NU, R20, dan Ikhtiar Mengatasi Problem Kehidupan Beragama
Para pemimpin agama di forum R20 menginginkan jadi bagian dari aliansi global untuk mewujudkan kehidupan antar-umat beragama yang harmonis. NU sebagai inisiator R20 pun ingin Pemilu 2024 berjalan damai.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, IQBAL BASYARI
·5 menit baca
KOMPAS/IQBAL BASYARI
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf menyerahkan plakat G20 Religion Forum atau R20 kepada tokoh agama dari India, HH Mahamahopadhyaya, saat penutupan forum R20 di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/11/2022). India akan menjadi tuan rumah R20 pada 2023 mendatang.
Demi mewujudkan kehidupan antar-umat beragama yang harmonis, sejumlah pemimpin agama akan bergabung dalam suatu aliansi global guna menciptakan jembatan di antara bangsa, negara, dan peradaban yang berbeda-beda. Melalui aliansi tersebut, diharapkan bisa terbangun kesepahaman serta kehendak bersama mengembangkan peradaban dan tatanan dunia yang harmonis berlandaskan nilai-nilai mulia.
Sikap itu menjadi bagian dari kesimpulan yang ditarik dari serangkaian pembicaraan dan diskusi terkait dengan berbagai macam problem dalam hubungan antar-umat beragama pada konferensi G20 Religion Forum (R20) di Nusa Dua, Bali, yang berlangsung dua hari sejak Rabu (2/11/2022).
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf, seusai penutupan forum R20 di Nusa Dua, Bali, Kamis, menyampaikan, tak ada kesepakatan bersama yang dicapai pada forum itu. Menurut Gus Yahya, forum R20 yang diikuti pemimpin berbagai agama dan sekte dari 32 negara tersebut menghasilkan kesimpulan berupa komunike, penjelasan dari rangkaian kegiatan, yang disepakati.
Dari forum yang diinisiasi oleh Nahdlatul Ulama (NU) itu, Gus Yahya menyampaikan, semua pihak yang berpartisipasi menyatakan membutuhkan suatu aliansi global. Tujuannya, untuk melaksanakan inisiatif-inisiatif konkret agar tercipta jembatan di antara bangsa-bangsa, negara-negara, serta peradaban-peradaban yang berbeda. Melalui aliansi itu diharapkan bisa terbangun kesepahaman dan kehendak bersama mengembangkan peradaban dan tatanan dunia yang harmonis berlandaskan nilai-nilai mulia.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua Tanfidziyah (Ketua Umum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2021-2026 terpilih KH Yahya Cholil Staquf (tengah) memenangi pemungutan suara dalam Muktamar Ke-42 NU di Universitas Lampung, Bandar Lampung, Lampung, Jumat (24/12/2021) dini hari.
”Dan, ini semua harus ditempuh dengan pertama-tama bersedia melakukan dialog yang jujur dan realistis, tidak menyembunyikan masalah dan tidak menyembunyikan keadaan-keadaan yang buruk. Tetapi, membicarakannya dengan terbuka, jujur, dan realistis tentang apa yang terjadi di dalam lingkungan agama masing-masing sehingga bisa melihat masalah untuk mencari jalan keluar bersama-sama,” ujar Gus Yahya.
Berbagai persoalan yang dihadapi kelompok agama, utamanya persoalan pada hubungan antar-umat bergama, jadi topik utama di forum R20 ini. Salah satu yang dibahas adalah persoalan munculnya tafsir atas teks keagamaan yang kurang tepat yang bisa menimbulkan ketegangan hubungan sosial antar-umat beragama.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU KH Ulil Abshar Abdalla pada salah satu sidang di forum R20 itu menyampaikan, salah satu problem umat Islam saat ini adalah kecenderungan melakukan penafsiran teks agama secara eksklusif. Penafsiran terhadap teks agama tidak disesuaikan dengan perkembangan zaman dan hanya memahaminya secara tekstual. Hal itu mengakibatkan munculnya ketegangan dalam hubungan antar-umat beragama, bahkan terhadap kaum minoritas di kelompok Muslim.
Oleh sebab itu, lanjut Ulil, diperlukan ulama dan pemikir untuk memberikan interpretasi sehingga bisa memunculkan tafsir atas teks-teks agama sesuai konteks perkembangan zaman. NU pun mendorong kiai, ulama, dan santri untuk melakukan pemahaman ulang atas tafsir-tafsir agama yang sesuai dengan konteks kekinian. Dengan demikian, Muslim bisa memiliki pandangan sama atas teks-teks agama yang lebih kontekstual menggunakan tradisi yang ada.
Ulil Abshar Abdalla menyampaikan pidato kebudayaan mengenai sejumlah refleksi tentang kehidupan sosial keagamaan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (2/3/2010).
Dalam kesempatan yang sama, mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Imam Addaruqutni mengatakan, sistem pendidikan yang lebih maju harus terus diterapkan untuk mengembangkan perdamaian di Indonesia. Muhammadiyah yang kini memiliki lebih dari 200 universitas menjelma sebagai kampus inklusif yang mengakomodasi lebih dari 1.000 mahasiswa agama lain. ”Bahkan, di Nusa Tenggara Timur ada Universitas Muhammadiyah yang disebut Christian Muhammadiyah University karena banyak mahasiswa Kristen bersekolah di sana,” katanya.
Uskup Katolik Sokoto, Nigeria, Matthew Hassan Kukah mengatakan, perlu ada pembelajaran yang koheren dan komprehensif dalam dunia pendidikan agar bisa menghilangkan diskriminasi dan ekstremisme. Dengan demikian, dapat menghindari tindakan diskriminasi oleh kelompok tertentu, seperti yang dilakukan kelompok ekstremis Muslim terhadap umat Katolik ataupun sesama umat Islam.
Konteks nasional
Jika lewat R20 NU berupaya menjaga perdamaian di tingkat global, di tingkat nasional NU ingin menjaga perdamaian menjelang Pemilu 2024. Keinginan itu disampaikan Gus Yahya dalam wawancara eksklusif pada diskusi Satu Meja the Forum bertajuk ”R20 dan Arah Politik NU” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (2/11/2022) malam.
Semua orang berhak untuk menjadi calon, tetapi kami tidak mau NU ini diperalat sebagai senjata politik karena kami khawatir soal prosesnya, bukan hasilnya. Hasilnya bisa kami terima. Siapa saja jadi presiden asal menang pemilu, bisa kami terima.
Gus Yahya pun menegaskan bahwa NU terbuka terhadap semua calon presiden dan partai politik. ”Semua orang berhak untuk menjadi calon, tetapi kami tidak mau NU ini diperalat sebagai senjata politik karena kami khawatir soal prosesnya, bukan hasilnya. Hasilnya bisa kami terima. Siapa saja jadi presiden asal menang pemilu, bisa kami terima,” tuturnya.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu juga dihadiri sejumlah narasumber, yakni Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, dan pengamat politik Fachry Ali.
Gus Yahya menyampaikan, putusan utama muktamar sudah menegaskan, NU harus mengambil jarak dari semua partai politik. NU harus mempertahankan posisi yang sama dengan semua parpol meski dahulu NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sebagai institusi, NU melarang organisasinya digunakan untuk keperluan politik. Pengurus harian NU tidak boleh merangkap sebagai pengurus harian partai. Apabila sudah menjadi pengurus NU dan ingin menjadi calon dalam kompetisi politik, ia harus mundur.
Para Muslimah menghadiri puncak peringatan Hari Lahir Ke-73 Muslimat Nahdlatul Ulama di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (27/1/2019).
Dari pernyataan Gus Yahya, menurut Burhanuddin, ada pesan penting bahwa warga NU harus netral karena NU memiliki daya tarik secara politik. Sejak 2004, pada era pemilihan presiden pertama kali digelar di Indonesia, tidak ada calon presiden yang bisa menang tanpa memenangi NU.
Menurut Yenny Wahid, umat Islam di Indonesia mempunyai identitas berlapis. Selain sebagai orang Islam, mereka juga ada yang berafiliasi dengan organisasi masyarakat tertentu, seperti anggota parpol. ”Tetapi, tak serta-merta satu identitas menentukan preferensi politiknya,” kata Yenny.
Ia menuturkan, identitas keagamaan belum tentu menjadi penentu dalam sikap politik. Di sisi lain, tidak semua parpol bisa memberikan ruang untuk semua warga NU yang jumlahnya puluhan juta orang. Alhasil, preferensi politik warga NU pun tersebar.