Reformasi Polri Harus Dimulai dari Sekolah Kepolisian
Kurikulum di sekolah kepolisian dianggap terlalu fokus pada penegakan hukum tanpa memikirkan dampak polisi terhadap masyarakat. Padahal polisi membutuhkan pelajaran tentang sosial budaya agar bisa menyesuaikan diri.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Reformasi Kepolisian Negara RI harus dimulai dari perombakan kurikulum di pendidikan kepolisian. Setiap calon anggota kepolisian harus dididik untuk menjadi polisi yang humanis dan berdampak bagi masyarakat, bukan sekadar mempelajari tata cara penegakan hukum.
Hal itu diungkapkan oleh Guru Besar Universitas Indonesia Profesor Sulistyowati Irianto dalam diskusi ”Urgensi Reformasi Polri” yang digelar Visi Integritas secara daring pada Sabtu (22/10/2022). Sulistyowati menekankan, Polri harus kembali merombak kurikulum di sekolah kepolisian dengan meningkatkan pelajaran bermasyarakat untuk menjadi polisi yang humanis.
”Kurikulum yang diberikan di sekolah kepolisian itu harus mengakomodasi kebutuhan polisi untuk mengenal masyarakat dan kebudayaannya secara lebih luas. Sebab, hukum itu bukan hanya ranah doktrinal,” kata dosen yang juga sudah mengajar selama 30 tahun di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) Jakarta ini.
Menurut Sulistyowati, polisi sangat membutuhkan pelajaran tentang sosial budaya agar ia bisa menyesuaikan diri ketika melayani masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Adapun saat ini kurikulum di sekolah kepolisian hanya menekankan pada tata cara penegakan hukum.
”Polisi harus paham bahwa hukum tidak bisa dipelajari secara fokus pada satu disiplin akademik, karena tuntutan dari perkembangan masyarakat yang kebutuhannya berbeda-beda. Terlebih kita melihat dunia hukum juga sudah diintervensi oleh kecerdasan buatan,” ucapnya.
Dia berharap anggota polisi lulusan STIK juga menghasilkan studi-studi yang berdampak langsung pada masyarakat, tidak hanya sekadar syarat lulus. ”Jangan cuma mengulang topik-topik sebelumnya, ini sesuatu yang tidak membuat kita menjadi lebih pintar,” ujar Sulistyowati.
Dihubungi terpisah, pada Sabtu (22/10/2022) dari Jakarta, Kepala STIK Inspektur Jenderal Yazid Fanani menilai, kurikulum yang diterapkan di STIK sekarang sudah mengajarkan polisi untuk bermasyarakat dan mengikuti perkembangan zaman. Mata pelajaran seperti sosiologi, budaya, psikologi, hingga hubungan antarsuku bangsa juga disebutnya sudah diajarkan di STIK.
”Kurikulum yang sekarang ini kami rasa sudah memadai karena juga membangun kompetensi humaniora. Namun, tantangan selalu berubah, anak didik kita itu, kami selalu kasih yang terkini. Kurikulum ini sifatnya dinamis selalu kami benahi berdasarkan kajian,” kata Irjen Yazid.
Kurikulum yang diterapkan di STIK sekarang sudah mengajarkan polisi untuk bermasyarakat dan mengikuti perkembangan zaman.
Kurikulum tersebut, lanjut Yazid, juga sudah diperbarui terakhir pada 2021 dan dievaluasi oleh Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri setiap dua tahun sekali. Dia berharap, masyarakat juga terlibat dalam reformasi Polri sehingga setiap ada polisi yang bertindak tidak sesuai aturan agar dilaporkan dan diproses sesuai ketentuan.
Selain kurikulum, mantan komisioner di Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Adnan Pandu Praja, menambahkan, reformasi Polri juga harus membawa perubahan bagi Kompolnas sebagai pengawas kinerja kepolisian.
Dia menilai, berbagai hal yang mengemuka dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Ferdy Sambo menyibak kerusakan yang terstruktur, sistemik, dan masif di tubuh Polri. Kasus yang melibatkan puluhan personel Polri ini juga mengungkap kurang kuatnya Kompolnas.
”Kasus Sambo ini terstruktur, sistemik, dan masif, peran Kompolnas harus kuat di sini. Saatnya memperkuat Kompolnas karena inilah jawaban dari persoalan Sambo,” kata Adnan.
Adnan menyebut, sebaiknya Kompolnas bekerja dengan sistem korporasi, yakni bisa melakukan investigasi atas kinerja Polri. Misalnya, dengan dibantu komite-komite, seperti komite audit, komite nominasi dan remunerasi, serta komite risiko agar pengawasan berjalan baik.
”Jadi pihak ketiganya yang memperbaiki. Begitulah cara korporasi bekerja untuk mereformasi dan memperbaiki persoalan di institusi atau sistemnya,” tuturnya.