Pengisian Jabatan KPU di Daerah Jelang Pemilu Rawan Dipolitisasi
Penyerentakan akhir masa jabatan anggota KPU di daerah setahun jelang Pemilu 2024 dinilai rentan dipolitisasi. Namun, KPU memastikan politisasi untuk kepentingan pemenangan peserta pemilu tertentu bisa dicegah.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum salah satunya akan mengatur penyerentakan akhir masa jabatan anggota Komisi Pemilihan Umum atau KPU di daerah. Imbasnya, pengisian jabatan anggota KPU di daerah secara nasional menjadi tak terhindarkan. KPU harus mampu menjamin pengisian tersebut tidak diintervensi oleh kepentingan partai politik.
Sebelumnya diberitakan, dalam rapat konsinyering draf Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pemilu antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), DPR, dan penyelenggara pemilu pada Kamis (3/11/2022) malam, di antaranya, dibahas rencana menyerentakkan akhir masa jabatan anggota KPU provinsi serta kabupaten/kota. Dampak dari hal ini adalah pemberian kompensasi lebih awal. Jika ditotal, kompensasi yang harus disiapkan sekitar Rp 150 miliar.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta saat dihubungi, Minggu (6/11/2022), menengarai, penyerentakan akhir masa jabatan anggota KPU di daerah pada 2023 tak lepas dari kepentingan subyektif partai politik. Meskipun demikian, alasan subyektif itu bisa dikesampingkan jika dalam proses seleksi komisioner baru KPU itu independensi tim seleksi dijaga.
”Kuncinya adalah memastikan tim seleksi anggota KPU provinsi, kabupaten, dan kota independen. Belajar dari seleksi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) daerah pada tahun ini, sudah banyak suara dan intervensi pada saat proses seleksi. Karena itu, KPU wajib meyakinkan publik terkait independensi tim seleksi dan proses seleksinya,” ujar Kaka.
Terlepas dari itu, Kaka berpandangan, usulan menyerentakkan seleksi anggota KPU di daerah pada 2023 lebih masuk akal. Apalagi jika melihat data, akhir masa jabatan anggota KPU di daerah memang lebih banyak pada akhir 2023. Dengan penyelenggaraan seleksi pada medio 2023, KPU di tingkat pusat memiliki cukup waktu untuk menyelaraskan masa seleksi dengan tahapan krusial pemilu.
Di sisi lain, mereka juga bisa mengevaluasi kinerja anggota KPU di daerah yang sebelumnya sudah bekerja menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 2020 lalu. Jika kinerja dinilai buruk, tentu saja mereka seharusnya tidak perlu dipilih lagi dalam seleksi berikutnya.
Namun, jika melihat usulan pemerintah yang meminta masa jabatan KPU diperpanjang hingga Desember 2024, hal itu akan menjadi semacam ”hadiah” perpanjangan masa jabatan komisioner lama. Dengan perpanjangan masa jabatan itu, seolah ada utang budi dari para komisioner lama KPU. Dengan asumsi itu, justru para penyelenggara pemilu bisa dikendalikan oleh kepentingan politik tertentu.
”Saya pikir, tidak boleh ada hadiah untuk penyelenggara pemilu di saat putaran akhir pemilu. Karena itu bisa ditafsirkan lain. Saya sebagai pemantau pemilu lebih setuju usulan KPU dan Komisi II DPR bahwa harus ada evaluasi dan pertanggungjawaban KPU lama melalui seleksi,” ucap Kaka.
Baca juga : Kompensasi Rp 150 Miliar untuk Keserentakan Masa Jabatan KPU di Daerah
Kaka juga menjelaskan bahwa usulan untuk mengocok ulang atau seleksi komisioner baru di tingkat KPU daerah bukanlah hal baru. Usulan penyerentakan masa jabatan penyelenggara pemilu itu sudah muncul sejak lama. Alasannya, supaya seleksi KPU tidak berimpitan dengan tahapan krusial pemilu. Sebab, ada masa jabatan KPU yang berakhir menjelang hari pemungutan suara, bahkan ada yang saat rekapitulasi penghitungan suara.
”Ini, kan, sebenarnya pendekatan manajemen administratif saja karena terkait dengan masa jabatan. Sesuatu yang seharusnya cukup dibahas di peraturan KPU, tidak perlu diatur dalam perppu. Kalau ternyata diatur di perppu, lebih pada upaya untuk menyerentakkan,” ungkapnya.
Terkait dengan nilai anggaran Rp 150 miliar untuk insentif anggota KPU yang selesai masa jabatannya lebih awal, menurut Kaka, jumlahnya juga relatif tidak terlalu besar. Apalagi jika dibandingkan dengan kepentingan politik yang akan dicapai. Jika tidak dilaksanakan seleksi, justru akan muncul potensi merusak karena ada semacam gula-gula atau hadiah untuk para penyelenggara pemilu lama. Jika dibandingkan dengan anggaran untuk penyelenggara pemilu ad hoc, nilai Rp 150 miliar relatif kecil.
”Dengan banyaknya catatan, koreksi, dan evaluasi penyelenggaraan Pemilu 2019 maupun Pilkada 2020, memang harus ada evaluasi kinerja komisioner lama KPU di daerah. Selain itu juga supaya ada penyegaran untuk penyelenggaraan pemilu yang berlegitimasi,” katanya.
Menyamakan persepsi
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II Yanuar Prihatin menuturkan, DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang serta penyelenggara pemilu sudah bertemu dua kali untuk konsinyering materi Rancangan Perppu Pemilu. Dia mengakui, ada banyak pandangan dan usulan mengenai materi perppu tersebut.
DPR menyampaikan pandangan sesuai dengan argumentasinya. Namun, karena perppu merupakan ranah dari pemerintah, forum konsinyering itu tidak mencari titik temu. Konsinyering hanya memaparkan masukan dan usulan dari tiap-tiap lembaga dan cabang kekuasaan.
”Rapat konsinyering ini sifatnya bukan mencari keputusan, tetapi hearing. Mendengar masukan dan pendapat. Tetapi, semua masukan tentunya dicatat oleh stakeholders terkait,” ujarnya.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu berpandangan, idealnya pada saat tahapan pemilu sudah memasuki tahapan krusial, penyelenggara pemilu sudah harus menyiapkan diri. Perangkat KPU di daerah sudah harus fokus pada tahapan krusial tersebut.
Namun, kendalanya, ada ratusan anggota KPU di daerah yang selesai masa jabatannya pada tahun 2023 dan 2024. Oleh karena itu, harus ditemukan solusi agar pergantian anggota KPU serentak ini sesuai dengan konsekuensi penyelenggaraan seleksi KPU.
”Supaya ada jeda waktu yang memungkinkan organ KPU di daerah connected (terhubung) dengan persiapan pemilunya. Supaya ada waktu untuk merencanakan dan mengelola persiapan pemilu,” ungkapnya.
Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia Tandjung menambahkan, terkait dengan akhir masa jabatan KPU, sejak awal DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu sudah sepakat bahwa seleksi anggota KPU tidak boleh mengganggu tahapan krusial pemilu. Sebab, akhir masa jabatan anggota KPU tidak serentak. DPR menilai lebih baik akhir masa jabatan diserentakkan sehingga seleksinya bisa dilakukan bersamaan.
”Sejak awal tidak ada perdebatan soal itu. Semua punya pandangan yang sama, terutama DPR dan KPU,” katanya.
Baca juga : Materi Perppu Pemilu Diharap Tak Melebar
Politikus Partai Golkar itu menilai, rapat konsinyering Rancangan Perppu Pemilu dilakukan untuk membangun kesepahaman bersama sehingga pada tahap pengambilan keputusan sudah mudah. Oleh karena itu, pembentuk UU dan penyelenggara pemilu harus bisa menyamakan persepsi serta substansi pasal berapa yang perlu direvisi.
Perppu dinilai mendesak dikeluarkan sebagai konsekuensi lahirnya tiga daerah otonom baru (DOB) Papua sehingga harus ada perubahan daerah pemilihan serta jumlah anggota DPR. Oleh karena itu, pembentuk UU sepakat melakukan revisi terbatas melalui Perppu Pemilu.
”Karena perubahan terbatas, kami sepakat mekanisme melalui penerbitan perppu. Supaya substansi tidak melebar, kemudian sepakat bahwa ada rapat konsinyering antara pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu,” ujarnya.
Bantah tuduhan politisasi
Ditemui di Bali, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyampaikan, pada 2024 nanti, pemerintahan nasional mulai didesain keserentakannya. Namun, faktanya justru pengisian jabatan anggota KPU di daerah selama ini tidak serentak. Dengan begitu, desain keserentakan pengisian jabatan anggota KPU di daerah menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan.
Ia mencontohkan dampak keserentakan lima tahunan yang masih berserakan. Di Lampung, misalnya, semestinya periodisasi gubernur berakhir pada 2013, tetapi pemilihan gubernur terpaksa mundur hingga April 2014 akibat persoalan anggaran yang berlarut-larut. Alhasil, masa jabatan KPU Lampung, baik provinsi maupun kabupaten/kota, menjadi lebih panjang lagi. Faktanya, anggota KPU di sana periode lalu baru diisi setelah Pemilu 2019. Alhasil, desain keserentakannya tidak ada.
Di banyak daerah, ada pula, misalnya, tahapan pencoblosan dilakukan hari ini dan masa jabatan anggota KPU daerah habis sehari setelahnya. Kemudian, ini memaksa adanya perubahan komisioner. Ada pula tahap pencoblosan dilakukan hari ini dan masa jabatan anggota KPU daerah sudah habis sehari sebelumnya.
”Ada yang pencoblosannya hari ini dan yang menyelenggarakan adalah anggota KPU lama, tetapi nanti rekapitulasi sudah dilakukan anggota KPU baru. Itu, kan, tidak ideal sama sekali. Jadi, kami sudah punya pengalaman menghadapi situasi yang sangat tidak ideal itu. Padahal, kan, ada yang namanya prinsip akuntabilitas. Siapa yang menyelenggarakan pemungutan suara, maka dia yang harus mempertanggungjawabkan,” tutur Hasyim.
Idealnya, lanjutnya, penyerentakan masa jabatan anggota KPU dilakukan sebelum 14 Juni 2022 atau sebelum tahapan Pemilu 2024 dimulai. Namun, hal itu tak mungkin dilakukan karena anggota KPU pusat baru dilantik pada April 2022 lalu. Kemudian, menurut UU Pemilu, jika ingin langsung dilakukan seleksi anggota KPU di daerah, pembentukan tim seleksinya oleh KPU pusat harus sudah dilakukan lima bulan sebelum berakhirnya masa jabatan.
”Nah, masalahnya di UU Pemilu, lima tahunan periodisasi KPU di daerah masih seperti yang sekarang ini. Jadi, tidak mungkin KPU pusat begitu dilantik lalu melakukan seleksi ulang. Kemudian setelah nanti sekiranya di dalam perppu ada aturan itu, maka pengisian jabatan atau seleksi anggota KPU di daerah akan kami tata secara serentak,” ujar Hasyim.
Untuk anggota KPU provinsi, akhir masa jabatan diusulkan akan diserentakkan pada Mei 2023 sehingga semua anggota KPU provinsi yang masa jabatannya habis setelah bulan Mei akan diseragamkan. Semua komisioner baru harus selesai dilantik pula pada Mei 2023. Artinya, tim seleksi harus dibentuk pada Desember 2022 supaya pada Januari 2023 proses seleksi untuk anggota KPU provinsi sudah dapat dimulai, termasuk untuk KPU provinsi-provinsi DOB Papua.
Begitu pula anggota KPU kabupaten/kota, pelantikannya juga diusulkan diseragamkan pada Juli 2023. Dengan begitu, jika ditarik mundur, berarti sekitar Februari 2023 seleksinya sudah harus dimulai.
Sebenarnya memang ada dua alternatif untuk menyiasati soal ketidakserentakan akhir masa jabatan penyelenggara pemilu, dipercepat atau diperpanjang masa jabatannya. Namun, opsi perpanjangan masa jabatan tidak dipilih. ”Kalau diperpanjang, habis itu mereka kerja apa? Karena desain lima tahunannya masih nanti 2029, masih jauh. Di tengah-tengah sampai 2029 tidak ada pemilu,” ujarnya.
Terkait dampak lanjutan akan adanya dobel anggaran akibat pemberian kompensasi terhadap komisioner lama dan pemberian gaji kepada komisioner baru, menurut Hasyim, itu adalah konsekuensi dari kebijakan penyerentakan masa jabatan ini.
”Ya, namanya hak, itu tidak bisa kemudian dihitung untung rugi. Karena apa? Hak itu, kan, melekat pada orang yang menjadi anggota pada satu periode. Itu, kan, berarti ada hak yang menjadi tanggungan negara untuk dipenuhi. Bahwa kemudian si A baru satu periode, lalu masa jabatan belum selesai. Lalu harus dipercepat dan dapat kompensasi. Masih bisa ikut seleksi tidak? Masih bisa karena dia baru satu periode. Nah, kalau dia terpilih, dia dapat uang kehormatan lagi, kan. Uang kehormatan, ya, untuk periode ke depan. Jadi, tidak bisa kemudian dianggap dapat dobel. Itu, kan, konsekuensi dari kebijakan yang bersangkutan dipercepat berakhirnya masa jabatan,” paparnya.
Hasyim juga menjamin tidak akan terjadi politisasi dalam pengisian jabatan anggota KPU di daerah sebagai dampak dari penyerentakan ini. Sebab, dalam UU Pemilu, terkait rekrutmen anggota KPU di daerah, kewenangan tersebut diberikan kepada KPU pusat. KPU pusat akan membentuk tim seleksi, baik untuk KPU provinsi, kabupaten, maupun kota. Persyaratan untuk menjadi tim seleksi juga ketat, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan KPU No 7/2018 tentang Seleksi Anggota KPU di Daerah.
Selain itu, keputusan akhir tentang profil anggota KPU di daerah juga ditentukan oleh KPU pusat. ”Kami, di antara pertimbangan yang ada menurut UU, kan, ada kategorisasi (pemilihan anggota KPU daerah), misalnya netral, kemudian bukan anggota parpol, kemudian profesional. Nah, profesional itu yang dijadikan ukuran paling utama, kan, punya kompetensi. Kompetensi basisnya dua, pengetahuan dan pengalaman,” tuturnya.
Rekrutmen menjadi anggota KPU di daerah juga, lanjut Hasyim, tidak perlu diragukan. Sebab, mereka sebenarnya mempunyai jenjang karier baru yang jelas. Dda di antara mereka yang mantan Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan, serta komisioner di tingkat kabupaten/kota. Selain itu, KPU pusat juga tetap akan mempertimbangkan mereka yang misalnya baru menjabat satu periode. Jika selama menjabat profesionalisme calon tersebut tidak terganggu, itu tentu menjadi bagian dari penilaian.
”Jadi, saya kira pandangan, tuduhan tentang politisasi, kok, menurut saya, terlalu berlebihan,” katanya.
Tidak mempersoalkan
Anggota KPU Sulawesi Barat, Farhanuddin, yang periode jabatannya akan berakhir pada Mei 2023 mengatakan, saat ini komisioner KPU provinsi dan kabupaten/kota tengah fokus melaksanakan tahapan pemilu. Mengenai informasi seleksi serentak, dirinya akan mematuhi ketentuan perundang-undangan yang akan diputuskan pengambil kebijakan.
Ketua KPU Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan pun tak mempersoalkan apabila masa jabatannya dipercepat. Lagi pula, nanti dirinya tetap diberikan kompensasi. Untuk diketahui, jabatannya akan berakhir pada September 2023 mendatang.
”Kalau dimundurkan, saya tidak apa-apa. Dengan dasar pengalaman 20 tahun, mulai dari menjabat PPK, anggota KPU dan Bawaslu, saya yakin, apa pun itu tidak ada masalah. Saya akan daftar kembali,” kata Lidartawan.
Menurut dia, kebijakan penyerentakan masa jabatan ini bertujuan meningkatkan kinerja dan untuk mengantisipasi terjadinya ketidakfokusan dalam rangka melakukan tahapan pemilu. Ia meyakini, politisasi dalam pengisian komisioner baru nanti tidak akan terjadi. Sebab, penyerentakan ini dilakukan untuk mempermudah kerja KPU pusat ke depan.