Ombudsman Didesak Segera Periksa Pimpinan DPR Terkait Pemberhentian Aswanto
Pimpinan DPR menilai pemberhentian dan penggantian Hakim Konstitusi Aswanto sudah mengikuti mekanisme yang berlaku. Tak ada intervensi dari pihak mana pun terkait keputusan pemberhentian itu.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan melaporkan jajaran pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat atas dugaan malaadministrasi terkait pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto ke Ombudsman RI. Laporan itu merujuk pada tindakan serampangan lembaga legislatif tersebut yang dinilai sebagai upaya untuk mengintervensi Mahkamah Konstitusi.
Jajaran pimpinan DPR yang dilaporkan adalah Puan Maharani selaku Ketua DPR sertra Lodewijk Paulus, Sufmi Dasco, Rachmad Gobel, dan Muhaimin Iskandar masing-masing selaku Wakil Ketua DPR. Ombudsman diminta segera memanggil lima pimpinan DPR tersebut untuk dimintai keterangan lebih lanjut.
”Jika ditemukan malaadministrasi, Ombudsman harus merekomendasikan kepada pimpinan DPR untuk segera membatalkan keputusan forum paripurna yang telah memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto,” ujar Kurnia Ramadhana dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Jumat (21/10/2022).
Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan merupakan wadah dari sejumlah organisasi yang memiliki perhatian terhadap Mahkamah Konstitusi dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Koalisi terdiri dari Transparency International Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Corruption Watch (ICW), Setara Institute, Kode Inisiatif, dan Pattiro Semarang.
Kurnia menilai, tindakan malaadministrasi tersebut bermula dari kekeliruan DPR dalam menafsirkan surat Ketua MK Nomor 3010/KP.10/07/2022 tertanggal 21 Juli 2022 perihal pemberitahuan putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan, perubahan sistem periodisasi masa jabatan hakim MK (lima tahunan dan dapat diperpanjang untuk satu kali periode) ke sistem pensiun di usia 70 tahun konstitusional. Demikian pula Pasal 87 Huruf b UU MK yang mengatur pemberlakuan bagi hakim konstitusi yang menjabat saat ini.
Untuk melanjutkan masa jabatannya, MK dalam pertimbangannya menyatakan perlunya ada tindakan hukum berupa konfirmasi yang dimaknai sebagai pemberitahuan mengenai perubahan sistem masa jabatan tersebut.
Namun, Komisi III DPR justru memutuskan memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto dan menunjuk Guntur Hamzah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK saat ini, sebagai pengganti. ”Pimpinan DPR malah membenarkan keputusan Komisi III DPR dalam forum rapat paripurna tanggal 29 September 2022,” kata Kurnia Ramadhana.
Menurut dia, keputusan DPR tersebut melanggar hukum. Pasal 23 Ayat (1) dan (2) UU MK telah secara jelas menjabarkan alasan-alasan pemberhentian hakim konstitusi, baik secara hormat maupun tidak hormat. ”Jika dilihat lebih lanjut, Hakim Konstitusi Aswanto tidak memenuhi satu pun unsur tersebut. Tak cukup itu, Pasal 23 Ayat (4) UU MK juga dilanggar karena pemberhentian hakim konstitusi dilakukan atas permintaan Ketua MK, bukan pimpinan DPR,” ujarnya.
Anggota Ombudsman RI, Robert Endi Jaweng, saat dikonfirmasi mengatakan, pihaknya belum mengetahui adanya laporan tersebut. ”Laporan tersebut belum masuk ke kami pimpinan,” ujarnya.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menilai, laporan ke Ombudsman sah-sah saja. Namun, ia yakin yang telah ditempuh DPR dengan memberhentikan Aswanto dan menggantinya dengan Sekjen MK Guntur Hamzah sudah tepat. Ini karena DPR memiliki kewenangan untuk mengevaluasi Hakim MK.
”Ada evaluasi-evaluasi yang dilakukan DPR sebagai salah satu tugas DPR di bidang pengawasan. Kemudian, hasil evaluasi dirapatkan di komisi teknis terkait yang melakukan fit and proper (uji kelayakan dan kepatutan),” tuturnya.
Komisi dimaksud adalah Komisi III DPR. Hasil evaluasi komisi kemudian mengeluarkan keputusan pemberhentian penggantian Aswanto yang lantas dimintakan persetujuan ke semua anggota DPR melalui rapat paripurna DPR. DPR pun menyetujuinya.
”Mekanisme sudah dijalankan sesuai aturan yang berlaku, kemudian hasil keputusan paripurna menyetujui, lalu diambil sebuah keputusan terhadap Hakim MK, yaitu Pak Aswanto,” ucapnya.
Ia menegaskan tak ada intervensi dari pihak luar ke DPR dengan pemberhentian Aswanto.