Setahun Tak Ditindaklanjuti, Revisi UU ITE Terancam Kembali Kalah Prioritas
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Lodewijk F Paulus membenarkan pimpinan DPR telah terima surat presiden terkait revisi UU ITE, tapi terhalang. Kini, revisi terancam lagi karena kalah prioritas UU lainnya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Anggota DPR mengikuti rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/11/2022). Agenda rapat adalah pembukaan masa persidangan II tahun sidang 2022-2023 setelah anggota DPR melakukan reses sejak awal Oktober lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat mengklaim tidak ada permasalahan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Belum dimulainya revisi UU ITE meski surat presiden terkait sudah disampaikan sejak Desember 2021 terjadi karena DPR memprioritaskan pembahasan UU Perlindungan Data Pribadi. Namun, kini, pembahasan terancam kembali kalah prioritas dengan UU yang lain.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Lodewijk F Paulus saat ditemui di Kompleks DPR, Jakarta, Selasa (1/11/2022), membenarkan, pimpinan DPR telah menerima surat presiden (surpres) terkait revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sejak Desember 2021. Rancangan UU ITE pun sudah masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 sebagai RUU usul inisiatif pemerintah.
Akan tetapi, hingga saat ini pihaknya belum menugaskan salah satu alat kelengkapan dewan (AKD) untuk membahasnya. Menurut rencana, hal itu baru akan dibicarakan dan diputuskan melalui rapat pimpinan dan rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR, Rabu (2/11/2022). “Besok kami akan ada rapim (rapat pimpinan) dan rapat Bamus, lalu menentukan apa yang mau dikerjakan,” kata Lodewijk.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Lodewijk F Paulus
Ia menambahkan, penugasan untuk membahas RUU ITE akan diserahkan kepada Komisi I DPR. Akan tetapi, Komisi I juga mempertimbangkan pembahasan RUU Penyiaran. Jika keduanya dibandingkan, RUU Penyiaran dinilai lebih mendesak dibahas karena terkait dengan kepentingan sejumlah pihak yang tumpang tindih.
”UU ITE itu, kan, tinggal merevisi beberapa pasal yang dikomplain masyarakat, kepentingannya juga tidak terlalu banyak. Sementara, UU Penyiaran itu kan sudah tumpang tindih kepentingan. ”
”UU ITE itu, kan, tinggal merevisi beberapa pasal yang dikomplain masyarakat, kepentingannya juga tidak terlalu banyak. Sementara, UU Penyiaran itu kan sudah tumpang tindih kepentingan,” kata Lodewijk.
Sebelumnya, DPR juga belum memutuskan membahas revisi UU ITE karena masih memprioritaskan penyelesaian UU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Pembahasan UU PDP dinilai lebih mendesak karena menyangkut perlindungan hak-hak dasar warga di era digital.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Sufmi Dasco Ahmad
Hal serupa juga disampaikan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad. Menurut dia, tidak ada kendala yang menyebabkan pembahasan revisi UU ITE tak kunjung dimulai meski surat presiden sudah diterima sejak akhir tahun lalu. Pembahasan belum dilakukan karena Komisi I DPR dan pemerintah masih menyelesaikan UU PDP. Sebagaimana diketahui, pembahasan UU PDP sempat terjebak dalam kebuntuan selama sekitar dua tahun.
Dasco pun tidak memungkiri banyak pihak sudah mempertanyakan kapan revisi UU ITE akan dibahas. ”Nanti di rapim akan kami bahas. Karena sudah selesai UU PDP, mungkin juga sudah (RUU ITE akan segera dibahas),” ujarnya.
Urgensi
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan, dari segi proses pembahasan, Komisi I DPR sepertinya akan memprioritaskan RUU Penyiaran dibandingkan RUU ITE karena RUU Penyiaran sudah lebih intens dibahas di tahun sebelumnya. Namun, dari sisi urgensi, pembahasan RUU ITE perlu diutamakan.
”Jadi, ada beberapa hal yang sudah tidak relevan di UU ITE yang lama, atau perlu ditambahkan beberapa klausul baru, misal terkait tanggung jawab platform digital dan lain-lain, itu kenapa revisi UU ITE begitu penting.”Sebab, RUU ITE harus diakselerasi atau disinkronkan dengan RUU PDP yang sudah disahkan akhir September 2022 lalu. Dengan disahkan RUU PDP, itu sebenarnya mengubah beberapa klausul di RUU ITE, terutama dalam konteks pemrosesan data atau beberapa ketentuan terkait pidana.
”Jadi, ada beberapa hal yang sudah tidak relevan di UU ITE yang lama, atau perlu ditambahkan beberapa klausul baru, misal terkait tanggung jawab platform digital dan lain-lain, itu kenapa revisi UU ITE begitu penting,” ujar Wahyudi.
KOMPAS/SHARON PATRICIA
Wahyudi Djafar
Terlepas dari itu, untuk mengatasi masalah dalam proses pembahasan, RUU ITE bisa didorong agar dibahas di panitia khusus. Dengan begitu, tidak menambah beban bagi Komisi I DPR. Lagi pula, di dalam RUU ITE terdapat perubahaan sejumlah pasal terkait pidana yang sangat tepat dibahas bersama dengan anggota DPR yang duduk di Komisi III.
Pun, jika berkaca pada sejarah pembahasan RUU ITE di 2006-2008, pembahasan juga melalui pansus. Sebab, sejak awal, UU ITE ini memang dianalogikan seperti ”UU sapu jagat” karena di dalamnya tidak hanya mengatur terkait pemanfaatan teknologi internet dan penyelenggaran sistem elektronik, tetapi juga mengatur kejahatan siber. Sebagai cybercrime legislation, pengaturan RUU ITE sangat dekat dengan pengaturan di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
”Kalau hanya berharap kepada Komisi I DPR, sepertinya berat, karena pembahsan RUU Penyiaran kan sudah berlangsung lama dan sepertinya akan menjadi prioritas mereka. Jadi, lebih masuk akal dan realistis ketika RUU ITE diproses melalui baleg dengan membentuk pansus agar RUU ini tidak mandeg atau mundur-mundur terus,” ucap Wahyudi.