Geledah Rumah Lukas dan Kantor Perusahaan, KPK Temukan Dokumen dan Bukti Elektronik
”Dari lokasi ditemukan dan diamankan berbagai dokumen dan bukti elektronik yang diduga berkaitan dengan pembuktian perkara,” kata Juru Bicara KPK Ali Fikri soal penggeledahan dalam perkara Gubernur Papua Lukas Enembe.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi telah menggeledah sejumlah lokasi di Jayapura, Papua, dalam perkara dugaan gratifikasi dengan tersangka Gubernur Papua Lukas Enembe. Dalam penggeledahan itu ditemukan sejumlah dokumen dan bukti elektronik.
Pada Kamis (3/11/2022), tim penyidik KPK dapat memeriksa Lukas selama 90 menit di kediamannya di Jayapura, Papua. Tim dokter KPK dan tim independen Ikatan Dokter Indonesia juga memeriksa kesehatan Lukas yang beberapa kali mangkir dari panggilan untuk diperiksa dengan alasan sakit.
Sehari setelahnya, KPK juga telah menggeledah tiga lokasi di Jayapura guna mencari bukti perkara dugaan gratifikasi Lukas. Lokasi tersebut meliputi rumah tersangka serta dua kantor perusahaan swasta.
”Dari lokasi tersebut ditemukan dan diamankan adanya berbagai dokumen dan bukti elektronik yang diduga berkaitan dengan pembuktian perkara ini,” ujar Juru Bicara KPK Ali Fikri, secara tertulis, Sabtu (5/11/2022).
Ia menambahkan, sejumlah bukti itu akan dianalisis dan disita. Setelahnya, barang-barang tersebut akan digunakan untuk melengkapi berkas perkara.
Lukas terjerat kasus dugaan suap terkait proyek dengan pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua. Statusnya naik menjadi tersangka sejak September lalu dengan dugaan penerimaan gratifikasi Rp 1 miliar pada 2020 (Kompas, 13/9/2022).
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, menekankan jeda waktu sejak Lukas ditetapkan tersangka hingga penyidikan KPK secara langsung di Papua perlu diantisipasi. Pasalnya, ada kemungkinan dokumen serta bukti lain yang berkaitan dengan perkara sudah dipindahkan ke tempat lain.
”Kalau itu terjadi, ada upaya lain yang perlu ditempuh KPK. Jangan sampai berkontribusi pada berjalan atau tidak berjalannya penyelesaian proses hukum. Kita tidak berharap KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam kasus ini,” tutur Lalola.
Oleh karena itu, kata dia, keberadaan KPK di Papua perlu dimaksimalkan. Fokus penggeledahan harus diperluas, tak hanya sekadar kediaman Lukas. Lokasi lainnya dapat mengarah pada kantor serta tempat-tempat potensial lainnya. Harapannya, bukti yang didapat cukup kuat untuk penyusunan dakwaan hingga persidangan.
Selain itu, Lalola juga menyoroti alasan KPK yang tak membawa Lukas ke Jakarta karena kondisi kesehatannya. Jika Lukas dinilai sehat, KPK dapat menahan tersangka itu di Jakarta atau setidaknya di rumah tahanan negara (rutan) kejaksaan atau kepolisian.
”Memang tantangannya ketika KPK menyidik kasus di daerah. Kecenderungannya orang seperti Lukas, yang dianggap tokoh penting, perlu antisipasi, juga adanya ’dukungan’ dari lingkungan sekitar,” kata Lalola.
Risiko terburuk lain ketika kinerja KPK kurang optimal ketika berada di Papua adalah mobilitas tim penyidik dari Jakarta-Papua akan semakin tinggi. Dengan demikian, lembaga antirasuah itu perlu mencegah ketidakefektifan tim yang berpeluang pergi-pulang beberapa kali ke Jayapura.
Adapun terkait kondisi keamanan Papua, Lalola menilai, KPK semestinya sudah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum setempat. Sebab, ketika KPK memeriksa di wilayah tertentu dan dianggap berisiko, seharusnya koordinasi telah dilakukan dengan kepolisian atau kejaksaan setempat.