KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri kerap menutup informasi soal penetapan tersangka ke publik. Padahal, dengan diumumkan, publik bisa ikut mengawal serta mencegah adanya ”main mata” dalam penegakan hukum di KPK.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·6 menit baca
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri kerap menutup informasi soal penetapan tersangka ke publik. Dianggap krusial agar KPK bisa mengungkap seluruh pihak yang terlibat dalam satu kasus korupsi. Namun, di sisi lain, kebijakan itu justru berisiko membuka peluang ”main mata” antara penegak hukum di KPK dan pihak yang korupsi.
Desas-desus penetapan tersangka Hakim Agung Gazalba Saleh dalam kasus dugaan pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) ramai beredar di kalangan wartawan pada Rabu (9/11/2022) malam. Wartawan pun otomatis mencoba mengklarifikasi informasi itu ke sejumlah pihak di KPK.
Namun, baru pada Kamis siang, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri memberikan informasi. Ia menerangkan bahwa KPK tengah mengembangkan penyidikan baru pada perkara dugaan suap pengurusan perkara di MA setelah menemukan kecukupan alat bukti. ”Kami akan umumkan pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada saatnya nanti ketika penyidikan ini cukup,” kata Ali tanpa menyebut nama yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Tak puas dengan jawaban itu, wartawan terus mencoba menggali kebenaran informasi penetapan tersangka itu. Justru dari Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, informasi soal penetapan tersangka itu menjumpai titik terang. Ia membenarkan penetapan tersangka Gazalba. Ia lantas menyerahkan penetapan tersangka itu kepada KPK dan proses hukum selanjutnya.
Selang dua pekan sebelumnya, persisnya pada 24 Oktober, awak media juga dibuat riuh dengan kabar penetapan tersangka Bupati Bangkalan Abdul Latif Amin Imron. Pasalnya, kabar itu telah ramai dibicarakan di Bangkalan menyusul penggeledahan sejumlah ruang kerja di kantor Bupati Bangkalan oleh KPK.
Namun, saat ditanyakan ke sejumlah pihak di KPK, jawaban segera tak diperoleh. Justru saat ditanyakan ke pihak Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, ada indikasi kebenaran informasi tersebut karena mereka mengatakan Abdul Latif telah masuk daftar pencegahan bepergian ke luar negeri, bahkan berlaku sejak 13 Oktober.
Setelah penggeledahan dan pencegahan Abdul itu ramai diberitakan, baru pada 31 Oktober, KPK mengumumkan penetapan tersangka Abdul Latif dalam kasus dugaan jual beli jabatan.
Dalam penetapan tersangka Gubernur Papua Lukas Enembe, KPK juga tak segera memberitahukannya ke publik. Informasi awal penetapan tersangka justru disampaikan penasihat hukum Lukas, Roy Rening, 12 September. Pihak Imigrasi lantas menguatkan indikasi penetapan tersangka Lukas karena Lukas telah dicegah bepergian ke luar negeri sejak 7 September. Adapun KPK baru menyampaikan informasi penetapan tersangka Lukas pada 14 September.
Tak sebatas informasi soal penetapan tersangka Lukas, informasi terkait pemanggilan pemeriksaan Lukas ke kantor KPK dan pemeriksaan Lukas oleh KPK di Papua justru selalu disampaikan terlebih dahulu oleh tim kuasa hukum Lukas.
Penyidikan cukup
Tidak cepatnya informasi penetapan tersangka keluar dari KPK tak hanya beruntutan dalam dua bulan terakhir ini. Sejak awal kepemimpinan Firli pada 2019, hal itu berulang terjadi. Tak lain karena pimpinan KPK mengambil kebijakan untuk ”merahasiakan” penetapan tersangka. Kondisi ini berbeda dengan periode kepemimpinan KPK sebelumnya yang selalu terbuka menyampaikan ke publik soal siapa pun pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Tak terbukanya KPK itu pun pernah dikeluhkan awak media kepada pimpinan KPK saat kegiatan media gathering dengan pimpinan KPK di Bogor, Jawa Barat, pertengahan Oktober lalu. Namun, seusai pertemuan, tak ada yang berubah. KPK tetap dengan kebijakannya.
Dalam berbagai konferensi pers dan keterangan tertulis dari KPK, pimpinan ataupun juru bicara KPK mengatakan bahwa mereka baru akan mengumumkan rangkaian dugaan perbuatan pidana, pihak yang berstatus tersangka, dan pasal yang disangkakan setelah penyidikan cukup.
Selain itu, menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam kegiatan media gathering, pihaknya tak bisa menjawab pertanyaan seputar penyelidikan karena hal itu masuk pada kategori informasi di KPK yang belum boleh disampaikan ke publik.
Jurnalis, menurut dia, lebih baik memprioritaskan berita-berita yang mengedukasi masyarakat dari sisi pencegahan dan penindakan dengan menyampaikan informasi yang boleh dipublikasikan.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto menambahkan, informasi soal operasi tangkap tangan (OTT) KPK juga termasuk yang seharusnya tak diinformasikan ke publik. Ketika OTT disampaikan ke publik, pihak yang disasar bisa saja menghilangkan barang bukti. Kemudian, pada fase penyelidikan, KPK sengaja diam agar bisa menangkap semua pihak yang terlibat.
Dalam fase penyelidikan dan OTT, sejumlah pihak bisa menerima alasan KPK yang menutup diri untuk menginformasikannya ke publik. Namun, khusus kebijakan KPK dalam mengumumkan tersangka, alasan yang disampaikan pihak KPK tak bisa diterima.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengingatkan, transparansi penting sebagai sarana bagi kontrol dari publik. Ini khususnya dalam pengumuman status tersangka, dinilainya, sangat penting sehingga publik bisa ikut mengawasi.
”Kalau KPK sudah menetapkan seseorang menjadi tersangka, tetapi KPK tidak segera mengumumkan ke publik, maka menjadi celah ketiadaan kontrol publik terhadap kerja penindakan KPK,” ucapnya.
Eks penyidik KPK yang kini memimpin Indonesia Memanggil 57+ Institute, lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada isu-isu antikorupsi, Mochamad Praswad Nugraha, menambahkan, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik pun sudah menegaskan informasi yang harus diungkap ke publik dan sebaliknya dibolehkan untuk tak diungkap ke publik.
Sebagai contoh, informasi terkait siapa yang disadap, siapa yang akan digeledah, sampai dengan siapa yang akan ditangkap bersifat rahasia. Namun, informasi mengenai akuntabilitas proses penegakan hukum, seperti siapa tersangkanya dan kasus terkait apa, seharusnya diumumkan sebagai bagian dari proses transparansi dan pengawalan publik serta mencegah adanya ”main mata” dalam proses penegakan hukum.
Yang membuatnya lebih heran, ada standar ganda yang diterapkan KPK dalam mengumumkan tersangka. Di sejumlah kasus, KPK bisa sangat tertutup, tetapi ada juga di beberapa kasus lain KPK justru bersikap sangat terbuka, bahkan bertentangan dengan kebijakan KPK untuk menutup informasi soal pengumuman tersangka.
”Apa motif (Ketua KPK) Firli Bahuri pada kasus-kasus tertentu begitu heroik tampil sejak dini di layar kaca, sibuk berpuisi akan menegakkan kebenaran meski langit runtuh, dan lain-lain,” ujar Praswad.
Menurut Wakil Ketua KPK 2015-2019 Saut Situmorang, korupsi adalah kejahatan terhadap negara. ”Jadi, kalau kejahatan terhadap negara, warga negaranya harus tahu siapa yang jahat terhadap negara,” ucap Saut.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus transparan dan terbuka ke publik. Apalagi, pada umumnya persoalan korupsi di Indonesia lebih pada persoalan politik daripada ekonomi. Kasus korupsi sangat terkait dengan kekuasaan yang memiliki kecenderungan pada penyimpangan.
Apabila ada orang yang jahat terhadap negara dan tidak dibuka ke publik, hal tersebut patut dipertanyakan. Ia menjelaskan, prinsip pemberantasan korupsi harus bisa dikontrol dan seimbang. Ketika KPK tidak transparan, justru akan membuat publik bingung. Prinsip lainnya yang perlu dipegang KPK, kata Saut, adalah egaliter dan bisa dikritik.
Ia menegaskan, tahap penyidikan harus dibuka ke publik sehingga nama tersangka harus disebut. Berbeda dengan penyelidikan yang sifatnya masih tertutup. Terlebih, ujung dari penyelidikan bisa mengarah pada OTT.
Saut menambahkan, strategi dalam pemberantasan korupsi boleh berbeda, tetapi yang paling utama adalah nilai yang harus dipegang.