Presiden Minta Konsep Final Revisi UU Cipta Kerja Segera Diselesaikan
Pemerintah semestinya melibatkan masyarakat dalam menyusun revisi UU Cipta Kerja, sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
NINA SUSILO
Para menteri meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan seusai mengikuti rapat tertutup terkait Undang-Undang Cipta Kerja di Istana Merdeka, Rabu (19/10/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo meminta jajarannya segera menyelesaikan konsep final revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Karena itu, pemerintah akan meminta masukan berbagai kalangan untuk memperbaiki UU Cipta Kerja sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi. Diharapkan, revisi UU Cipta Kerja mengakomodasi kepentingan rakyat banyak.
Untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan UU Cipta Kerja, Presiden Jokowi menggelar rapat tertutup pada Rabu (19/10/2022). Hadir antara lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto; Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly; Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki; Menteri Keuangan Sri Mulyani; dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.
Seusai rapat yang berlangsung pukul 13.30 sampai 14.50, Airlangga menjelaskan, pemerintah masih membahas apa yang diamanatkan oleh MK. Untuk itu, diskusi dengan berbagai kalangan dilakukan. ”Arahan Bapak Presiden supaya segera disiapkan konsep finalnya. Itu saja,” ujarnya.
NINA SUSILO
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan keterangan seusai mengikuti rapat internal yang dipimpin Presiden Joko Widodo terkait tindak lanjut Undang-Undang Cipta Kerja di Istana Merdeka, Rabu (19/10/2022).
Terkait kluster ketenagakerjaan yang dinilai buruh dan pekerja sangat merugikan pemenuhan hak-hak normatif buruh dan pekerja, Airlangga mengelak. ”Itu, kan, sudah ada pembicaraan antara Kadin (Kamar Dagang dan Industri) dengan tenaga kerja, sudah ada kesepakatan,” ujarnya sembari berjalan menuju mobil dan meninggalkan wartawan.
Sebelumnya, dalam unjuk rasa 12 September, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) menyampaikan masukan terkait kluster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja. KSPSI juga meminta kluster ketenagakerjaan dikeluarkan dari UU Cipta Kerja. Saat itu, Sekretaris Jenderal KSPSI Hermanto Ahmad menyebutkan salah satu pengaturan di UU Cipta Kerja mengakibatkan upah buruh tidak bisa naik ketika inflasi terjadi. ”Inflasi bisa sampai 5 persen, ditanggulangi hanya 1 persen, daya beli tidak naik dan tahun depan akan semakin berat,” katanya.
Hal ini diperberat dengan pengaturan batas atas upah yang diatur Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang menjadi aturan turunan UU Cipta Kerja. Wakil Presiden KSPSI R Abdullah menjelaskan, akibat penentuan batas atas upah, buruh tak bisa mendapatkan upah layak, apalagi batas atas yang ditetapkan juga belum memenuhi kaidah kebutuhan hidup layak (KHL) yang sebelumnya menjadi landasan penentuan upah minimum.
Arahan Bapak Presiden supaya segera disiapkan konsep finalnya. Itu saja.
”UU Cipta Kerja mendegradasi kesejahteraan dan perlindungan buruh. Upah sektoral hilang. Pesangon berkurang, PHK jadi sangat mudah. Perjanjian kerja bersama (pegawai dan perusahaan) yang sudah berlaku bahkan dialihkan ketika ada UU Cipta Kerja,” tutur Abdullah, saat itu.
Setelah unjuk rasa, menurut Abdullah, Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan meminta masukan lintas serikat pekerja dan serikat buruh tentang peninjauan upah tahun 2023 pada 12 Oktober. ”Pertemuan itu sifatnya menyerap aspirasi saja, tidak ada kesepakatan (seperti disampaikan Menko Perekonomian),” ucapnya kepada Kompas, Rabu malam.
Sejauh ini Kompas mencatat janji UU Cipta Kerja akan menciptakan 2,7 juta sampai 3 juta lapangan kerja per tahun belum sepenuhnya terealisasi. Kendati realisasi investasi tahun 2021 naik 9 persen, dari Rp 826,3 triliun pada 2020 menjadi Rp 901,2 triliun, penyerapan tenaga kerja berbanding terbalik dengan investasi yang ada. Dengan investasi yang naik 9 persen, tenaga kerja yang terserap hanya bertambah 4 persen, yakni dari 1.156.361 orang pada 2020 menjadi 1.207.893 orang. Tren serapan tenaga kerja pun terus menurun dari tahun ke tahun akibat investasi lebih padat modal.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta, Senin (12/9/2022). Buruh menolak kenaikan harga bahan bakar minyak, menolak pengesahan UU Cipta Kerja, dan meminta kenaikan UMR sebesar 20 persen.
Tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi juga belum sepenuhnya tercapai. BPS menyebutkan konsumsi rumah tangga tumbuh 2,02 persen pada 2021. Kendati tumbuh positif, pertumbuhannya masih lebih rendah dibandingkan kondisi pascapandemi. Ini terjadi akibat UU Cipta Kerja menahan kenaikan upah minimum pekerja. Dengan sistem pengupahan yang baru, kenaikan upah minimum rata-rata 1,09 persen, di bawah inflasi tahunan per Januari 2022 yang sebesar 2,18 persen (Kompas.id, 9 Februari 2022).
Penuhi kepentingan rakyat
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengingatkan, revisi UU Cipta Kerja semestinya mampu memenuhi kepentingan rakyat dan penyusunannya juga sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Menurut dia, dalam putusan tersebut ada tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu hak untuk menyampaikan aspirasi dan masukan publik, hak untuk dipertimbangkan aspirasinya, dan hak untuk mendapatkan jawaban jika aspirasi itu ditolak atau diterima.
Adapun partisipasi bermakna dari publik itu semestinya ada dalam tiga tahapan awal pembentukan aturan perundangan, yakni bagian perancangan, penyusunan, dan pembahasan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Massa buruh dari berbagai serikat pekerja berunjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (15/6/2022). Dalam aksi yang diikuti ribuan buruh tersebut mereka kembali menyerukan penolakan atas revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dan penolakan UU Cipta Kerja.
Namun, alih-alih memenuhi amanat putusan MK tersebut, pemerintah dan DPR malah merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Perubahan Kedua atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, konsep omnibus law multitema disebutkan dan partisipasi publik bermakna tidak digambarkan secara jelas. Karena itu, Feri menduga pemerintah memang tidak sungguh-sungguh berniat mematuhi amanat MK.
Selain tidak tampak partisipasi publik yang bermakna dalam proses perbaikan UU Cipta Kerja, lanjut Feri, proses tidak terbuka untuk umum. Bagian-bagian mana yang diperbaiki dan alasannya tidak jelas. ”Semestinya publik berhak tahu. Dalam proses revisi, ada perbaikan materi atau tidak, bagaimana prosedurnya?” ujar Feri.