Brigadir J Sudah Tak Bernyawa Saat Dievakuasi dari Rumah Dinas Sambo
Jenazah Birgadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat tidak langsung dibawa ke kamar jenazah ketika tiba di RS Polri. Jasad Brigadir J dibawa ke IGD meski saat dibawa dari rumah dinas Ferdy Sambo, sudah tidak ada nadi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, Raynard Kristian Bonanio Pardede
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat sudah tidak bernyawa saat dievakuasi dari rumah dinas bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara RI Ferdy Sambo di Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan, 8 Juli lalu. Namun, saat tiba di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, jenazah Brigadir J tidak dibawa ke kamar jenazah, melainkan ke instalasi gawat darurat.
Hal itu diungkapkan Ahmad Syahrul Ramadhan, sopir ambulans yang membawa Brigadir J, saat memberikan kesaksian di depan persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (7/1/2022). Ahmad Syahrul dihadirkan sebagai saksi dalam sidang perkara dugaan pembununan berencana Nofriansyah dengan terdakwa Bhayangkara Dua Richard Eliezer, Brigadir Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf.
Dalam sidang yang dipimpin oleh hakim ketua Wahyu Iman Santosa itu, Ahmad Syahrul menceritakan kronologi penjemputan Nofriansyah pada 8 Juli. Ahmad Syahrul yang mengaku bekerja di PT Bintang Media menerima pesan untuk menjemput orang sakit berikut titik lokasi penjemputan pada pukul 19.08.
”Saya bersiap untuk menjemput ke lokasi. Saya belum tahu saat itu lokasinya, terus saya buka maps,” tutur Ahmad Syahrul menjawab pertanyaan hakim.
Tak berapa lama, sekitar pukul 19.13, Ahmad Syahrul mendapatkan pesan singkat melalui Whatsapp dari nomor tak dikenal menanyakan keberadaannya. Saksi pun mengaku diminta untuk berbagi lokasi selama perjalanan menuju titik penjemputan.
Dari rumah singgahnya di Pancoran Barat 7, Ahmad Syahrul menuju lokasi penjemputan di Jalan Duren Tiga melalui Tegal Parang. Ketika sampai di Rumah Sakit Siloam Duren Tiga, ada orang yang tidak dikenalnya mengetok kaca mobil dan memberitahu bahwa ia yang memesan ambulans. Ahmad kemudian mengikuti orang tak dikenal yang mengendarai sepeda motor tersebut.
”Lalu ia masuk ke dalam kompleks, ada gapura di situ. Ada salah satu anggota Provos, lalu saya distop, ditanya mau ke mana dan tujuan apa. Saya jelaskan ‘Permisi, Pak. Saya dapat arahan dari kantor saya untuk jemput di titik lokasi.' Saya kasih unjuk lihat. Lalu katanya, 'Ya sudah, Mas, nanti lurus saja ikuti, nanti diarahkan, minta tolong semua protokol ambulans dan sirene dimatikan,” ungkap Ahmad Syahrul.
Ketika sampai di titik penjemputan, ia diarahkan untuk parkir mobil di garasi dan mengeluarkan tandu, lalu masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah tersebut sudah ramai dan banyak kamera. Setelah diminta untuk membantu evakuasi, ia berjalan melewati garis polisi dan melihat sesosok jasad tergeletak berlumuran darah di samping tangga.
”Saya disuruh oleh salah satu anggota untuk cek nadinya. Saya cek, sudah tidak ada nadinya. Memang jasad sudah 'tidak ada' (meninggal), Yang Mulia,” kata Ahmad menjelaskan kepada hakim. Ia melihat jasad tersebut dalam posisi telentang dengan wajah ditutupi masker hitam.
Kepada hakim, Ahmad mengaku dibantu tiga-empat orang saat memasukkan jasad Nofriansyah ke kantong jenazah. Usai memasukkan jenazah Nofriansyah ke dalam mobil ambulans, ia menyalakan lampu rotator. Namun, ada yang memintanya untuk menunggu arahan.
”Lalu saya keluar dari garasi itu ke sebelah kiri mau jalan di situ ada mobil Provos sama Pajero. Saya di belakangnya. Lalu, ada salah satu anggota Provos turun bertanya, 'Kamu sama siapa, Mas?’ Izin Pak, saya sendiri. 'Oh, ya sudah nanti ditemani.' Akhirnya, saya ditemani salah satu Provos juga di dalam mobil. Lalu, kami jalan pelan-pelan ke depan kompleks. Jalan. Pas sudah di depan kompleks, saya keluar,” kata Ahmad, yang diminta membawa korban ke Rumah Sakit Polri.
Ketika sampai di Rumah Sakit Polri, jenazah tidak langsung dibawa ke kamar jenazah, tetapi ke instalasi gawat darurat (IGD). ”Dan, saya bertanya sama yang temani saya 'Pak, izin, kok ke IGD dulu? Biasanya kalau saya langsung ke kamar jenazah, ke forensik.' Dia bilang, 'Wah, saya enggak tahu, Mas. Saya ikuti perintah saja, saya enggak ngerti',” tuturnya.
Saya disuruh oleh salah satu anggota untuk cek nadinya. Saya cek, sudah tidak ada nadinya. Memang jasad sudah 'tidak ada' (meninggal), Yang Mulia.
Sampai di IGD, Ahmad melihat ruangan tersebut sudah ramai. Petugas RS Polri langsung datang dan menanyakan jumlah korban. Mendengar pertanyaan tersebut, Ahcmad bingung dan mengatakan hanya ada satu jenazah. Ia diarahkan untuk membawa jenazah ke kamar jenazah. Di kamar jenazah, Ahcmad melihat sudah ada beberapa anggota polisi, termasuk Provos.
Setelah meletakkan jenazah ke troli, Ahcmad pamit. Namun, ia malah diminta oleh polisi yang berjaga-jaga untuk menunggu di rumah sakit. Ia pun menunggu di masjid sampai menjelang subuh. Saat akan pulang setelah subuh, Ahmad diberi uang untuk biaya ambulans dan mencuci mobil.
Selain Ahmad, ada 11 saksi lain yang dijadwalkan memberikan keterangan persidangan. Namun selain Ahmad, hanya empat saksi yang hadir. Mereka adalah petugas swab di Smart Co Lab Nevi Afrilia dan Ishbah Azka Tilawah; Legal Counsel pada provider PT XL Axiata Viktor Kamang; serta Provider PT Telekomunikasi Seluler bagian officer security and Tech Compliance Support Bimantara Jayadiputro.
Saksi Nevi Afrilia megungkapkan, pada 8 Juli ia mendapatkan permintaan dari seorang bernama Ariyanto untuk melakukan tes usap kepada keluarga Ferdy Sambo. Nevi mengaku tidak mengetahui siapa dan apa jabatan dari Ariyanto. Namun, Nevi mengenal ketiga terdakwa karena sering menggunakan jasa tes dari Smart Co Lab sejak Januari 2022.
Setibanya di rumah Jalan Saguling, Nevi melakukan tes usap kepada istri Sambo, Putri Candrawathi; asisten rumah tangga (ART) Susi, Eliezer dan Nofriansyah yang baru saja tiba dari Magelang, Jawa Tengah. Dari hasil pemeriksaan, keempatnya dinyatakan negatif. Nevi sekaligus menegaskan, tidak ada Ferdy Sambo dalam pemeriksaan hari itu.
Dari keterangan saksi petugas kesehatan lain, Ishbah Tilawah, terungkap, Ferdy Sambo dan ajudannya, Daden Miftahul Haq, sudah menjalani tes usap di Mabes Polri sehari sebelumnya, 7 Juli 2022.
Sidang terpisah
Dalam persidangan, kuasa hukum Richard Eliezer, Ronny Tallapesy, meminta agar persidangan selanjutnya dilakukan secara terpisah mengingat krusialnya peran Eliezer sebagai justice collaborator. Ia menyebut, penggabungan tiga terdakwa dalam satu sidang membuat waktu bertanya bagi Eliezer menjadi terbatas.
”Kami harapkan agar persidangan dipisahkan, dan dikembalikan seperti yang semula, Yang Mulia,” ujar Ronny kepada majelis hakim.
Ronny juga menyebut, saksi yang dihadirkan kali ini tidak terlalu berkaitan dengan kliennya. Namun, ia tetap menghargai dan menghormati keputusan yang diambil oleh majelis hakim.
Hakim ketua Wahyu Iman Santoso menjelaskan, penggabungan tiga terdakwa sudah sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan sehingga penggabungan sidang ketiganya bisa dilakukan. ”Sampai nanti majelis menganggap tidak bisa berjalan, kami akan pisah dan periksa sendiri-sendiri, ya,” ucap Wahyu.
Sidang pemeriksaan saksi untuk terdakwa Richard Eliezer, Kuat Maaruf, dan Ricky Rizal akan dilanjutkan pada Senin (14/11/2022).