Keluarga Brigadir J Ungkap Intimidasi Polisi, Dipaksa Terima Skenario Sambo
Polisi merangsek masuk ke rumah Brigadir J, semua pintu dan gorden ditutup, dilarang merekam dan memaksa keluarga menerima begitu saja skenario Ferdy Sambo.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat kembali mengungkap intimidasi oleh sejumlah anggota kepolisian agar mau menerima skenario Ferdy Sambo. Sesaat setelah pemakaman Nofriansyah, polisi merangsek masuk ke rumah dengan tetap mengenakan sepatu, menutup semua pintu dan gorden, serta melarang keluarga merekam kedatangan mereka.
Perihal intimidasi itu kembali diungkap Ibu Nofriansyah, Rosti Simanjuntak, dalam sidang perkara pembunuhan berencana Nofriansyah dengan terdakwa Ricky Rizal dan asisten rumah tangga Sambo, Kuat Ma'ruf di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (2/11/2022). Sidang dipimpin hakim ketua Wahyu Iman Santosa bersama Morgan Simanjuntak dan Alimin Ribut Sujono selaku hakim anggota. Adapun tim jaksa penuntut dipimpin oleh Syahnan Tanjung.
Rosti mengungkapkan, pada 11 Juli malam hari, beberapa jam setelah pemakaman Nofriansyah, Hendra Kurniawan yang saat itu menjabat Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan Polri bersama sejumlah polisi lain datang ke rumah. Mereka langsung merangsek masuk ke rumah, mengenakan sepatu, menutup semua gorden, dan melarang keluarga merekam.
Saya sebagai ibu yang sudah begitu hancur hati, memohon berulang kali kepada mereka, buktikan barang bukti yang sah, jangan cuma omongan atau kasarnya asbun (asal bunyi).
Para polisi itu lantas mengumpulkan anggota keluarga inti dan keluarga besar di dua ruang berbeda. Di sini, Hendra meminta keluarga inti agar menerima begitu saja skenario kematian Nofriansyah yang dirancang Sambo dan tidak berbicara ke media. Rosti marah, dia mendesak kejanggalan meninggalnya Nofriansyah diusut tuntas.
Hendra menolak. Ia hanya menceritakan bahwa Nofriansyah meninggal karena tembak menembak dengan Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu setelah ketahuan melakukan pelecehan seksual terhadap istri Sambo, Putri Candrawathi, di rumah dinas Sambo, Duren Tiga, Jakarta.
”Mereka menyuruh kami kalau mau mengetahui bukti itu harus datang ke Jakarta. Sedangkan, di sana saya sebagai ibu yang sudah begitu hancur hati, memohon berulang kali kepada mereka, buktikan barang bukti yang sah, jangan cuma omongan atau kasarnya asbun (asal bunyi) saya bilang,” tuturnya.
Rosti yang kesal langsung mengusir mereka. Malam harinya, setelah pertemuan itu, seluruh telepon genggam keluarga inti diretas. Peretasan ini dikonfirmasi oleh adik Nofriansyah, Mahareza Rizky, yang juga anggota Polri. Dia meminta bantuan tim siber Polda Jambi untuk memeriksa telepon genggam keluarga mereka. Tim siber pun membenarkan, tetapi tidak mengetahui sumber peretasan tersebut.
”Saya bilang silakan keluar, tidak perlu bicara lagi di sini. Mereka keringat jagung langsung keluar, karena saya bilang juga komunikasi saya dengan anakku ada di HP. Sekarang HP anakku tunjukkan, langsung malamnya diretas semua HP kami,” ucapnya.
Reza juga sempat menghubungi Putri Chandrawati, sejumlah ajudan Sambo, dan sejumlah asisten rumah tangga Sambo untuk mencari informasi penyebab kematian Nofriansyah. Namun, nomornya sudah diblokir oleh mereka.
Saat kedatangan jenazah Nofriansyah di Bandara Sultan Thaha Saifuddin, Jambi, pada 9 Juli pagi pun banyak kejanggalan. Polisi melarang peti jenazah dibuka di bandara. Sampai saat jenazah tiba di rumah di Sungai Bahar, Jambi, pun belum boleh dibuka. Bahkan saat orangtua Nofriansyah yang baru pulang dari Padang Sidempuan, Sumatera Utara, peti itu masih belum boleh dibuka oleh pihak kepolisian.
”Saat itu datang Pak Leonardo (polisi berpangkat komisaris besar dari Pelayanan Markas Mabes Polri) menyodorkan secarik kertas serah terima jenazah untuk ditandatangani. Saya tidak mau, saya bilang, 'Ini surat apa, Pak?' Ini surat serah terima jenazah, katanya. Macam mana saya tanda tangan, isi peti saja saya tidak tahu kalau ini anak saya,” kata ayah Nofriansyah, Samuel Hutabarat.
Leonardo, lanjut Samuel, juga menyebut bahwa kematian Nofriansyah adalah aib bagi kepolisian yang tidak pantas didengar banyak orang sehingga keluarga tidak perlu membesar-besarkan. Setelah berdebat, akhirnya Leonardo mengizinkan peti dibuka hanya sebatas kepala sampai dada agar keluarga memastikan benar jenazah Nofriansyah. Samuel juga sempat meminta Leonardo agar anaknya dimakamkan secara kedinasan.
Esok harinya, Leonardo kembali datang dan mengatakan bahwa Mabes Polri tidak mengizinkan Nofriansyah dimakamkan secara kedinasan. Leonardo enggan menyebut siapa yang memberi perintah dari Mabes Polri.
Sementara selain Ricky dan Kuat, terdakwa lain dalam kasus ini adalah bekas Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, serta ajudan Sambo lainnya, Richard Eliezer, yang menjadi justice collaborator. Mereka didakwa melanggar Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana terhadap Nofriansyah.
Mereka yang bersaksi dalam sidang hari ini ada 11 orang, yakni ayah Nofriansyah, Samuel Hutabarat; ibu Nofriansyah, Rosti Simanjuntak; kekasih Nofriansyah, Vera Simanjuntak; adik Nofriansyah, Mahareza Rizky Hutabarat; adik Nofriansyah, Devianita Hutabarat; kakak Nofriansyah, Yuni Artika Hutabarat; tante Nofriansyah, Rohani Simanjuntak; tante Brigadir J, Roslin Emika Simanjuntak; tante Nofriansyah, Sangga Parulian; Novita Sari Nadea; dan Indra Manto Pasaribu selaku petugas Dinas Kesehatan Jambi.