Korupsi Dinasti Politik Terjadi di Bangkalan, Jawa Timur
Bupati Bangkalan Abdul Latif Amin Imron diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan lelang jabatan. Abdul Latif pun dicegah bepergian ke luar negeri sejak 13 Oktober 2022 hingga 13 April 2023.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
PHE WMO
Bupati Bangkalan R Abdul Latif Amin Imron membuka kembali Taman Pendidikan Mangrove Desa Labuhan, Kecamatan Sepulu, Bangkalan, Kamis (1/8/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Kasus dugaan korupsi kembali terjadi pada kepala daerah di Bangkalan, Jawa Timur. Kali ini, diduga menjerat Bupati Bangkalan Abdul Latif Amin Imron terkait dengan kasus lelang jabatan. Korupsi yang terjadi pada dinasti politik disebabkan oleh persaingan kandidasi kepala daerah yang tidak sehat dan masyarakat yang sangat permisif terhadap persoalan dinasti politik.
Sebelum Abdul Latif berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bupati Bangkalan 2003-2012 Fuad Amin Imron yang merupakan kakak dari Abdul Latif terlebih dulu ditangani KPK. Fuad Amin merupakan narapidana kasus suap dan pencucian uang. Ia meninggal pada 16 September 2019 ketika masih menjalani masa hukuman 13 tahun penjara.
Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM Achmad Nur Saleh mengatakan, Abdul Latif Amin Imron masuk daftar pencegahan bepergian ke luar negeri atas usulan dari KPK. ”Masa berlaku pencegahan (Abdul Latif) 13 Oktober 2022 sampai dengan 13 April 2023,” kata Achmad saat dihubungi di Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Secara terpisah, ketika ditemui, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, umumnya pencekalan untuk tidak pergi ke luar negeri tidak mungkin dilakukan pada tingkat penyelidikan. Pencekalan dilakukan ketika sudah masuk pada tahap penyidikan sehingga ada upaya paksa.
Masa berlaku pencegahan (Abdul Latif) 13 Oktober 2022 sampai dengan 13 April 2023.
”Upaya paksanya apa? Dilakukan penggeledahan dan penyitaan, sudah kita lakukan, kan. Berarti statusnya sudah penyidikan,” kata Alexander. Ia menegaskan, ketika sudah masuk pada tahap penyidikan, maka sudah ada tersangkanya. Namun, Alexander tidak mau menjawab terkait dengan status Abdul Latif.
Saat ditanya dugaan korupsi yang menjerat Abdul Latif, Alexander mengatakan, tidak hanya terkait lelang jabatan. ”Mungkin biasanya, kan, itu awalnya ada yang lapor terjadi jual-beli jabatan. Setelah didalami, mungkin ada kegiatan PBJ (pengadaan barang/jasa). Kan, bisa jadi. Ada terkait dengan perizinan. Kan, umumnya seperti itu,” ucapnya.
Ada dua hal yang menyebabkan korupsi terjadi pada dinasti politik, yakni dimensi struktural dan kultural.
Struktural dan Kultural
Struktural dan kultural
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman menuturkan, ada dua hal yang menyebabkan korupsi terjadi pada dinasti politik, yakni dimensi struktural dan kultural.
Dari sisi struktural bisa dilihat dari undang-undang atau peraturan terkait dengan proses seleksi penetapan kepala daerah yang mewajibkan beberapa kuota kursi. Itu menyulitkan terjadinya persaingan yang sehat untuk kandidasi kepala daerah, baik itu di tingkat provinsi maupun di bawahnya.
DOK. HERMAN N SUPARMAN
Herman N Suparman
Terkait dengan dimensi struktural di tubuh partai politik, proses kaderisasi perekrutan dan kader partai politik seharusnya dilakukan berbasis sistem merit berdasarkan kompetensi, kapasitas, atau ideologi partai.
Yang kita lihat justru orang-orang yang maju dari partai politik atau yang ditanamkan oleh partai politik adalah orang-orang yang memang memiliki kecukupan finansial sehingga dia bisa dicalonkan oleh partainya sendiri sekalipun.
”Dalam praktiknya, kan, itu hanya jadi harapan yang tidak pernah menjadi kenyataan. Yang kita lihat justru orang-orang yang maju dari partai politik atau yang ditanamkan oleh partai politik adalah orang-orang yang memang memiliki kecukupan finansial sehingga dia bisa dicalonkan oleh partainya sendiri sekalipun,” kata Herman.
Dari sisi kultural, menurut Herman, masyarakat sangat permisif. Mereka sudah tahu kasus korupsi dalam dinasti politik, tetapi tetap memilih mereka. Karena itu, dibutuhkan literasi dalam berpolitik bagi masyarakat. Belum lagi persoalan terkait dengan identitas dari kepala daerah. Herman menjelaskan, sejumlah kepala daerah mengidentikkan diri dengan kelompok tertentu, baik basis suku maupun agama.
Menurut Herman, dua hal tersebut membuat dinasti politik tidak akan bisa dimusnahkan secara sempurna. Apalagi, keluarga dari petahaan boleh maju karena merupakan warga negara yang berhak untuk dicalonkan ataupun mencalonkan diri. Ia berharap persoalan tersebut perlu dipikirkan, terutama perbaikan dari sisi regulasi.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Bupati Bangkalan, Jawa Timur, Fuad Amin menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (19/10/2015). Majelis hakim menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan penjara. Fuad terbukti menerima suap dan melakukan pencucian uang.
Terkait dengan jual-beli jabatan yang terjadi di daerah, kata Herman, hal itu terjadi karena kepala daerah, baik itu gubernur, bupati, maupun wali kota, diberi kewenangan sebagai pejabat pembina kepegawaian. Mereka berwenang untuk mendemosi, mempromosi, dan memutasi sehingga nasib aparatur sipil negara (ASN) di daerah sangat bergantung pada kebijakan dari kepala daerah. Hal tersebut membuka ruang terjadi praktik jual-beli jabatan di daerah.
Ia menambahkan, dalam proses pencalonan kepala daerah membutuhkan biaya besar. Agar dianggap memiliki uang, mereka harus mendapatkan dukungan dari korporasi atau pengusaha yang berpengaruh pada saat menjabat. Korupsi perizinan hingga penyuapan pengadaan barang dan jasa merupakan imbas dari balas jasa dalam proses pencalonan kepala daerah.