Apa isi buku bersampul hitam yang selalu dibawa bekas Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo? Apakah buku itu hanya berisi informasi biasa atau informasi rahasia yang bisa menimbulkan keguncangan di tubuh Polri?
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Terdakwa Ferdy Sambo tiba di ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengikuti sidang kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Senin (17/10/2022).
Bekas Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo selalu membawa buku bersampul hitam. Kuasa hukum Ferdy Sambo, Arman Hanis, seperti dikutip sejumlah media, menjelaskan, buku hitam tersebut merupakan catatan harian seluruh kegiatan Sambo sejak masih menjabat sebagai Kepala Subdirektorat III Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri.
Apa saja isi buku hitam tersebut dan apakah perannya signifikan dalam pengungkapan kasus di internal kepolisian, hal tersebut dibahas dalam Satu Meja The Forum yang disiarkan Kompas TV, Rabu (19/10/2022) malam. Ada yang menduga buku tersebut memuat catatan kelam kolega-kolega Sambo di kepolisian, tetapi ada pula yang berpendapat itu hanya buku catatan biasa yang lazim dibawa oleh perwira polisi.
Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Inspektur Jenderal (Purn) Benny Mamoto mengatakan, membawa buku catatan merupakan tradisi perwira tinggi di kepolisian pada saat dipanggil rapat ataupun briefing. Biasanya buku catatan itu dibawakan oleh ajudan perwira tinggi tersebut. Sambo membawa sendiri buku hitamnya mengingat saat ini dirinya tidak lagi memiliki ajudan.
Saat ditanya apakah mungkin buku hitam tersebut berisi informasi rahasia yang didapat Sambo selama menjabat, Benny berpendapat, ”Kalau rahasia, justru tidak dibawa. Kalau rahasia, disimpan. Kalau itu (buku hitam yang selalu dibawa Sambo), mudah dibuka, digeledah, ketahuan.”
Lain hal dengan pendapat Sugeng Teguh Santoso, Ketua Indonesia Police Watch. Kepada Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo yang memandu acara tersebut, Sugeng membeberkan hasil ”penerawangannya”. Menurut dia, buku tersebut antara lain berisi catatan gratifikasi terkait penerimaan uang koordinasi yang masih ada hubungannya dengan perusahaan pertambangan. Informasi tersebut berkait dengan dua wilayah, yaitu Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Kuat Maruf yang bekerja di rumah Ferdy Sambo menjalani rekonstruksi kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah pribadi Sambo di Jalan Saguling III, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022).
Saat ditanya apakah terawangan tersebut merupakan informasi yang diperoleh dari sumber IPW, Sugeng Teguh Santoso mengungkapkan, ”Saya tidak mau begitu, dong. Artinya, saya buka sumber. Harusnya Mas Rasamala sebagai advokat yang membuka.”
Selain Benny dan Sugeng, hadir pula sebagai pembicara dalam diskusi tersebut salah satu kuasa hukum Sambo, Rasamala Aritonang, dan anggota Komisi III DPR, Taufik Basari.
Hal yang ingin disampaikan Sugeng adalah buku hitam Sambo bukanlah buku biasa. Sebagai pejabat di Dittipidum Bareskrim dan pernah menjabat Kadiv Propam, Sambo memegang banyak informasi mengenai banyak hal, termasuk catatan kolega-koleganya di kepolisian. Namun, Sugeng mengingatkan, memang ada larangan bagi pejabat kepolisian untuk membuka rahasia jabatan. Namun, saat ini Sambo sudah diberhentikan dengan tidak hormat dari institusi kepolisian.
”Kalau dia sudah dipecat, apakah kewajiban itu masih melekat? Atau, untuk memelihara yang namanya damai, suasana tenang walaupun penuh api dalam sekam, tak boleh dibuka buku hitam itu. Mungkin. Ini kan terawangan,” katanya.
18 Agustus 2022, 40 hari sudah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J tewas. Brigadir J tewas di rumah bekas Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022.
Terlepas dari apakah buku hitam itu merupakan buku catatan biasa yang dibawa perwira kepolisian ataukah berisi informasi-informasi yang jika dibuka membuat kepolisian ”babak belur” seperti yang diprediksi Sugeng, bola tersebut ada di tangan Sambo. Akankah Sambo membuka ”jeroan” kepolisian yang diketahuinya.
Rasamala mengungkapkan, Sambo sejak awal telah menyampaikan penyesalan sehingga situasi saat ini terjadi, yakni reputasi kepolisian menurun dan konsekuensi yang begitu luas. Dia tidak pernah membayangkan sebegitu beratnya konsekuensi perbuatannya. ”Dalam kerangka itu, terhadap semua yang dia miliki, kemampuan, pengetahuan, pengalaman dia selama di Dittipidum, kemudian sebagai Kadiv Propam dua tahun terakhir, kemudian terlibat dalam beberapa satgas untuk membongkar kejahatan. Apabila itu dibutuhkan untuk memperbaiki situasi itu, mungkin beliau bersedia melakukan itu. Hanya saja yang perlu dipikirkan adalah bagaimana caranya untuk menyampaikan itu,” ujar Rasamala.
Ia menegaskan, Sambo siap berkolaborasi untuk memperbaiki; jika masih mungkin untuk memperbaiki. Hal itu disampaikan dalam rangka kecintaannya terhadap institusi kepolisian tempat Sambo bekerja berpuluh tahun.
Perang bintang
Selain kasus Sambo, Polri juga tengah terguncang dengan sejumlah peristiwa. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 133 orang pada 1 Oktober 2022 malam. Berselang belasan hari kemudian, eks Kapolda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa ditetapkan sebagai tersangka peredaran gelap narkoba jenis sabu.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS
Kepala Kepolisian Daerah Banten Brigadir Jenderal (Pol) Teddy Minahasa di sela-sela Rapat Koordinasi Bersama Instansi dan Lembaga Terkait Beserta Partai Politik Peserta Pemilu di Serang, Kamis (11/10/2018).
Teddy semula dinilai berprestasi karena berhasil menguak sindikat narkoba dengan barang bukti 41 kilogram sabu pada April-Mei 2022. Atas prestasinya itu, Teddy dipromosikan menjadi Kapolda Jawa Timur. Namun, sebelum yang bersangkutan menduduki jabatan barunya, Teddy diduga terlibat penggelapan barang bukti 5 kilogram sabu yang hendak dimusnahkan 14 Juni lalu dan menggantinya dengan tawas. Teddy membantah sangkaan Polda Metro Jaya itu dan mengaku tidak tahu soal penyisihan sebagian dari barang bukti yang hendak dimusnahkan itu.
Peristiwa yang berturut-turut terjadi di tubuh kepolisian menimbulkan pertanyaan apa yang sebenarnya terjadi di institusi tersebut. IPW melihat, beberapa tahun terakhir, kerja pengawasan dan penindakan anggota polisi yang melakukan penyelewengan naik signifikan. Pada 2021, dalam catatan IPW, ada kenaikan di bidang penindakan internal hingga 250 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, tak ada jenderal yang ditindak tahun itu. Pada 2022, penindakan yang dilakukan menyentuh level jenderal bintang dua.
Penindakan terhadap perwira-perwira yang melanggar tersebut telah menghasilkan penilaian positif untuk Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia yang diluncurkan pada 19 Oktober 2022 menunjukkan, kepercayaan publik terhadap polisi tinggal 59,1 persen (turun dari 72,1 persen pada 2019). Sementara tingkat kepercayaan masyarakat kepada Kapolri ada pada angka 65 persen. Survei dilakukan pada 11-20 September 2022 terhadap 1.200 responden di 34 provinsi.
”Artinya, di sana ada problem, ada kultur yang tidak baik di institusi yang kini ada harapan sedang diperbaiki oleh Kapolri. Kalau melihat rekam jejaknya begitu. Kalau ini konsisten, benar-benar mau ditindak secara hitam putih, akan terjadi perang bintang beneran,” kata Sugeng.
Benny Mamoto menilai, dari kasus Teddy Minahasa diperoleh pelajaran bahwa penindakan secara tegas dilakukan bagi aparat kepolisian yang masih bandel, padahal sudah diberi peringatan keras sebelumnya. Namun, ia mengingatkan, apabila model pengelolaan jabatan seperti dilakukan Sambo terus bertahan, reformasi kultural kepolisian tidak akan terjadi.
”Karena terhambat. Dia (Sambo) yang seharusnya mengawasi, menindak internal yang melanggar, justru dia mengorganisasi. Ada hikmah dengan terbongkarnya kasus FS (Ferdy Sambo) ini. Kalau kemudian bersih-bersih (dilakukan), diharapkan reformasi kultural bisa jalan,” ujar Benny.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto
Senada dengan Benny, Taufik Basari juga mengungkap hikmah di balik kasus Sambo, yaitu bahwa siapa pun yang melakukan pelanggaran akan ditindak tanpa pandang bulu. Seperti yang diungkapkan Kapolri, ikan busuk dari kepalanya. Karena, jika kepalanya busuk, bagian tersebut harus dipotong. Yang melanggar, dipotong.
Kasus Sambo berikut rentetan kejadian berikutnya (Tragedi Kanjuruhan dan kasus Teddy Minahasa) dapat menjadi momentum mengevaluasi ulang reformasi kepolisian. Sebab, menurut dia, reformasi kepolisian saat ini belum tuntas.
”Yang harus kita lihat, gagalnya karena apa, belum tuntasnya karena apa. Kemudian yang berhasil, apa yang menyebabkannya. Kita harus obyektif, tak boleh pukul rata seolah-olah apa yang dilakukan selama ini gagal. Kita harus obati sesuai penyakitnya. Jangan kita lalu membakar seluruh gedungnya,” tuturnya.
Rasamala sepakat, bicara soal perbaikan kepolisian tak melulu mengenai perilaku personal anggota kepolisian. Namun, ada isu perbaikan sistem yang perlu dipikirkan. ”Dalam kerangka itulah, kolaborasi dengan Pak Sambo, misalnya, kalau itu bisa dibuat, arahnya ke sana,” ujarnya.