Merawat Pemikiran Buya Syafii tentang Indonesia Milik Bersama
Salah satu warisan pemikiran Buya Syafii Maarif ialah komitmennya tentang Indonesia milik bersama. Pemikiran tersebut harus terus dipelihara, khususnya jelang perhelatan politik yang rawan terjadi politik identitas.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua PP Muhammadiyah, saat memberikan pidato dalam acara Silaturami Keluarga Besar Muhammadiyah di Yogyakarta, Rabu (5/6/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Pemikiran mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii tentang Indonesia milik bersama harus terus dipelihara, terutama menjelang perhelatan politik yang rawan menggunakan politik identitas demi meraih dukungan. Buya Syafii sangat cinta dengan iman dan agamanya, dan di saat yang sama bersikap terbuka dengan perbedaan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif bertajuk ”Islam, Kebhinekaan, dan Keadilan Sosial” di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah, yang disiarkan secara daring, Sabtu (12/11/2022), menyampaikan, salah satu warisan pemikiran Buya Syafii Maarif, yakni komitmennya tentang Indonesia milik bersama. Indonesia bukan segelintir kroni atau golongan.
Haedar berharap ada rekonstruksi dari kritik-kritik Buya Syafii terhadap kebangsaan atau keagamaan dan membangun kembali hal-hal yang Buya Syafii perjuangkan tentang Indonesia milik bersama. Haedar pun menegaskan, Indonesia bukan sekadar nama, melainkan sebuah identitas diri yang mengandung pergulatan sejarah, politik, ideologi, dan budaya yang penuh warna menuju cita-cita Indonesia merdeka. Semua arus pergumulan sejarah yang panjang dan dinamis itu hadir untuk pembentukan Indonesia sebagai milik bersama.
”Ada ikatan untuk sebuah cita-cita yang sama, ada ikatan melakukan akumulasi mozaik sejarah yang kemudian menjadi modal Indonesia merdeka. Pelembagaan ini jadi semakin kuat menjadi sebuah dasar konstitusi dalam proses dialektika yang luar biasa tajam,” ujar Haedar.
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam sesi wawancara dengan awak media di Dome Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, Jawa Timur, Senin (2/9/2019).
Haedar mengatakan, Indonesia lahir dari keinginan untuk bersatu. Ketika bangsa Indonesia yang bineka itu bersatu, hal itu terjadi karena ada nilai perekat yang disepakati bersama, yakni Pancasila.
Umat Islam selaku mayoritas memiliki peran dalam integrasi sosial di tubuh bangsa ini. Karena itu, Haedar menegaskan bahwa sesungguhnya agama dapat menjadi kekuatan kohesi nasional.
Umat Islam selaku mayoritas memiliki peran dalam integrasi sosial di tubuh bangsa ini.
Ia juga mengingatkan akan bahaya pembelahan politik pada 2024 melalui politik identitas yang direproduksi untuk kepentingan politik yang keras. Haedar menyoroti tokoh politik yang datang ke pesantren menjelang pemilu. Perbuatan tersebut justru akan merawat politik identitas karena adanya keterbatasan pemikiran para tokoh politik ataupun organisasi kemasyarakatan.
Menurut Haedar, ketika pemilu selesai, cukup melakukan deklarasi dan membuka lembaran baru untuk hidup bersama. Hal tersebut dilakukan bukan hanya untuk formalitas, melainkan juga dalam mengelola kekuasaan.
Para pemimpin yang terpilih harus bersikap adil, termasuk terhadap pihak yang menentang dan berbeda. Ia menegaskan, upaya tersebut jauh lebih penting daripada sibuk dengan berbagai macam teori politik identitas.
Keadilan sosial
Direktur Eksekutif Maarif Institute Abdul Rahim Ghazali menambahkan, menjelang perhelatan politik biasanya politisi memanfaatkan berbagai macam isu, termasuk agama untuk meraih dukungan. Ia menegaskan, pemikiran Buya Syafii harus dipelihara karena potensi terjadinya konflik sangat besar.
Sebagai tokoh intelektual Muslim, Buya Syafii selalu menggaungkan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan keislaman. Namun, pada hakikatnya, Abdul melihat Buya Syafii menjadi Indonesia dan pengamal kemanusiaan yang baik. ”Di banyak tempat, beliau menekankan keadilan sosial,” ujarnya.
Ia menambahkan, keadilan sosial menjadi sangat penting selama kemiskinan masih merajalela. Buya Syafii menekankan pada pemberantasan korupsi karena korupsi menjadi salah satu penyebab keadilan sosial terabaikan.
(Dari kiri ke kanan) Pendiri Centre for Strategic and International Studies Harry Tjan Silalahi, Gregorius Soetomo SJ, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta Prof Masykuri Abdillah, dan Prof Azyumardi Azra, salah satu pembimbing Soetomo, berfoto seusai promosi doktor bagi Soetomo di Sekolah Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (24/5).
Koordinator Dialog dengan Muslim di Jesuit Conference of Asia Pacific Manila, Filipina, Gregorius Soetomo menyampaikan bagaimana Buya Syafii bisa memiliki pemikiran sampai pada inklusivitas, kesetaraan, dan persaudaraan lintas batas. Sebab, agama adalah eksklusif dan mempunyai komunitas tersendiri. Menurut pastor Gereja Katolik tersebut, memahami pemikiran Buya Syafii bukan hanya soal intelektual, melainkan juga perjalanan iman.
”Perjalanan iman dan kemudian ada pedagogi tersendiri bagaimana orang sampai pada terbentuk bahwa kita agama yang kerap kali dianggap sebagai persis berlawanan dengan tiga term ini. Inklusif atau eksklusif ini, setara atau pada dasarnya kita tidak setara, saya lebih tinggi daripada kamu begitu, kan. Bersaudara ya boleh, kita tidak perlu. Tetapi, pada dasarnya kami punya komunitas tersendiri. Itu butuh sebuah pedagogi,” ujarnya.
Gagasan Buya Syafii sebagai pluralitas dan membangun masyarakat yang inklusif.
Ia menginterpretasikan gagasan Buya Syafii sebagai pluralitas dan membangun masyarakat yang inklusif. Bahkan, Buya Syafii mau terjun ke masyarakat secara konkret.
Dari tulisan Buya Syafii, Soetomo melihat bahwa Buya Syafii adalah seorang yang sangat cinta dengan iman dan agamanya. Namun, di sisi lain, ia terbuka dengan agama lain dan perbedaan. Berdasarkan pemahaman tersebut, Soetomo memahami arti inklusivitas, kesetaraan, dan persaudaraan lintas batas.