Dua Terdakwa Korupsi KTP Elektronik Dihukum 4 Tahun Penjara
Dua terdakwa kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik, yaitu Husni Fahmi dan Isnu Edhi Wijaya, terbukti terlibat persekongkolan dalam perencanaan proyek KTP elektronik.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
Sidang vonis dua terdakwa kasus kartu tanda penduduk elektronik, yakni Husni Fahmi dan Isnu Edhi Wijaya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (31/10/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Dua terdakwa kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk atau KTP elektronik 2011-2012, yaitu Husni Fahmi dan Isnu Edhi Wijaya, dihukum pidana penjara masing-masing 4 tahun dan pidana denda sebesar Rp 300 juta. Apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurangan masing-masing 3 bulan. Kedua terdakwa terbukti terlibat persekongkolan dalam perencanaan proyek KTP elektronik.
Putusan itu dijatuhkan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, yang dipimpin ketua majelis hakim Yusuf Pranowo, Senin (31/10/2022). Kedua terdakwa hadir didampingi oleh penasihat hukum di persidangan.
Husni ketika pengadaan KTP elektronik berlangsung menjabat sebagai Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Elektronik dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sedangkan Isnu merupakan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI).
”Bahwa terjadi persekongkolan yang dilakukan oleh Irman (bekas Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri), Sugiharto (Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri), dan Andi Agustinus (pengusaha), beberapa anggota DPR terkait proses penganggaran pekerjaan KTP berbasis NIK (nomor induk kependudukan,” kata hakim.
Hakim mengatakan, dalam perencanaan proyek KTP elektronik tersebut, Irman, Sugiharto, dan Andi juga melakukan persekongkolan dengan Ketua Panitia Pengadaan KTP Elektronik Drajat Wisnu Setiawan, Husni, Isnu, dan anggota Konsorsium PNRI lainnya, yaitu Anang Sugiana Sudiharjo serta Paulus Tanos, untuk memenangkan Konsorsium PNRI untuk memperoleh pekerjaan.
Ia menegaskan, dalam pekerjaan KTP Elektronik telah diarahkan ke perusahaan dan produk tertentu sehingga terjadi kompetisi yang tidak sehat dalam proses pengadaan dan pelaksanaannya, baik dari segi mutu maupun harga. Akibatnya, negara mengalami kerugian karena jauh dari harga pasar, barang yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan, dan masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan KTP elektronik.
Hakim mengungkapkan, Husni mengetahui adanya arahan dari Irman dan Sugiharto untuk memenangkan Konsorsium PNRI, tetapi tidak berupaya mencegah. Padahal, ia tahu perbuatan Sugiharto bertentangan dengan ketentuan peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah serta peraturan perundang-undangan lainnya.
”Bahwa atas kotribusinya melaksanakan perintah Irman dan Sugiharto memenangkan Konsorsium PNRI, (Husni) telah menerima sejumlah uang sebesar 20.000 dollar ASsecara tidak sah dari Johanes Marliem selaku vendor biometrik L-1 yang juga terafiliasi dengan Andi Agustinus dan Konsorsium PNRI,” kata hakim.
Andi dalam upaya memperoleh pekerjaan pengadaan KTP elektronik telah melakukan suap kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam pengadaan, termasuk kepada para penyelenggara negara, sehingga mereka memperoleh keuntungan dalam jumlah yang tidak sedikit. Selain memberi suap, Andi juga menerima sejumlah uang secara tidak sah atas kontribusinya mengatur dan memenangkan Konsorsium PNRI yang dipimpin Isnu. Atas peran dari Isnu, maka Perum PNRI telah mendapatkan keuntungan sejumlah Rp 107 miliar.
Atas vonis tersebut, Husni dan Isnu menyusul delapan orang yang sudah dipidana dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik, antara lain Irman, Sugiharto, bekas Ketua DPR Setya Novanto, dan Andi Agustinus.
Seusai mendengarkan vonis dari majelis hakim, terdakwa Husni dan Isnu melalui penasihat hukumnya menyatakan pikir-pikir. Begitu pula dengan jaksa penuntut umum. Adapun vonis yang diberikan hakim lebih rendah daripada tuntutan jaksa, yaitu penjara 5 tahun dan denda Rp 300 juta subsider pidana kurungan pengganti selama 6 bulan.