Kepuasan dan Keyakinan pada Pemerintah Turun
Angka kepuasan dan keyakinan publik pada pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin kembali turun. Pemerintah menjadikan penilaian publik ini sebagai bahan perbaikan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F10%2F24%2F37f18460-d254-4a36-a651-84ee54f87569_jpg.jpg)
Sidang Kabinet Paripurna yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/10/2019).
> Tingkat kepuasan pada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin sebesar 62,1 persen atau turun 5 persen dari Juni 2022
> Eksekutif tak bisa bekerja sendirian, tetapi membutuhkan sokongan dari legislatif, selain yudikatif yang juga harus berbenah
> Perbaikan penegakan hukum jangan hanya melihat momentum, tetapi dibutuhkan keseriusan aktor-aktornya.
JAKARTA, KOMPAS - Tingkat kepuasan dan keyakinan publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin kian tergerus. Penurunan angka kepuasan terdalam terjadi pada aspek penegakan hukum. Perlu ada lompatan perbaikan agar bangsa tak terjerembap dalam disorientasi yang menguatkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
Mengacu pada hasil survei Litbang Kompas periode Oktober 2022, tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin sebesar 62,1 persen atau turun 5 persen dari survei Juni 2022. Padahal, dalam survei Januari 2022, tingkat kepuasan mencapai level tertinggi selama pemerintahan Jokowi-Amin, yakni 73,9 persen.
Penurunan tingkat kepuasan diikuti penurunan tingkat keyakinan publik kepada kinerja pemerintahan. Hasil survei periode Oktober 2022 menunjukkan, tingkat keyakinan menyentuh angka 52 persen, terendah sejak awal pemerintahan. Pada survei Juni 2022, tingkat keyakinan 63,5 persen dan Januari 2022 70,5 persen.
Dari empat aspek yang disurvei, penegakan hukum turun terdalam, yakni dari 57,5 persen menjadi 51,5 persen. Penurunan ini pararel dengan tergerusnya kepercayaan publik terhadap instansi-instansi yang terkait penegakan hukum. Polri turun terdalam, yakni turun 17,2 persen menjadi 49 persen. MA turun 10,2 persen menjadi 52 persen. Untuk tiga aspek lainnya, politik dan keamanan, ekonomi, serta kesejahteraan sosial, ada peningkatan meski tidak signifikan.

Bahan perbaikan
Menyikapi hasil survei tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, saat diwawancarai pada akhir pekan lalu, melihat penurunan pada aspek penegakan hukum dipengaruhi peristiwa-peristiwa bersifat insidental, bukan pada situasi keamanan yang umumnya dinilai masih baik. Peristiwa dimaksud, pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Tragedi Kanjuruhan, serta dugaan jual beli perkara yang melibatkan Hakim Agung Kamar Perdata Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati.
Terlepas dari hal itu, hasil survei dijadikan bahan refleksi untuk perbaikan. Upaya perbaikan harus segera dilakukan karena jika tidak, Indonesia bisa masuk ke dalam situasi disorientasi yang justru memantik ketidakpercayaan publik, pembangkangan, dan berujung pada disintegrasi.
”Kalau disintegrasi terjadi, tidak akan bisa disatukan,” ujar Mahfud.
Untuk itu, perlu ada orkestrasi dari seluruh institusi kenegaraan agar mempunyai pandangan yang sama tentang masalah yang dihadapi negara dan arah memperbaikinya. Eksekutif tak bisa bekerja sendirian, tetapi membutuhkan sokongan dari legislatif, selain yudikatif yang juga harus berbenah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F12%2F27d7f32a-50c7-4fea-b014-d49ac3f1031e_jpg.jpg)
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, di Jakarta, Senin (12/9/2022).
Untuk Polri, dibutuhkan reformasi mental dan kultural. Hal ini menyangkut ketaatan, kedisiplinan, keteladanan, dan ketegasan. Reformasi juga berkaitan dengan persoalan gaya hidup mewah anggota Polri yang dikritik Presiden.
Untuk MA, menurut Mahfud, pemerintah tak bisa langsung masuk membenahinya karena ada prinsip independensi lembaga peradilan. Namun, melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Menteri Hukum dan HAM, pemerintah dapat melakukan pembenahan dengan memperbaiki pengelolaan aparatur sipil negara di lingkungan MA. Setiap tahun, ASN bisa dipindah untuk mencegah mereka menjadi perantara jual beli perkara antara hakim dan pihak beperkara.
Selain itu, peran Komisi Yudisial (KY) juga perlu diperkuat kembali. Saat ini, rekomendasi sanksi bagi hakim yang dikeluarkan KY dapat sewaktu-waktu ditolak MA. Padahal, KY di negara-negara lain tak hanya dapat merekomendasikan pemecatan hakim, tetapi juga bisa mengawasi perilaku.
Senada dengan Mahfud, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menegaskan, pemerintah akan terus mengupayakan perbaikan.

Peran elite politik
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengingatkan, reformasi Polri tak cukup sebatas soal gaya hidup. Hal itu hanya sebagian dari reformasi kultural. Ada hal lain yang perlu ditekankan, mulai dari bangunan sistem guna mencegah pungutan liar, memastikan perkara ditangani secara benar, hingga mencegah utak-atik perkara.
Selain itu, dibutuhkan pula reformasi struktur dan substansi aturan. Reformasi struktur berkaitan dengan restrukturisasi organisasi Polri, sedangkan reformasi substansi aturan bertujuan memastikan perbaikan kultur di Polri. ”Semua itu sebenarnya menjadi tugas besar, tetapi justru dilupakan,” tambah Zainal.
Yang juga penting, reformasi tak bisa sepenuhnya bergantung pada Polri. Mengutip disertasi ”The Rise of Polri: Democratisation and the Political of Security in Indonesia” (2012) yang ditulis peneliti dari London School of Economics, Jacqueline Baker, elite politik memegang fungsi penting karena berperan membuat kebijakan yang akan berpengaruh pada institusi keamanan.
Untuk itu, Zainal berharap semua pihak menjadikan sejumlah kasus belakangan ini, baik yang terjadi di kepolisian maupun MA, sebagai momentum perbaikan. Upaya perbaikan jangan berjalan sesaat dan kemudian nanti terulang. ”Perbaikan institusi ini jangan hanya melihat momentum, tetapi juga dibutuhkan keseriusan aktor-aktornya. Harus ada lompatan perbaikan yang luar biasa,” ujarnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F05%2F20%2Ff8b1ba88-541d-4a5b-bd82-18399d231da1_jpeg.jpg)
Zaenal Arifin Mochtar
Sementara itu, dari aspek ekonomi, meski terjadi peningkatan tipis kepuasan terhadap kinerja pemerintahan, dua isu tetap disoroti karena tingginya ketidakpuasan publik. Keduanya ialah kinerja pemerintah dalam mengendalikan harga barang dan jasa (62 persen responden tidak puas) serta kinerja mengurangi angka pengangguran (55 persen).
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pemerintah harus mengoptimalkan ruang gerak fiskal yang terbatas dengan lebih berhati-hati dalam menetapkan alokasi belanja. Perlindungan sosial harus menjadi prioritas di atas program lain yang tak mendesak.
”Memang, tahun depan ekonomi kita diprediksi masih aman, tetapi itu saja tidak cukup. Boleh saja normalisasi kebijakan (fiskal), tetapi ekonomi di grassroot harus jadi pertimbangan terbesar. Perlu ekstra hati-hati mengurangi belanja bansos dan insentif,” ujarnya.
Dari sisi penciptaan lapangan kerja, ia menyoroti belum banyaknya pekerjaan yang layak. ”Ini bukan hanya perkara banyak-banyakan lapangan kerja. Bisa saja pengangguran turun, tetapi masyarakat bekerja dengan income (pendapatan) lebih rendah atau terserap di sektor informal,” katanya.