Ajudan Sambo Ketakutan Saat Buat BAP Kematian Brigadir J
Ajudan Sambo mengaku takut dan berada dalam tekanan Ferdy Sambo ketika di-BAP oleh penyidik Polres Jaksel terkait kematian Brigadir J.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Empat ajudan Ferdy Sambo mengaku tidak diperiksa sesuai prosedur saat dimintai keterangan untuk berita acara pemeriksaan atau BAP terkait peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh penyidik Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Mereka berada di dalam tekanan selama proses pembuatan BAP.
Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan pemeriksaan saksi untuk terdakwa Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (31/10/2022). Mereka yang bersaksi kali ini adalah Adzan Romer, Daden Miftahul Haq, Prayogi Ikrata, dan Farhan Sabilah. Mereka semua adalah polisi yang menjadi ajudan Sambo. Saat Nofriansyah dibunuh, Sambo menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri.
Sidang dipimpin oleh Wahyu Iman Santosa dengan didampingi Morgan Simanjuntak dan Alimin Ribut Sujono sebagai hakim anggota. Keempat saksi tersebut diperiksa setelah saksi sebelumnya, yaitu asisten rumah tangga Sambo, Susi, yang diperiksa beberapa jam sebelumnya.
Adzan Romer bersaksi setelah kejadian di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri di Duren Tiga, Jakarta, mereka berempat diperiksa oleh penyidik Polres Jaksel, di ruang rapat di Kantor Divisi Profesi dan Pengamanan, Mabes Polri.
Sebelum ditanya penyidik, mereka melihat BAP yang sudah tertulis pertanyaan penyidik dan jawaban mereka. Inti dari BAP palsu itu mengikuti skenario Sambo, yakni Nofriansyah meninggal dunia setelah tembak-menembak dengan Bhayangkara Dua Richard Eliezer.
”Jadi (ditanya) seputar peristiwa, tetapi itu sudah ada (jawabannya), kami tidak mendengar suara tembakan. Kami disuruh tanda tangan (BAP),” kata Adzan Romer.
Romer bahkan mengaku takut dan terancam dengan Sambo saat di-BAP. Padahal, Romer bersaksi mendengar tiga kali suara tembakan di rumah Duren Tiga pada 8 Juli.
”Takut Pak, karena ada yang meninggal, takut juga (dengan Ferdy Sambo), terancam, waktu saya pemeriksaan. Saya berada di ruang pemeriksaan paling pojok. Setelah itu yang periksa saya itu berbicara, ’kamu bawa alat perekam, ya?’ ’Siap tidak’. ’Apa itu yang merah-merah di badan kamu seperti laser’. Terus dimatikan lampunya sama bapak itu, langsung dicabut,” ucap Romer.
Sebelum Nofriansyah tewas pada 8 Juli lalu, Romer bersama dengan sopir Sambo, Bhayangkara Satu Prayogi, dan pengawal motor Sambo, Farhan Sabilah, diperintah Sambo untuk mengantarnya dari rumah pribadi Sambo di Jalan Saguling ke Sawangan, Depok, untuk bermain bulu tangkis.
Namun, tiba-tiba Sambo meminta Yogi untuk berhenti di rumah Duren Tiga. Sambo kemudian turun, mengenakan sarung tangan hitam dan membawa pistol jenis HS di saku celana sebelah kanan, kemudian masuk ke dalam rumah Duren Tiga. Sementara Yogi, Romer, dan Farhan menunggu di luar gerbang.
”Setelah sampai (Duren Tiga), baru turun, saya bukakan pintu, tiba-tiba senjata jatuh. Saya sebagai ajudan mau mengambil senjata itu, tapi keduluan Pak FS (Ferdy Sambo). Bapak menggunakan sarung tangan warna hitam. Seingat saya, pistol jenis HS, beda dengan senjataku,” tutur Romer.
Setelah itu, ia mendengar tiga kali suara tembakan, bahkan ia sampai mengokang pistolnya dan melakukan skrining pengamanan ke sekeliling rumah Duren Tiga. Akan tetapi, Romer tidak menemukan kejanggalan di luar rumah, dia lantas masuk ke dalam melalui pintu dapur dekat garasi. Di sana, ia berpapasan dengan Sambo, dia kemudian menodongkan pistol ke arah Sambo refleks, siaga setelah mendengar suara tembakan.
”Saya kaget dan saya angkat senjata, saya todong bapak (Sambo). Bapak terus angkat tangan, saat itu sudah tidak pakai sarung tangan. Bapak lalu bilang ’itu ibu, ibu di dalam’, saya kemudian masuk ke dalam,” ujar Romer.
Saat masuk ke dalam rumah, Romer melihat jenazah Nofriansyah sudah tergeletak di bawah tangga. Dia bertanya kepada Eliezer ihwal peristiwa itu, lalu dijawab Eliezer, ”Saya refleks, Bang.” Setelah itu, dia keluar dan bertemu Sambo lagi, dia disikut Sambo dengan berkata, ”Kalian tidak bisa jaga Ibu.”
Mendengar kesaksian ini, Eliezer tidak terlalu banyak keberatan, dia hanya menampik saat perjalanan dari rumah Saguling ke rumah Duren Tiga berangkat bersama istri Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal, Kuat Maruf, dan Nofriansyah. Saat itu, dia duduk di belakang bersama Kuat, bukan di tengah bersama Putri. Majelis hakim kemudian menskors sidang hingga pukul 20.00 sebelum melanjutkan pemeriksaan saksi.
Saksi yang diperiksa untuk terdakwa Eliezer hari ini adalah Adzan Romer (ajudan), Farhan Sabilah (ajudan), Prayogi Ikrata Wikaton (ajudan), Daden Miftahul Haq (ajudan), Marjuki (petugas satpam kompleks), Damianus Laba Kobam (petugas satpam kompleks), Alfonsius Dua Lurang (petugas satpam kompleks), Daryanto alias Kodir (ART), Abdul Somad (ART), Susi (ART), dan Leonardo Sambo (kakak Sambo).
Adapun terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah ini selain Ferdy Sambo adalah istri Sambo, Putri Candrawathi; ajudan Sambo, Brigadir Kepala Ricky Rizal; dan asisten rumah tangga Sambo, Kuat Maruf; serta ajudan Sambo lainnya, Bhayangkara Dua Richard Eliezer yang dalam kasus ini menjadi justice collaborator.
Kelima terdakwa didakwa melanggar Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Pembunuhan Berencana dengan ancaman pidana maksimal hukuman mati, kurungan penjara seumur hidup, dan minimal 20 tahun penjara.