Dua Hakim Agung Tersangka Korupsi, Indikasi Penyakit Kronis di MA
Untuk mengatasi persoalan jual beli perkara di Mahkamah Agung diperlukan perubahan mendasar, mulai dari rekrutmen. Jangan ada lagi orang yang diterima hanya karena memiliki keluarga di dalam MA.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan dua hakim agung sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, dinilai menunjukkan adanya penyakit kronis di tubuh Mahkamah Agung, yaitu langgengnya jual beli perkara dan adanya mafia peradilan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, harus ada perubahan mendasar mulai dari rekrutmen hakim.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, apabila benar ada dua hakim agung yang menjadi tersangka suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA), itu menunjukkan korupsi di MA sistemik dan sangat akut.
”Ini tidak bisa dilokalisasi menjadi permasalahan individu, pribadi, atau mereka yang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka ditetapkan sebagai tersangka saja itu menunjukkan adanya penyakit kronis di tubuh MA, yaitu langgengnya jual beli perkara dan adanya mafia peradilan,” kata Zaenur.
Terlebih, kasus di MA tersebut melibatkan pelaku level bawah dari pegawai hingga level atas, yakni hakim agung. Hal tersebut menunjukkan bahwa operasi jual beli perkara bukan terjadi akhir-akhir ini saja. Ini menjadi penyakit lama yang gagal diberantas MA.
Untuk mengatasi persoalan tersebut harus ada perubahan mendasar mulai dari rekrutmen. ”Rekrutmen harus bersih. Jangan ada lagi orang-orang yang diterima hanya karena misalnya memiliki keluarga di dalam MA,” ujarnya.
Selain itu, pembinaan karier harus dilakukan secara profesional. Pembinaan karier harus didasarkan pada kinerja dan prestasi, bukan pada kedekatan dengan pejabat ataupun faktor lainnya, apalagi dalam bentuk uang.
Mantan hakim ad hoc tindak pidana korupsi pada MA, Krisna Harahap, mengungkapkan, banyak godaan menerpa MA sehingga hanya hakim agung berintegritas tinggi yang mampu menghindarinya. Karena itu, KY ataupun DPR harus mampu menemukan orang yang sudah selesai dengan dirinya.
”Tidak mudah memang. Karena itu, pertimbangan dia orang ’kita’ harus dibuang jauh-jauh,” kata Krisna.
Ia yakin, apabila KPK memiliki kemauan, mereka masih akan berhasil menjaring tangkapan baru. Meskipun demikian, MA adalah lembaga tinggi negara, tampuk kekuasaan yudikatif, yang harus dihormati kemandiriannya. Ruang hakim agung tidak boleh seenaknya diacak-acak.
”Advis blaad (pendapat hukum) hakim agung itu termasuk rahasia negara. Pendapat hakim agung yang harus dihormati oleh siapa pun, termasuk KPK. Jadi, KPK harus pintar-pintar melaksanakan tugasnya. Ikannya dapat, tetapi airnya tetap jernih,” kata Krisna.
Setelah penetapan tersangka Sudrajad, Juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, menyampaikan bahwa MA sudah mulai berbenah dan langsung mengambil langkah-langkah konkret.
Di antaranya, MA melakukan rotasi dan mutasi bagi aparatur peradilan yang bertugas di MA, termasuk para hakim yustisial/panitera pengganti, staf aparatur sipil negara, dan non-ASN. MA juga akan meningkatkan kinerja Satuan Tugas Khusus Pengawasan di lingkungan unit kerja MA.
Adapun Komisi Yudisial (KY) menolak menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan meski dua hakim agung yang menjadi tersangka merupakan rekrutmen KY. Perilaku menyimpang tersebut bisa terjadi karena berbagai faktor, yakni faktor sistem, faktor perilaku orangnya, atau juga faktor lingkungan.
Khusus KY, penyempurnaan proses seleksi hakim agung dan hakim ad hoc pada Mahkamah Agung terus dilakukan dari waktu ke waktu, baik dari sisi tahapan seleksi, pihak-pihak yang dicari, maupun dalam partisipasi publik.