Bagir Manan: ”Contempt of Court” Kental dengan Feodalisme
”Mungkin ada sisa-sisa feodalisme di mana ada elite yang mau perlindungan khusus. Menurut saya, jangan jadi pejabat publik kalau takut direndahkan,” kata mantan Ketua MA Bagir Manan soal ”contempt of court” di RKUHP.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengingatkan masih ada pasal-pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dapat mencederai demokrasi di Indonesia, seperti ancaman pidana bagi pihak yang merendahkan harkat martabat pemerintah dan pengadilan (contempt of court). Dia menyebut aturan itu kental dengan nuansa feodalisme.
”Mengenai hal menyerang harkat dan martabat pemerintah, apa yang menjadi cakupan harkat dan martabat? Ini mirip aturan haatzaai artikelen Belanda mengenai delik menyebarkan kebencian permusuhan. Ini menunjukkan materi muatan RKUHP sekadar memindahkan dari ketentuan di KUHP warisan kolonial,” kata Bagir Manan saat peluncuran bukunya yang bertajuk Problematika Pers dan Kualitas Demokrasi; Dari Konstitusi, UU ITE, sampai RUU KUHP, di Jakarta, Senin (14/11/2022).
Dalam RKUHP versi terbaru (9/11/2022), pemerintah antara lain memasukkan pasal mengenai contempt of court atau upaya merendahkan pengadilan di BAB 5 tentang Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan. Bagir mengaku menjadi salah satu pihak yang menentang adanya contempt of court karena dinilai kental dengan unsur feodalisme.
”Mungkin ada sisa-sisa feodalisme di mana ada elite yang mau perlindungan khusus. Menurut saya, jangan menjadi pejabat publik kalau takut direndahkan,” jelas Bagir.
Dihubungi terpisah, praktisi hukum Luhut Pangaribuan menjelaskan, pasal contempt of court menjadi salah ketentuan yang perlu menjadi evaluasi pemerintah, karena dapat menganggu kinerja advokat dan pers.
Ia mencontohkan, di Pasal 278 Huruf C RKUHP versi 9 November, disebutkan, setiap orang wajib mengantongi izin pengadilan apabila ingin memublikasikan proses persidangan secara langsung. ”Jadi repot kalau mau buat berita harus izin, mau live harus izin, kalau tidak? kena contempt of court. Bisa juga ada kesalahan menulis sesuatu yang kurang tepat dengan BAP (berita acara pemeriksaan) kena pidana. Yang kita butuhkan bukan contempt of court, tapi contempt of power, pengawasan terhadap potensi penyalahgunaan wewenang hakim di pengadilan,” kata Luhut Pengaribuan.
Yang dibutuhkan contempt of power, bukan contempt of court.
Lebih berat
Bagir Manan yang merupakan Ketua Mahkamah Agung periode 2001-2008 itu juga menyebut ancaman denda dan pidana yang diterapkan dalam RKUHP yang baru lebih berat dari KUHP sebelumnya. Padahal tindak pidana yang diatur sama. Hal ini juga membuat jumlah pasal di RKUHP menjadi lebih banyak dari KUHP terdahulu.
”Mengenai dua hal di atas, mungkin karena pendekatannya hukum pidana sebagai hukum yang memaksa, bukan pidana sebagai hukum yang mengatur,” ujarnya.
Bagian terbanyak materi substansi RKUHP sekadar memindahkan (adopsi) ketentuan yang telah diatur di KUHP warisan kolonial.
Ia berharap agar ketentuan-ketentuan diatur dengan baik, agar tak merugikan masyarakat dan pers. Ia menyebut, demokrasi tidak boleh hanya sekadar prosedural, tapi juga substantif. ”Secara prosedur, RKUHP sudah benar, dibawa pemerintah, dibahas di DPR, secara prosedur sudah benar, tapi belum tentu dengan substansinya,” tanya Bagir.
Luhut Pangaribuan juga menuturkan, banyaknya pasal di RKUHP terjadi karena dua penyebab, yaitu kriminalisasi dan konsolidasi. Lewat konsolidasi, pemerintah memasukkan pidana yang diatur di undang-undang lain, seperti kekerasan rumah tangga, lingkungan hidup, korupsi, dan penodaan agama ke dalam RKUHP. Sementara itu, lewat kriminalisasi, pemerintah mengatur hal yang sebelumnya tidak dapat dipidana menjadi bisa dipidana.
”Dua hal ini yang membuat RKUHP membengkak jumlah pasal-pasalnya, kriminalisasinya juga lebih banyak dari yang di kolonial. Tujuan dekolonisasi kesannya jadi inkonsisten,” tuturnya.
Padahal, salah satu tujuan dari revisi KUHP adalah dekolonisasi. Dalam tulisannya di Kompas (28/07/2022), Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Hiariej menjelaskan, pemerintah memaknai dekolonisasi sebagai upaya menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP yang masih berlaku.
Kebebasan pers
Dalam peluncuran buku Bagir Manan, Pelaksana Tugas Ketua Dewan Pers Agung Dharmajaya menjelaskan, pihaknya mendukung pembahasan RKUHP, tetapi ia mengingatkan, agar aturan-aturan di dalamnya tidak mengganggu kebebasan pers. Ia menyebut, apabila pembatasan pers dilakukan, berita yang diterima oleh masyarakat menjadi tidak terang dan akhirnya merugikan masyarakat sendiri.
”Kalau persnya dibatasi dengan aturan-aturan yang ada, menulis begini ada aturannya, menulis begitu ada aturannya, walaupun tetap menulis itu ada rambu-rambu etik jurnalistik. Bukan pers tidak mau diatur, tapi ada aturannya sendiri (UU Pers),” terangnya.
Ia sekaligus mengapresiasi buku terbitan Bagir Manan yang dinilai memberi sumbangsih besar bagi perkembangan pers dan hukum-hukum yang mengikatnya.