Salah Tentukan Figur Capres-Cawapres Bisa Jadi Bumerang bagi Parpol
Pendiri dan Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, Hanta Yuda, di Jakarta, Rabu, mengatakan, ada konsekuensi politik pada kandidasi sehingga parpol atau gabungan parpol tidak ingin terburu-buru mengusung capres.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik dinilai lebih berhati-hati dalam penentuan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden karena setiap pilihan selalu ada konsekuensi politiknya. Apalagi, ini mengingat penyelenggaraan pemilu pada 2024 dilakukan secara serentak. Jika partai salah perhitungan politik dan tidak sesuai keinginan publik, bisa menjadi bumerang bagi parpol itu sendiri.
Sejauh ini, belum ada satu pasangan kandidat pun yang mengantongi tiket mengikuti Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, misalnya, belum sepenuhnya memiliki tiket ke pilpres karena Partai Nasdem yang telah mendeklarasikannya sebagai bakal capres belum memenuhi syarat pencalonan presiden.
Begitu pula Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang telah ditetapkan sebagai bakal capres oleh partai masing-masing, belum bisa maju pilpres. Sebab, meski sudah memutuskan berkoalisi, kedua partai itu pun hingga kini belum menetapkan bakal capres-cawapres bersama.
Sementara Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang sudah berkoalisi dan memegang tiket pilpres, belum juga menetapkan bakal capres-cawapres.
Pendiri dan Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (9/11/2022), mengatakan, ada konsekuensi politik pada kandidasi sehingga parpol atau gabungan parpol tidak ingin terburu-buru mengusung capres-cawapres. Perhitungan politiknya harus tepat karena capres-cawapres hanya diisi oleh dua orang saja.
"Ada konsekuensi politik pada kandidasi sehingga parpol atau gabungan parpol tidak ingin terburu-buru mengusung capres-cawapres. Perhitungan politiknya harus tepat karena capres-cawapres hanya diisi oleh dua orang saja"
Selain itu, perhitungan politik ini penting karena penentuan capres-cawapres memiliki konsekuensi pada pilpres dan pileg serentak. Pada pilpres, para parpol pengusung berteman dan bekerja keras memenangkan pasangan capres-cawapres. Namun, di saat bersamaan mereka harus berkompetisi pada pileg.
Di sisi lain, penentuan pasangan capres-cawapres harus tepat karena sangat berpengaruh pada popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas parpol juga. Jika parpol mengusung nama dengan elektabilitas tinggi, parpol akan mendapat efek ekor jas (coattail effect) dari pasangan yang didukung. Basis capres-cawapres bisa dimaksimalkan untuk diambil sebagai basis suara parpol.
“Jadi, parpol harus berhati-hati dalam memberikan tiket. Tiket yang diberikan harus dihitung secara matang dan membawa dampak bagi kepentingan parpol itu sendiri. Salah menentukan figur yang diusung, tidak sesuai dengan keinginan publik, bisa bumerang bagi parpol itu sendiri. Karena pentingnya penentuan capres-cawapres ini, bahkan parpol pengusung pun terkadang alot dalam mencari titik temu siapa yang akan diusung,” ujar Hanta.
Bukan dukungan
Di tengah kegamangan parpol maupun koalisi dalam menentukan pasangan capres-cawapres, Presiden Joko Widodo justru melempar sinyal dukungan kepada Prabowo di Pilpres 2024 mendatang. “Kelihatannya, setelah ini jatahnya Pak Prabowo,” kata Jokowi, saat memberikan sambutan pada perayaan Hari Ulang Tahun Ke-8 Partai Perindo di Jakarta, Senin (7/11).
Namun, Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menilai apa yang disampaikan Jokowi itu bukan merupakan sikap dukungan untuk Prabowo. Sebab, kemenangan di pilpres merupakan pilihan rakyat secara langsung.
“Capres-cawapres yang mendukung, kan, rakyat melalui dukungan 50 persen plus 1 dan harus tersebar di 20 provinsi. Semua kita tahu bahwa untuk menjadi presiden itu rakyat yang menentukan"
“Capres-cawapres yang mendukung, kan, rakyat melalui dukungan 50 persen plus 1 dan harus tersebar di 20 provinsi. Semua kita tahu bahwa untuk menjadi presiden itu rakyat yang menentukan," ucap Hasto.
Ketua DPP PDI-P Ahmad Basarah sependapat dengan Hasto. Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut Pilpres 2024 sebagai jatah Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, bukan merupakan sebuah dukungan. Menurutnya, Jokowi sebagai pemimpin negara hanya ingin menciptakan suasana psikologi politik bangsa yang lebih kondusif. Harapannya, Pilpres 2024 bisa dilakukan dengan penuh kegembiraan.
"Pak Jokowi, kan, selalu bilang politik dengan kegembiraan dan membuat senang orang-orang di sekitarnya dan siapa pun calon presiden yang akan maju di kontestasi Pilpres 2024 yang akan datang," kata Basarah.
Basarah mengaku, partainya tak khawatir soal pernyataan Presiden Jokowi kepada Prabowo tersebut. Pasalnya, Jokowi juga kerap mengungkapkan pujian kepada pihak lain, termasuk kepada PDIP-P.
”PDI Perjuangan juga sering dipuji oleh Pak Jokowi, ya, baik yang dipuji dalam forum terbuka ataupun forum tertutup, dan menurut saya, Pak Jokowi lebih banyak memuji PDI Perjuangan dalam beberapa kesempatan,” ujar Basarah.
Sekjen DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani menyanggah itu. Menurut Muzani, pernyataan Presiden bukan lagi sebuah sinyal, melainkan sebagai bentuk dukungan terhadap Prabowo dalam pencalonan presiden 2024 mendatang. Hal ini lantas menjadi dorongan besar bagi partai untuk terus bekerja besar memenangkan Prabowo.
“Saya kira, dukungan tidak otomatis disebut menang tetapi itu dorongan besar untuk memenangkan Prabowo. Karena itu, kami partai pengusung, ada Gerindra dan PKB, serta seluruh kekuatan di dalamnya harus bekerja keras, all out, untuk bisa memenangkan pertarungan pilpres,” ucap Muzani.
“Saya kira, dukungan tidak otomatis disebut menang tetapi itu dorongan besar untuk memenangkan Prabowo. Karena itu, kami partai pengusung, ada Gerindra dan PKB, serta seluruh kekuatan di dalamnya harus bekerja keras, ”all out untuk bisa memenangkan pertarungan pilpres"
Ia menyebut, hubungan baik antara Presiden Jokowi dengan Prabowo tidak serta-merta terjadi begitu saja. Ketika Jokowi dinyatakan menang dan Prabowo kalah di putaran pertama atau Pilpres 2014, misalnya, Prabowo tetap memberikan penghormatan yang tinggi atas proses demorkasi tersebut. Selama periode pertama itu, Gerindra terus menghargai pemerintahan meski dalam posisi oposisi.
Kemudian di putaran politik kedua, ketika Jokowi dinyatakan menang kembali atas Prabowo, Prabowo juga memberi hormat yang tinggi atas proses demokrasi itu. Bahkan, ketika proses politik terjadi, Prabowo ditawari bergabung dalam koalisi pemerintah dan menerimanya demi persatuan nasional.
“Semuanya itu terjadi kemudian ada sebuah proses-proses panjang sehingga persatuan nasional kerukunan, persahabatan, kekeluargaan yang terjadi secara nasional bisa terjaga sampai sekarang. Itu yang kemudian Pak Jokowi merasa bahwa proses politik ini, proses persatuan, terjadi juga karena ada keikhlasan, kelegawaan yang diberikan Pak Prabowo kepada proses pemerintahan ini dengan baik. Itu sebabnya barangkali Pak Jokowi menyampaikan dukungan kepada Pak Prabowo,” kata Muzani.