Kegusaran yang Tak Kunjung Sirna dari RKUHP
Pemerintah telah berulang kali mereformulasi pasal di RKUHP, bahkan menghapus sejumlah pasal, sesuai aspirasi publik. Namun, kegusaran publik atas sejumlah pasal tak kunjung sirna. Masih ada waktu untuk memperbaikinya.
Ilustrasi
Draf penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diserahkan pemerintah kepada Komisi III DPR. Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berencana agar RKUHP selesai disetujui pada tingkat pertama atau dengan Komisi III DPR, 22 November 2022.
Meski demikian, kesempatan dan akses masyarakat untuk memberikan pertanyaan, masukan, kritik, termasuk ketidaksetujuan tetap terbuka. Sebab, publik memiliki hak untuk didengarkan, hak untuk dijelaskan, dan hak untuk dipertimbangkan.
Hal itu setidaknya terlihat dalam acara sosialisasi RKUHP oleh Kemenkumham bertajuk ”Kumham Goes to Campus”, di Universitas Udayana, Bali, Jumat (11/11/2022). Di dalam forum tersebut hadir Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej. Selain itu, hadir pula beberapa narasumber lain, yakni anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Arteria Dahlan; Staf Ahli Menkumham Y Ambeg Paramarta; Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Marcus Priyo Gunarto; anggota Tim Pembahasan dan Sosialisasi RKUHP, Albert Aries; serta pengajar Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar.
Dalam kesempatan itu salah seorang mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Indira Amanda, bertanya mengenai pasal tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 218 RKUHP. Ia mempertanyakan parameter dari yang disebut sebagai penghinaan. ”Parameter hinaan sendiri seperti apa dan apa kategorinya? Ketika penghinaan menimbulkan kerusuhan itu kerusuhan yang seperti apa? Kerusuhan di medsos atau di jalan?” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan penerapan pasal tersebut yang dicontohkan dengan penggunaan kata kasar atau tidak senonoh. Namun, Indira mempertanyakan batasan dari kata kasar. Sebab, baginya, batasan kata kasar juga bervariatif.
Dalam kesempatan itu Indira mengingatkan bahwa sosialisasi RKUHP seharusnya dilakukan tidak hanya bagi mahasiswa di kampus, tetapi terlebih bagi aparat penegak hukum. Sebab, di lapangan, penegak hukumlah yang mengendalikan proses hukum.
Masih di forum tersebut, mahasiswa Universitas Udayana lainnya bernama Fajar menyuarakan kegusarannya bahwa Pasal 218 tersebut merupakan cara penguasa membungkam kebebasan berekspresi. Ia pun mempertanyakan rencana pengesahan RKUHP yang dinilainya tergesa-gesa.
Fajar mengingatkan bahwa pada 2019 terjadi unjuk rasa besar-besaran di banyak kota yang menentang pengesahan RKUHP. Bahkan, ia mempertanyakan forum sosialisasi di Universitas Udayana yang dinilainya sebagai upaya ”menjinakkan” mahasiswa. ”Apakah acara ini untuk membungkam teman-teman mahasiswa?” ujarnya.
Baca juga: Sudah 59 Tahun Dibahas, RKUHP Diharap Disahkan Bulan Depan
Selain Indira dan Fajar, terdapat enam mahasiswa lain yang mendapat kesempatan mengajukan pertanyaan ataupun keluhan langsung ditujukan ke Wakil Menkumham. Ada yang menyinggung soal hukum yang mendapat stigma tidak adil, kemudian kelemahan dari RKUHP, hingga pelaksanaan hukuman mati. Selain itu, dipertanyakan pula batas dari pemberlakuan hukum yang dianut dan berlaku di masyarakat (living law).
Terhadap berbagai pernyataan atau pertanyaan tersebut, Eddy menilai itu semua sebagai bentuk kekritisan terhadap RKUHP. Menurut dia, tidak mudah menyusun RKUHP karena Indonesia adalah negara multietnis, multireligi, serta multikultur. Dengan demikian, lanjut dia, setiap formulasi pasal bisa diperdebatkan.
”Jadi, kita mencari yang mengakomodasi, mencoba mencari jalan tengah, mencari apa yang kita sebut dengan istilah Indonesian way,” kata Eddy.
Menjawab pertanyaan tentang penyerangan harkat dan martabat presiden atau wakil presiden, Eddy menjelaskan, dalam bagian penjelasan pasal terkait di RKUHP telah diterangkan bahwa keberadaan pasal tidak dimaksudkan untuk merintangi kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat yang diwujudkan antara lain dalam unjuk rasa. Dengan kata lain, pasal tersebut juga sekaligus melegalkan unjuk rasa. ”Ini untuk membedakan antara kritik dengan penyerangan harkat dan martabat. Penyerangan itu menghina dan menista,” ujar Eddy.
Baca juga: Pasal Hukum Adat dan Makar di RKUHP Kembali Dipertanyakan
Eddy menuturkan, tim ahli RKUHP pernah dipanggil Presiden Joko Widodo, dan dalam pertemuan, Presiden mengatakan bahwa ia tidak masalah jika dihina. Namun, tim ahli menerangkan bahwa pasal itu bukan mengenai personal seorang Joko Widodo, melainkan persoalan martabat kepala negara dan wakilnya.
Jika membandingkan hukum pidana antara satu negara dan yang lain, lanjut Eddy, ada tindak pidana yang berlaku universal, sementara ada yang bersifat khas negara tertentu. Salah satunya adalah delik politik yang di tiap-tiap negara berbeda aturannya. Hal lainnya adalah delik kesusilaan; di suatu negara diatur sebagai hal yang legal, sementara di Indonesia adalah ilegal.
Oleh karena itu, menurut Eddy, ada kejahatan tertentu yang memang berbeda dan tidak bisa dibandingkan antara satu negara dan negara lain. Sebab, aturan semacam itu berasal dari budaya dan latar belakang masyarakat di tiap-tiap negara yang berbeda-beda.
Selain itu, dalam draf RKUHP per 9 November, pemerintah telah menghapus lima pasal sebagaimana masukan dari berbagai elemen masyarakat. Kelimanya adalah pasal mengenai advokat curang, praktik dokter dan dokter gigi curang, penggelandangan, unggas dan ternak, serta pidana kehutanan dan lingkungan hidup.
Baca juga: Pasal Penyerangan Martabat Presiden Memperoleh Sorotan
Arteria Dahlan juga menekankan pasal penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden atau wapres tidak terkait dengan pembungkaman kebebasan berekspresi. Namun, yang kerap menjadi persoalan selama ini, kata-kata yang tidak lazim digunakan untuk menyerang kehormatan penguasa. Hal ini justru bukan bagian dari demokrasi. ”Kami mohon adik-adik, saya juga aktivis, tapi kita terukur, hormati semua. Itu adalah demokrasi, bukan (berarti) hina semua halal. Basis demokrasi adalah penghormatan,” ujarnya.
RKUHP, ditegaskannya, disusun agar tidak ada lagi multitafsir atau perbedaan persepsi atas suatu tindak pidana. Selain itu, RKUHP disusun dengan berdasarkan nilai yang dianut dalam bangsa. Dengan demikian, ada delik pidana yang memang tidak bisa dibandingkan dengan negara lain.
Belum puas
Meski sejumlah masukan terkait Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana sudah diakomodasi oleh tim perumus pemerintah, sebagian kalangan belum puas.
Salah satunya seperti diutarakan peneliti Amnesty International Indonesia, Zaky Yamani. Menurut dia, terdapat pasal yang secara substansial tidak berubah, antara lain pasal tentang penyerangan harkat martabat presiden/wapres dan penghinaan terhadap pemerintah. Di bagian penjelasan Pasal 218 Ayat (1) didefinisikan yang dimaksud dengan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri adalah merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah. Pada Ayat (2) terdapat pengecualian, yakni jika dilakukan untuk kepentingan umum. Pada bagian penjelasan, pengertian ”kepentingan umum” dijelaskan lebih panjang, yakni melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi seperti unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden/wapres.
Baca juga: Aliansi Masyarakat Sipil Perjuangkan Perubahan Pasal Bermasalah di DPR
Diuraikan pula yang dimaksud dengan kritik sebagai sesuatu yang penting dalam kebebasan berekspresi, tetapi sedapat mungkin harus bersifat konstruktif. Kritik dipandang sebagai bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Menurut Zaky, pengaturan yang dibuat pemerintah dan tim perumus RKUHP tersebut masih membuka peluang terjadinya pembungkaman kritik dan kebebasan berekspresi serta berpendapat. Berkaitan dengan hal tersebut, Amnesty International dan masyarakat sipil tetap meminta hal tersebut dihapuskan.
”Pemerintah mengklaim bahwa draf tersebut (versi 9 November) sudah mengakomodisai dari masyarakat sipil. Tapi, kalau kita baca, sangat sedikit masukan dari kami yang diakomodasi di dalam draf RKUHP tersebut, dan lebih banyak diakomodasi di bagian penjelasan saja. Bukan di materi. Jadi, harapan kami satu-satunya kini di DPR. Semoga DPR cukup kritis untuk melihat pasal demi pasal terutama dengan mendasarkan pada kepentingan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak akan kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul,” paparnya.
Selain itu, ia mempertanyakan definisi kepentingan umum yang dipakai oleh pemerintah. Perlu ada penegasan dengan apa yang ada dalam koridor ”kepentingan umum”. Apalagi, kritik juga bisa bersifat pribadi. Pihaknya juga mengkritik delik penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat kepala negara sahabat dan wakil negara sahabat yang diancam pidana paling lama 2 tahun atau denda paling banyak kategori III (Pasal 226 dan 227). Menurut Zaky, ketentuan tersebut terlalu berlebihan.
Baca juga: Gaduh di Ruang Sidang Diancam Pidana Penjara 6 Bulan
Begitu pula dengan pasal penghinaan terhadap pemerintah dan penguasa umum. Menurut Zaky, pasal tersebut dapat memicu interpretasi yang beragam dari aparat penegak hukum. ”Jadi, bukan kami ramai-ramai mengkritik atau nyinyir tanpa alasan. Ini ada presedennya. Kan, banyak misalnya UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Dulu kita mengkritik juga UU ITE, sampai sekarang sudah 800 lebih korban UU ITE yang tercatat,” katanya.
Ia berharap RKUHP bukan menjadi alat membungkam kritik. RKUHP diharapkan tidak mengulang pengalaman UU ITE yang kini banyak mengantarkan warga ke balik jeruji besi.
Selain pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wapres, pasal makar di RKUHP yang definisinya tidak berubah sama sekali juga dikritiknya. Masyarakat sipil sebelumnya mengusulkan agar kata makar didefinisikan sesuai istilah aslinya dalam bahasa Belanda yang artinya adalah serangan dengan kekerasan.
Pasal makar diatur di Pasal 193 RKUHP. Disebutkan, perbuatan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Penjelasan pasal tersebut berbunyi, menggulingkan pemerintah adalah meniadakan atau mengubah susunan pemerintah dengan cara yang tidak sah menurut UUD 1945.
”Kalau definisinya diubah, kan lebih masuk akal. Karena yang dipidana itu tindak kekerasannya, bukan idenya. Kan, kita tidak mungkin memenjarakan ide. Yah, katakanlah kalau sebagian saudara kita di Papua menginginkan merdeka, kalau mereka tidak melakukannya dengan kekerasan, kan tidak apa-apa. Itu hanya ide. Kecuali kalau sudah angkat senjata, itu persoalan lain,” ungkapnya.
Suarakan
Dalam forum sosialisasi di Universitas Udayana, Zainal mengingatkan bahwa pembentukan sebuah undang-undang tidak bisa dilepaskan dari politik hukum dan dari tarik-menarik kepentingan dengan melibatkan kerja teknokratik dan kerja partisipatif dari masyarakat. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan RKUHP juga penting.
Zainal berharap agar publik, termasuk para mahasiswa, tidak ragu untuk menyampaikan aspirasi, kritik, dan argumentasi kepada pemerintah dan DPR. Sebab, publik memiliki hak untuk didengarkan, dijelaskan, serta dipertimbangkan. Sementara persoalan masukan atau kritik tersebut diakomodasi atau tidak oleh pemerintah merupakan hal lain. ”Paling tidak Anda memberikan analisis terbaik Anda, memberikan catatan terbaik Anda, dan menagih penjelasan kepada negara atas catatan Anda,” kata Zainal.
Pengesahan RKUHP menjadi undang-undang mungkin tinggal selangkah. Namun, aspirasi publik tidak bisa dibatasi. Maka, suarakanlah.