IKN Rentan Serangan Udara, Perkuat Mitigasi dan Sistem Persenjataan
Ibu Kota Nusantara atau IKN berpotensi menghadapi ancaman serangan udara. Deteksi dini hingga kesiapan alutsista harus diperkuat untuk mengantisipasi ancaman tersebut.
Oleh
Axel Joshua Halomoan Raja Harianja
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ibu Kota Nusantara atau IKN rentan terhadap serangan udara. Untuk itu, deteksi dini hingga alat utama sistem persenjataan harus diperkuat demi menjamin keamanan IKN.
Komandan Sekolah Komando Kesatuan TNI Angkatan Udara (Dansekkau) Marsekal Pertama Firman Wirayuda di sela-sela acara Seminar Nasional Pasis Sekkau A-112 bertajuk ”Strategi Pertahanan guna Menghadapi Ancaman Udara dalam Rangka Menjamin Keamanan Ibu Kota Nusantara”, Rabu (2/11/2022), mengatakan, keamanan IKN di Kalimantan Timur sangat penting. Hal ini karena IKN bakal menjadi pusat politik, ekonomi, dan sosial budaya di Tanah Air.
”Potensi ancaman yang paling cepat dan dapat dilakukan oleh musuh itu adalah melalui media udara. Berbagai macam alutsista yang ada di dunia hari ini memungkinkan untuk dilaksanakannya penghancuran kepada Ibu Kota Nusantara,” kata Firman di Gedung Pramanasala Sekkau, Jakarta Timur, Rabu (2/11/2022).
Acara seminar dihadiri pula oleh Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto, Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Slamet Soedarsono, Komandan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan Angkatan Udara (Kodiklatau) Marsekal Madya Tonny Harjono, dan Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid yang hadir secara virtual.
Firman menyampaikan, TNI AU berupaya menjamin keamanan IKN dari ancaman kekerasan, ancaman navigasi, hingga ancaman udara. Dalam hal ini, TNI AU fokus terhadap smart defence, yakni bagaimana mendeteksi potensi ancaman tersebut secara dini.
”Di situ bagaimana kita mengintegrasikan alutsista angkatan udara, yaitu rudal, pesawat tempur, dan lain sebagainya. Dan ini harus terintegrasi bukan hanya oleh Angkatan Udara saja. Seluruh komponen TNI, juga komponen nasional seperti radar-radar sipil, kemudian juga seluruh potensi nasional yang ada, kita integrasikan,” ucap Firman.
Posisi IKN yang dekat dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI II), yakni Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok, lanjut Firman, bisa menjadi ancaman. Sebagai jalur perdagangan dan pelayaran internasional, ALKI II memiliki nilai strategis.
Belum lagi, IKN berdekatan dengan beberapa negara yang memiliki alutsista yang andal seperti jet tempur generasi keempat dan kelima, serta peluru kendali balistik antarbenua yang memiliki radius atau jarak tempur sampai ke Kalimantan.
”Di situ bisa saja berupa pelanggaran oleh pesawat militer ataupun pesawat sipil, kita tidak menutup kemungkinan. Demikian juga kalau misalkan dengan menggunakan drone dan lain sebagainya. Itu yang harus kita antisipasi,” ujar Firman.
Belum siap
Dalam paparannya, Andi Widjajanto mengatakan, IKN relatif dekat dengan tiga titik ketegangan hegemonik, yakni Laut China Selatan, Taiwan, dan Diaoyu/Senkaku. Selain itu, wilayah ALKI II yang melintasi IKN berpotensi menjadi jalur lintas apabila perang hegemonik di tiga titik tersebut terjadi.
Andi melanjutkan, IKN juga masuk dalam radius kekuatan udara milik Amerika Serikat dan China, terutama pesawat tempur dan pesawat pengebom. Kondisi ini menjadikan ruang udara IKN sangat rawan terhadap gangguan eksternal. Namun, pertahanan IKN saat ini dinilai belum siap.
”Jadi bayangkan kita akan membangun rumah, lalu tiba-tiba pagarnya itu baru akan siap empat tahun setelah kita diami rumah itu. Tingkat kerawanannya tinggi, tapi pertahanannya tidak langsung siap,” kata Andi.
Andi melanjutkan, titik perang di Asia Timur, yakni antara China dan Taiwan, bisa saja terjadi dalam waktu dekat, yaitu enam bulan lagi, atau yang terjauh pada 2027 mendatang. Akan tetapi, pada tahun tersebut, pertahanan IKN belum siap.
Dia mencontohkan, Indonesia pada Februari lalu menandatangani kesepakatan pembelian 42 jet tempur Dassault Rafale generasi 4,5 dari Perancis. Pada tahap pertama, baru enam unit jet Rafale yang akan didatangkan, di mana dua jet bakal didatangkan pada 2026 dan empat lainnya akan datang bertahap sampai 2030.
”Sementara IKN-nya sudah ada, tanpa ada dukungan Skuadron barunya. Lebih-lebih lagi, kalau kemudian ada masalah China-Taiwan, yang diperkirakan China siap melakukan serangan militer ke Taiwan tahun 2027. Saat itu terjadi, (pertahanan) kita masih tahap pembangunan, sehingga itu yang menjadi tantangannya,” ucap Andi.
Dihubungi secara terpisah, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, IKN memiliki beragam potensi ancaman dan gangguan keamanan dari udara. Pertama, pelanggaran wilayah udara, di mana secara geografis IKN berdekatan dengan ALKI II. Berdasarkan hukum laut internasional, wilayah udara di atasnya boleh digunakan sebagai alur perlintasan pesawat udara.
Padahal, lanjut Khairul, hukum udara internasional menegaskan bahwa kedaulatan udara suatu negara bersifat utuh dan tidak dimungkinkan untuk melintas tanpa izin. Hal ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dan sengketa antarnegara karena adanya pesawat yang melintas tanpa izin di kawasan perairan tersebut.
”Selain itu, pemanfaatan ruang udara secara tidak sah dan pelanggaran wilayah udara juga sangat mungkin terjadi karena letak geografis yang relatif dekat dengan perbatasan dan ALKI II tadi. Baik oleh pesawat angkut nonkomersial maupun oleh pesawat tanpa awak atau drone dengan tujuan tertentu, termasuk militer,” kata Khairul.
Ancaman kedua adalah serangan dari udara sebagai akibat letak IKN yang berada dalam jangkauan jelajah peluru kendali balistik antarbenua milik negara lain. Ketiga, aksi kejahatan seperti terorisme melalui sarana transportasi udara, seperti pembajakan dan terorisme di pesawat.
Menurut Khairul, perang konvensional tidak lagi bisa menjadi satu-satunya acuan dalam membangun kapabilitas dan menyusun strategi pertahanan. Hal ini karena, selalu ada cara yang mungkin dilakukan untuk menembus pertahanan lawan dan melancarkan serangan, bahkan dengan kendali jarak jauh. Meski begitu, modernisasi alutsista tetap diperlukan, baik di udara, laut, dan darat.
”Penempatan kekuatan dan komando pengendali harus juga memikirkan jarak aman dari IKN dengan tetap mempertahankan efektivitasnya. Di sisi lain, sistem keamanan siber juga harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rencana pembangunan IKN itu sejak awal,” ucap Khairul.