Ombudsman Telaah Laporan Pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto
Apabila syarat formil dan materiil sudah lengkap, laporan masyarakat sipil mengenai pemberhentian hakim konstitusi Aswanto akan masuk pada pleno pimpinan Ombudsman RI.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan mengadukan dugaan malaadministrasi atas pemberhentian dan penggantian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR, di Ombudsman Republik Indonesia, Jakarta, Jumat (21/10/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI masih menelaah laporan masyarakat sipil mengenai pemberhentian hakim konstitusi Aswanto dari sisi aspek formil dan materiil. Jika kedua aspek itu sudah lengkap, tahapan selanjutnya akan masuk ke pleno pimpinan untuk dibahas apakah bisa ditindaklanjuti oleh Ombudsman atau tidak.
”Sedang verifikasi aspek formil dan materiilnya,” kata Ketua Ombudsman RI (ORI) Mokhammad Najih saat dihubungi di Jakarta, Minggu (23/10/2022), terkait laporan atas dugaan malaadministrasi pemberhentian hakim konstitusi Aswanto.
Dia menjelaskan, verifikasi aspek formil mencakup aspek persyaratan pelapor untuk memenuhi sebagai pihak yang melapor, terkait dengan subyek, KTP, dan sebagainya. Adapun syarat materiil terkait substansi laporannya apakah memenuhi atau merupakan kewenangan ORI atau bukan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI.
Terpisah, anggota Ombudsman RI, Robert Endi Jaweng, menambahkan, laporan yang masuk di unit kerja pengaduan masyarakat akan dilihat syarat formil dan materiilnya. Apabila syarat formil dan materiil sudah lengkap, laporan tersebut masuk pada pleno pimpinan untuk dilihat sejauh mana laporan tersebut bisa atau tidak secara substansi ditindaklanjuti oleh Ombudsman.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih
Sebelumnya, pada Jumat (21/10/2022), Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan, yang terdiri dari Transparency International Indonesia (TII), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Corruption Watch (ICW), Pattiro Semarang, Setara Institute, dan Kode Inisiatif melaporkan pimpinan DPR ke Ombudsman atas dugaan malaadministrasi pemberhentian Aswanto.
”Laporan dugaan malaadministrasi tersebut merujuk pada tindakan serampangan lembaga legislatif yang berusaha untuk mengintervensi Mahkamah Konstitusi,” kata peneliti Transparency International Indonesia, Sahel Muzzammil.
Sebelumnya, Komisi III DPR pada 29 September 2022 sepakat untuk tidak memperpanjang jabatan Aswanto dan memberhentikannya dari posisi hakim konstitusi. Tak lama kemudian, Komisi III mengundang Guntur Hamzah dan menetapkannya sebagai pengganti Aswanto. Kamis siang, keputusan Komisi III mengganti Aswanto dengan Guntur disetujui dalam Rapat Paripurna DPR.
Sahel menjelaskan, tindakan dugaan malaadministrasi tersebut bermula dari kekeliruan DPR dalam menafsirkan surat pimpinan Mahkamah Konstitusi Nomor 3010/KP.10/07/2022 tertanggal 21 Juli 2022 perihal Pemberitahuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020.
Menurut Sahel, surat itu hanya sekadar pemberitahuan dampak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait masa jabatan hakim konstitusi yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi. Namun, Pimpinan DPR malah membenarkan keputusan Komisi III DPR yang tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto dan mengangkat Guntur Hamzah sebagai penggantinya dalam forum rapat paripurna tanggal 29 September 2022.
Suasana saat aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan beberapa perwakilan elemen masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Madani di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, menggelar aksi seruan penyelamatan Mahkamah Konstitusi, Selasa (4/10/2022).
Ia menegaskan, keputusan DPR melalui forum paripurna melanggar hukum. Sebab, Pasal 23 Ayat (1) dan (2) UU Mahkamah Konstitusi telah menjabarkan alasan-alasan pemberhentian hakim konstitusi, baik secara hormat maupun tidak dengan hormat. Bahkan, Pasal 23 Ayat (4) UU Mahkamah Konstitusi juga dilanggar. Sebab, proses pemberhentian hakim konstitusi dilakukan atas permintaan Ketua MK, bukan Pimpinan DPR.
Dalam rumpun peraturan perundang-undangan yang lain, kata Sahel, tindakan pimpinan DPR melalui forum rapat paripurna juga bertentangan dengan Pasal 10 Ayat (1) Huruf a dan e UU Administrasi Pemerintahan. Aturan itu mewajibkan pejabat publik untuk taat pada asas-asas umum pemerintahan yang baik, yakni asas kepastian hukum dan tidak menyalahgunakan kewenangan.
Apalagi, kata dia, pimpinan Komisi III DPR menyatakan bahwa alasan pemberhentian Aswanto karena dianggap kerap menganulir produk legislasi DPR. ”Maka dari itu, keputusan pemberhentian hakim konstitusi Aswanto oleh Pimpinan DPR melalui forum paripurna tidak berdasar hukum dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan kami anggap sebagai perbuatan malaadministrasi,” kata Sahel.
Oleh karena itu, masyarakat sipil mendesak Ombudsman segera memanggil pimpinan DPR untuk menjelaskan lebih lanjut permasalahan pemberhentian Aswanto. Jika ditemukan malaadministrasi, Ombudsman harus merekomendasikan kepada pimpinan DPR untuk segera membatalkan keputusan forum paripurna yang telah memberhentikan Aswanto.