atas dukungan kami. Kami semua ngobrol yang ringan-ringan saja,” tutur JK saat dikonfirmasi, Rabu. Sambil menunggu acara, JK bercerita semuanya saling berbincang. ”Suasananya cair,” kata JK.
Baca juga: KTT G20 Berakhir, Deklarasi Bali Soroti Perang Ukraina dan Dampaknya pada Ekonomi
Seusai mengobrol, sejumlah mantan presiden-wapres berpose bersama Presiden Jokowi dan ibu negara Nyonya Iriana. Di Instagram-nya, SBY tampak bertemu dan berfoto bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, serta bersalaman dengan Menhan Prabowo Subianto.
”Saat jamuan, saya dan istri duduk diapit oleh Presiden Rwanda dan Perdana Menteri Inggris,” tutur JK. Adapun Megawati diapit PM Italia dan istri Presiden Korsel. Sementara SBY diapit pemimpin Spanyol dan Singapura. Try diapit pemimpin Argentina dan wakil Brasil. Hamzah diapit pemimpin Inggris dan Afrika Selatan.Secara umum, JK menilai acara berlangsung lancar. ”Semoga bisa memberikan manfaat, terutama hentikan perang Rusia dan Ukrina,” kata JK berharap. Sayang para mantan presiden-wapres lainnya tak bisa memberi komentar. Try, kata stafnya, baru tiba dari Bali sehingga harus istirahat. Staf SBY dan Hamzah Haz yang dihubungi tak berkomentar.
Puan, melalui akun Instagram resminya, sempat pula berbagi video momen bersama Megawati dalam mobil menuju lokasi jamuan makan malam. ”Ini persiapan mau ikut berpartisipasi dalam undangan G20 oleh Presiden Jokowi,” kata Puan.
Menurut Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Benny Susetyo, foto duduk bersama di meja di sela KTT G20 memberikan pesan simbolik, kedamaian dan kesejukan jelang Pemilu 2024.
Bawa pesan damai
Sejumlah politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Demokrat menyambut positif pertemuan semeja Megawati dan SBY meski dilaporkan keduanya tidak saling berbicara saat duduk. Selain membawa pesan damai dalam kontestasi 2024 mendatang, pertemuan dua tokoh tersebut sekaligus menepis isu panas-dingin di antara keduanya.
Politisi PDI-P TB Hasanuddin enggan mengomentari lebih jauh pertemuan tak sengaja Megawati dan SBY. Namun, setidaknya, pertemuan itu menunjukkan tak ada sekat di antara para pemimpin negeri ini. ”Semua membawa suasana yang sejuk dan bisa berkumpul, ngobrol bersama,” katanya.
”Semua membawa suasana yang sejuk dan bisa berkumpul, ngobrol bersama”
Tak lain, para pemimpin negeri juga pasti punya harapan besar. Salah satunya, pemilu dan event-event nasional strategis ke depan bisa berlangsung aman, damai, dan memberikan kenyamanan.Politisi PDI-P Masinton Pasaribu menyebut pertemuan di antara para tokoh besar dalam satu meja, terutama Megawati dan SBY, sebetulnya merupakan momentum yang ditunggu-tunggu masyarakat. Nyatanya, para pemimpin dan elite-elite politik bisa duduk. ”Maka, di masyarakat jangan sampai terbawa suasana politik keterbelahan. Artinya bahwa politik itu suasana yang sangat dinamis. Perbedaan itu biasa,” ucap Masinton.
Adapun politisi PDI-P Junimart Girsang berpandangan, dengan pertemuan kemarin, Megawati ingin menunjukkan nilai solidaritas, perdamaian, serta persatuan dan kesatuan. Satu untuk semua, semua untuk satu. Ini pula yang menjadi cerminan dari nilai-nilai Pancasila.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Syarief Hasan mengungkapkan, SBY dan Megawati bisa duduk satu meja karena memang menuruti protokol kepanitiaan. Jika pun ada dialog di antara keduanya, menurut Syarief, itu hanya sebatas obrolan santai. ”Kalau ketemu begitu hanya bicara ringan-ringan. Tidak mungkin yang serius. Kalau serius, itu bilateral-lah,” ujarnya.
"Hubungan SBY dan Megawati sebenarnya baik-baik saja sehingga tidak ada sesuatu yang perlu dipertanyakan"
Syarief berpandangan, hubungan SBY dan Megawati sebenarnya baik-baik saja sehingga tidak ada sesuatu yang perlu dipertanyakan. Lagi pula, SBY selama ini juga sangat terbuka dan mengutamakan komunikasi yang baik dengan semua pihak. Saat ditanyakan, apakah artinya masalah di masa lalu sudah dilupakan, Syarief mengatakan, yang lalu biarlah berlalu. Jika memang ada masalah, hal itu tidak perlu diangkat lagi. Rivalitas yang pernah terjadi hanyalah sebatas kontestasi. Setelah itu, semua harus selesai.
Berkah bagi negeri
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya ketika dimintai pandangan, Rabu (16/11/2022) menuturkan bahwa makna yang dapat diambil dari momen duduk bersama itu memperlihatkan bahwa di level pengambil keputusan, atau katakanlah, sosok-sosok yang dianggap tetua di elit politik tidak mengalami konflik seperti yang terjadi di level pengurus partai di bawah, pemilih, atau netizen.
“Ini memperlihatkan wajah politik Indonesia sebetulnya, di episentrum kekuasaannya sendiri, baik-baik saja, harmonisasi masih terjadi. (Hal) yang membuat konfliktual adalah seringkali terjemahan, atau bagaimana cara para elit di bawah menerjemahkan, salah atau kemudian memang banyak provokator entah itu di netizen, kalangan politik yang memang ingin memanaskan suasana”
“Ini memperlihatkan wajah politik Indonesia sebetulnya, di episentrum kekuasaannya sendiri, baik-baik saja, harmonisasi masih terjadi. (Hal) yang membuat konfliktual adalah seringkali terjemahan, atau bagaimana cara para elit di bawah menerjemahkan, salah atau kemudian memang banyak provokator entah itu di netizen, kalangan politik yang memang ingin memanaskan suasana,” kata Yunarto.
Sementara itu di kalangan level pengambil keputusan ternyata mereka menunjukkan kedewasaan yang lebih matang. Yunarto mengharapkan momen-momen kebersamaan seperti ini akan lebih sering muncul.
“Kalau kita lihat respons ketika ada foto ini kan sangat positif, dari elite-elite Partai Demokrat atau PDI-Perjuangan. Artinya, memang kita membutuhkan lebih banyak momen seperti ini sebetulnya untuk kemudian bisa membangun harmonisasi kembali di tengah kontestasi yang makin memanas,” ujarnya.
Hal ini karena dengan sangat mudahnya ketika di level pengambil keputusan tertinggi menunjukkan ada kebersamaan, bahkan hanya lewat sebuah foto, responsnya juga sangat positif. “Itu akhirnya juga akan menjadi barrier atau penjaga bagi para elit yang masih aktif untuk kemudian lebih menahan diri,” kata Yunarto.
Makna harmonisasi
Secara lebih teknis, menurut Yunarto, mungkin ini juga kehebatan Presiden Joko Widodo di level tertinggi ataupun pihak panitia penyelenggara untuk memanfaatkan momen G20. Sehingga kemudian diatur secara teknis para tokoh dapat duduk satu meja untuk kemudian bisa memberikan makna harmonisasi.
“Harmonisasi yang tidak hanya muncul di kepala-kepala negara (G20) yang hadir, tetapi juga sebagai tuan rumah menunjukkan bahwa konstelasi politik internal ternyata memang masih ada pada skala yang dapat dikatakan dewasa,” ujarnya.
Apabila ditarik lagi, Yunarto menuturkan, salah satu keunggulan atau kelebihan seorang Jokowi – yang awalnya tidak punya latar belakang politik – ketika dia menjadi wali kota, gubernur, dan presiden adalah memiliki kemampuan di aspek soft diplomacy. “Bagaimana pendekatan diplomasi melalui lobi makan malam, makan siang, atau hal-hal yang sifatnya informal itu memang terbukti selama ini mencairkan situasi,” katanya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo memandang duduk satu mejanya Megawati dengan SBY merupakan momen langka. “(Peristiwa) ini momen langka dan sesuatu yang positif, sebenarnya, untuk bagaimana kebersamaan politik ini bisa berlanjut ke kerja sama politik,” ujarnya.
“Bagaimana pendekatan diplomasi melalui lobi makan malam, makan siang, atau hal-hal yang sifatnya informal itu memang terbukti selama ini mencairkan situasi”
Para tokoh yang duduk bersama dalam satu meja di sela KTT G20 ini, menurut Ari, merupakan sesuatu yang positif dalam membangun kebersamaan untuk dunia politik ke depan, terutama pada 2024. Kebersamaan elite yang duduk bersama ini baru simbolis, tinggal bagaimana nanti membangun dialog antarpartai.
“Tapi, kan, proses (pencapresan dari PDI-P) untuk (di) Bu Mega-nya juga masih panjang. Ini justru bagian dari diskursus di internal partai dan juga diskursus publik bagaimana mencoba menawarkan kandidat-kandidat potensial, entah itu Mbak Puan dan juga Mas Ganjar”
Ari memisalkan pembangunan dialog antara PDI-P dengan Demokrat. “Konkretnya itu nanti bagaimana kerja sama antarpartai. Atau, paling tidak, nanti tiada lagi sentimen sejarah antara Megawati dan SBY, misalnya. Itu bisa cair. Sehingga nanti di struktur partai dan juga di lapis bawah bisa membawa (suasana dialogis),” kata Ari.
Ari pun menyoroti keberadaan Puan Maharani yang duduk di meja para presiden dan wapres yang pernah menjabat di Indonesia tersebut. “Hal yang juga menarik, menurut saya, di meja itu ada mantan presiden, mantan wakil presiden, dan satu calon presiden ... he .. he .. he .. ada Mbak Puan di situ,” kata Ari.
Meski merupakan forum yang cair, Ari berpendapat bahwa keberadaan Puan Maharani tersebut juga menyiratkan pesan bahwa Puan sedang disiapkan untuk capres, tentu dengan semua proses penyiapan pra-elektoralnya. “Tapi, kan, proses (pencapresan dari PDI-P) untuk (di) Bu Mega-nya juga masih panjang. Ini justru bagian dari diskursus di internal partai dan juga diskursus publik bagaimana mencoba menawarkan kandidat-kandidat potensial, entah itu Mbak Puan dan juga Mas Ganjar,” ujar Ari.
Keduanya memiliki gaya masing-masing. “Mbak Puan menggunakan pendekatan struktural partai, simbolis dia dengan ibunya. Kalau Mas Ganjar lebih ke organik dengan menggunakan relawan dan pola pendekatan lain. Nah, tinggal nanti dari dua pola ini akan mengerucut ke mana untuk kemudian menarik membaca dinamika di PDI-P; yakni siapa yang diputuskan atau dipilih oleh Bu Mega untuk menjadi capres dari PDI-P,” kata Ari.