Belajar dari Aldera, Generasi Muda Mesti Merawat Nalar Kritis
Kebebasan berekspresi yang diraih saat ini sepatutnya dapat dimanfaatkan anak muda untuk mengkritisi kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
CONTENT MARKETING KOMPAS/EGBERT SIAGIAN
Peluncuran dan Bincang Buku Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999 di Universitas Nasional, Jakarta, Jumat (28/10/2022). Diskusi ini membahas pula gerakan anak muda era reformasi yang berhasil melengserkan rezim Presiden Soeharto.
JAKARTA, KOMPAS — Gerakan mahasiswa berhasil mengantarkan Indonesia ke gerbang reformasi dengan meruntuhkan rezim pemerintahan Presiden Soeharto yang dinilai otoriter. Belajar dari pengalaman itu, semestinya generasi muda saat ini tetap merawat nalar kritis meski menghadapi tantangan yang berbeda.
Pada era Orde Baru, banyak gerakan mahasiswa bergerilya untuk memperjuangkan demokrasi. Salah satunya Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera) yang terbentuk dari gerakan mahasiswa di berbagai kota di Indonesia.
Mantan Sekretaris Jenderal Aldera Pius Lustrilanang menuturkan, organisasi tersebut fokus untuk menggerakkan reformasi dan melawan kediktatoran rezim pemerintahan Presiden Soeharto. Sebab, demokratisasi merupakan tujuan utama perjuangan Aldera.
”Berjuang sedari muda, melatih diri untuk belajar teori-teori perubahan. (Organisasi ini) sadar rezim (Soeharto) harus diturunkan dengan rezim yang lebih demokratis,” ujar Pius dalam video yang diputar pada Peluncuran dan Bincang Buku Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999 di Universitas Nasional, Jakarta, Jumat (28/10/2022).
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Pius Lustrilanang
Pius menilai, gerakan mahasiswa sebelum reformasi berisiko lebih tinggi karena harus berhadapan langsung dengan represi aparat. Tak jarang mahasiswa yang berani mengkritisi pemerintah akan dipukul, ditendang, ditangkap, bahkan ditembak, seperti terjadi para peristiwa Semanggi I dan Semanggi II.
Gerakan mahasiswa saat melengserkan Soeharto dengan masa kini tentu memiliki pola dan tantangan yang berbeda. Jika dulu pertemuan harus digelar secara rahasia, kini anak muda dapat mengakses dan menyebar informasi dengan bebas. Tak hanya itu, Pius beranggapan represi aparat sudah jarang ditemukan.
Hal senada dikatakan penulis buku Aldera Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999, Nanang Pujalaksana. Ia beranggapan, anak muda saat ini sejak lahir telah hidup di zaman demokrasi. Tak mudah untuk menceritakan rezim otoriter Soeharto ke generasi saat ini karena perbedaan latar belakang.
Kebebasan berekspresi yang diraih saat ini sepatutnya dapat dimanfaatkan anak muda agar tetap bersifat kritis.
Meski demikian, kebebasan berekspresi yang diraih saat ini sepatutnya dapat dimanfaatkan anak muda agar tetap bersifat kritis. Aktivis yang pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) 1977-1978, S Indro Tjahyono, menjelaskan, setidaknya ada tiga karakteristik untuk membangun organisasi yang kuat. Pertama, gerakan harus memiliki platform dengan visi yang dibangun oleh semua aktivisnya. Kedua, organisasi perlu dibentuk untuk menaungi gerakan yang dibuat. Terakhir, penggerak-penggerak organisasi perlu berjejaring di seluruh Indonesia.
”Pada waktu 1997-1998, jaringan kita sudah begitu ketat sehingga mengalahkan Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang disusun tentara karena kita di pelosok-pelosok juga ada. Inilah yang membuat keberhasilan mahasiswa pada waktu itu,” ujar Indro.
Gerakan anak muda saat ini sudah didukung dengan beragam platform, salah satunya media sosial. Namun, Indro melihat, dukungan itu belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong perubahan.
KOMPAS/EDDY HASBY
Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR.
Berbeda dengan Indro, ekonom senior Faisal Basri beranggapan, mahasiswa saat ini juga masih berani mengkritisi pihak-pihak yang sewenang-sewenang, seperti perguruan tinggi. Ia mencontohkan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Bayu Satria Utomo yang tak takut dikeluarkan saat mengkritisi kebijakan kampusnya.
”Karena dia tahu rules of the game hasil reformasi yang melindungi mahasiswa dari kesewenang-wenangan rektor,” kata Faisal.
Perbedaan pola gerakan
Dihubungi secara terpisah, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Budiman Sudjatmiko, mengatakan, perubahan zaman membuat tantangan gerakan anak muda era lama berbeda dengan generasi muda masa kini. Pada era Orde Baru, anak muda fokus untuk melengserkan diktator, sedangkan generasi saat ini salah satu agenda utamanya mengawal kesetaraan akses digital.
”Selain akses atas upah, perumahan, dan isu-isu klasik lainnya, akses digital juga penting. Sebab, menentukan kesehatan, pendidikan, serta sektor-sektor lainnya,” ujar Budiman yang juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia Budiman Sudjatmiko.
Meski tak sekeras dulu, gerakan anak muda saat ini masih efektif untuk mengubah dan memperbaiki kebijakan pemerintah. Budiman juga mendorong mahasiswa agar berani untuk mengoreksi atau mendorong proses penyusunan undang-undang. Sebagai contoh, mendukung rancangan undang-undang perampasan aset koruptor.
”Gerakan massa tidak harus selalu menentang pemerintahan, kalau ada gagasan baik, kenapa tidak didukung? Tapi, kalau ada gagasan yang salah, ya, kritik saja,” kata deklarator Partai Rakyat Demokratik pada 1996 tersebut.
Anak muda saat ini bisa memanfaatkan sejumlah platform untuk menyatukan suara, salah satunya melalui media sosial. Walau tak selalu berhasil, sejumlah gerakan dengan tagar populer dan viral juga mampu mengubah kebijakan pemerintah.
”Belum sempurna keadaan sekarang, tapi sudah ada progress. Ya, kita jaga saja momentum kemajuan ini,” ujar Budiman.